Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Air Mata Rasulullah untuk Hamzah bin Abdul Muthalib: Keteguhan di Tengah Derita

Peristiwa kesyahidan Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad saw., adalah salah satu adegan paling memilukan dalam sejarah Islam awal. Ketika Rasulullah saw. melihat kondisi jasad Hamzah, beliau berseru:

“Ya Allah, segala puji bagi-Mu, kepada-Mu tempat mengadu, dan Engkaulah tempat meminta pertolongan atas apa yang aku lihat.”

Ungkapan ini menggambarkan betapa dahsyatnya luka yang terasa bukan sekadar pada tubuh, tetapi juga pada jiwa seorang nabi yang kehilangan orang yang sangat dicintainya.
(Tafsīr al-‘Ayyāsyī, jilid 2, hlm. 270)

Dalam banyak sumber disebutkan bahwa Rasulullah saw menangis dan sangat marah sampai beliau bersumpah bahwa bila diberikan kemenangan, beliau akan memberikan pembalasan. Ketegangan emosi ini kemudian mendapat pedoman ilahiah ketika turun ayat:

“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang bersabar.”
(QS. an-Nahl: 126)

Nabi kemudian menahan diri, berulang kali berkata: “Bersabarlah, bersabarlah.”
Riwayat ini juga disampaikan oleh Imam Ja‘far ash-Shadiq as, menegaskan makna sabar sebagai bentuk kemenangan spiritual atas hawa nafsu dan dendam.
(al-Kāfī, bab al-Ṣabr, hadis 3)

Reaksi Nabi — antara amarah yang wajar dan perintah ilahiah untuk bersabar — memperlihatkan keseimbangan antara tuntutan keadilan dan instruksi moral yang lebih tinggi. Kesabaran bukanlah pasif; ia merupakan strategi etis yang menjaga marwah umat dan keluarga Nabi agar tindakan balasan tidak melahirkan ketidakadilan baru. Bagi Ahlulbait, sabar adalah kekuatan spiritual yang memelihara keberlanjutan dakwah meski menghadapi kekejaman.

Kisah ini juga menegaskan bahwa bahkan rasa duka dan amarah Nabi tidak boleh berubah menjadi pembenaran bagi ulah yang menyalahi prinsip ilahiah. Surah an-Nahl ayat 126 menempatkan batas: balasan boleh dilakukan setimpal tetapi jika memilih sabar, itu lebih mulia. Sikap ini menjadi pelajaran: menuntut hak dan menegakkan keadilan harus selalu diiringi oleh landasan moral yang kokoh.

Keterangan detail tentang bagaimana Rasulullah menutup jasad Hamzah memperlihatkan betapa sadisnya perlakuan musuh terhadap pahlawan Islam itu. Ketika selimut diletakkan, tampak betapa tubuhnya hancur: bila kain ditarik ke arah kepala tampak kedua kakinya, bila ke arah kaki tampak kepalanya, dan jantungnya diambil untuk dimakan oleh Hindun, istri Abu Sufyan.
(Bihār al-Anwār, jilid 20, hlm. 82–84)

Hamzah, dikenal sebagai Sayyid ash-Shuhadā’ (pemimpin para syuhada), adalah teladan keberanian dan pengorbanan. Dalam pandangan Syiah, pengorbanan Hamzah berfungsi sebagai pendahulu bagi tragedi yang jauh lebih besar: penderitaan Ahlulbait sendiri, yang mencapai puncaknya pada hari Karbala. Hubungan ini bukan kebetulan; ia membentuk narasi berantai di mana pengorbanan demi pengorbanan menunjukkan pola penindasan yang terus berulang terhadap mereka yang setia pada kebenaran ilahiah.
(Bihār al-Anwār, jilid 45, hlm. 289–291)

Peristiwa ini terjadi dalam konteks Perang Uhud, salah satu momen krusial dalam sejarah umat Islam awal. Kekalahan dan gugurnya banyak pengikut Nabi saat itu menghasilkan luka kolektif yang mendalam. Membaca kembali peristiwa Uhud bukan sekadar soal taktik perang, tetapi tentang bagaimana para anggota keluarga Nabi dan sahabat setianya menanggung penderitaan dalam menegakkan panji Islam.
(Tārīkh al-Ya‘qūbī, jilid 2, hlm. 64–66; al-Mufīd, al-Irsyād, jilid 1, hlm. 120–122)


Dielaborasikan dari kitab Madinah Balaghah

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT