Menghadap kiblat dalam salat adalah bagian penting dari adab yang mengandung aspek lahiriah dan batiniah yang mendalam. Secara lahiriah, menghadap kiblat berarti memalingkan diri dari segala arah yang berantakan dan fokus ke Ka’bah sebagai pusat dunia. Ka’bah bukan hanya titik geografis, tetapi simbol spiritual yang merepresentasikan kesatuan umat Islam. Pengarahan fisik ini menunjukkan penghormatan kepada Allah dan menjadi pusat yang mempertemukan segala kiblat dunia, menghubungkan setiap hamba dengan Sang Pencipta.
Namun, menghadap kiblat tidak hanya berhenti pada aspek lahiriah. Di balik tindakan fisik ini tersimpan makna batin yang mendalam. Orang yang memahami rahasia batin dari istiqbal (menghadap kiblat) mengarahkan hati dan pikiran mereka sepenuhnya kepada Allah, melepaskan segala kesibukan duniawi dan keterikatan fana yang selama ini mereka genggam. Ketika seorang hamba mampu mencapai tingkat ini, seolah seluruh alam menjadi pusat yang hanya tertuju kepada Allah. Segala keindahan dunia menjadi simbol keindahan dan kesempurnaan Allah yang sempurna.
Dalam perjalanan spiritual, seseorang dituntun untuk mencapai pemusatan hati kepada Allah. Menurut para nabi, ulama, dan para wali, menghadap kiblat tidak hanya mengarahkan wajah fisik ke satu arah, tetapi juga menyelaraskan hati dan jiwa menuju kiblat yang hakiki, yaitu Allah. Di balik perintah menghadap kiblat, tersirat perintah untuk menyingkirkan segala macam keterikatan duniawi yang mengganggu kemurnian hati. Dengan mengarahkan seluruh diri kepada Allah, seorang hamba membebaskan hatinya dari segala bentuk berhala dalam hati—apakah itu kesenangan duniawi, ego, atau keinginan yang bersifat material. Shalat menjadi momentum di mana seorang hamba belajar untuk mengarahkan seluruh hatinya kepada Tuhan yang Maha Esa.
Para ahli makrifat dan pencari kebenaran yang menjalani perjalanan batin ini percaya bahwa menghadap kiblat adalah lebih dari sekadar gerak lahiriah. Ketika hati seorang hamba benar-benar terbebas dari segala yang fana dan hanya tertuju pada Allah, ia akan merasakan kehadiran Allah dalam jiwanya. Dengan begitu, menghadap kiblat mengarahkan hati yang hanya berfokus kepada Allah sebagai sumber dari segala yang sempurna. Hati yang terfokus ini membimbing seorang hamba untuk melihat segala sesuatu yang fana sebagai kebatilan, dan hanya Allah yang merupakan sumber kebenaran yang hakiki.
Menghadap kiblat juga mengajarkan kita bahwa pada dasarnya, dalam diri setiap manusia terdapat dua fitrah yang Allah tanamkan: fitrah untuk menjauhi kekurangan dan fitrah yang merindukan kesempurnaannya. Sayangnya, manusia sering kali terhalang untuk melihat kesempurnaan hakiki, baik karena terjebak dalam kesenangan duniawi atau karena salah dalam menentukan arah kehidupan mereka. Sebagian manusia beranggapan bahwa kesempurnaan terletak pada kekayaan, kedudukan, atau bahkan kehormatan yang sifatnya sementara. Ada pula yang dalam kegelapan pandangan mereka menganggap tindakan kekerasan sebagai wujud kekuatan dan kesempurnaan. Namun, kebanyakan dari pandangan ini adalah ilusi yang menyimpang dari hakikat yang sesungguhnya.
Maka, para nabi dan wali hadir untuk mengingatkan umat manusia bahwa kesempurnaan yang sejati hanya ada pada Allah. Mereka hadir sebagai pencerah, membimbing manusia untuk memahami dan merasakan kesempurnaan Allah, Yang Maha Indah dan Maha Sempurna. Ketika manusia mulai memahami bahwa kesempurnaan hanya milik Allah, mereka akan dengan sendirinya tertarik untuk bertawajuh kepada-Nya, mengarahkan hati dan jiwanya kepada Allah, dan meninggalkan semua yang fana.
Sebagaimana yang pernah Rasulullah SAW sampaikan, bahwa segala sesuatu selain Allah adalah fana, ini adalah pengingat bahwa dunia material hanyalah ilusi tanpa esensi sejati. Alam semesta dan segala keindahannya adalah pantulan dari cahaya Allah yang maha sempurna. Hanya Allah-lah yang merupakan sumber dari segala keindahan, kemuliaan, dan kesempurnaan yang hakiki.
Dalam kerangka pemahaman ini, salat yang mengharuskan kita untuk beristiqbal kepada kiblat menjadi lebih dari sekadar ritual fisik. Istiqbal kiblat adalah panggilan untuk menyatukan hati dengan Allah, yang menjadi kiblat hakiki dari segala arah. Hati yang suci dan bebas dari keterikatan duniawi akan mampu memahami bahwa segala yang ada hanyalah ilusi yang tak abadi. Kesempurnaan yang hakiki hanya ada pada Allah yang Maha Suci, dan segala yang lain hanyalah fana belaka.
Imam Ja’far ash-Shadiq as juga pernah menyampaikan bahwa ketika seorang hamba menghadap kiblat, ia hendaknya memutuskan semua keterikatan kepada dunia dan makhluk. Ia harus membersihkan hatinya dari segala hal yang dapat menyibukkannya dari Allah, dan memusatkan seluruh jiwa serta raganya kepada Allah. Saat seorang hamba berdiri di hadapan Allah, ia harus hadir dengan rasa takut dan harap. Rasa takut karena menyadari segala kekurangan diri dan kesalahan masa lalu, dan rasa harap karena mengetahui rahmat Allah yang tak terhingga.
Dalam salat, hati seorang hamba diarahkan pada kesucian dan keindahan Allah yang abadi. Dengan memahami betapa fana dan rapuhnya dunia ini, hati yang telah dipenuhi cahaya makrifat akan memandang segala hal selain Allah sebagai kebatilan dan ilusi. Maka, istiqbal kiblat dalam salat bukan sekadar arah fisik, tetapi ajakan untuk mengarahkan jiwa dan hati menuju kehadiran Allah yang Maha Sempurna.
*Disarikan dari buku karya Imam Khomeini – Hakikat dan Rahasia Salat