Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Al-Qur’an dan Pola Penentangan terhadap Para Nabi

Ketika al-Qur’an mengisahkan para nabi terdahulu alaihimus salam, ia tidak sekadar menghadirkan potret historis tentang tokoh-tokoh suci dalam lintasan waktu. Al-Qur’an membuka sebagian dimensi kehidupan mereka yang penuh berkah, sekaligus membersihkan sejarah kenabian dari berbagai bentuk penyelewengan—baik yang disengaja maupun tidak—yang sering kali menyelimuti figur para nabi. Dengan cara ini, al-Qur’an menegaskan bahwa kisah para nabi bukanlah dongeng masa lampau, melainkan cermin pendidikan ilahi bagi umat manusia sepanjang zaman.

Perhatian besar al-Qur’an terhadap sejarah kenabian menunjukkan bahwa sikap manusia terhadap para nabi merupakan persoalan mendasar dalam pembentukan peradaban. Di satu sisi, al-Qur’an menjelaskan sikap umat manusia terhadap para nabi Allah serta faktor-faktor yang mendorong pengingkaran terhadap mereka. Di sisi lain, al-Qur’an memaparkan metode hidayah, pendidikan, dan pembinaan para nabi, serta cara mereka memberantas kekufuran dan kemusyrikan. Hubungan sebab-akibat dalam pengelolaan masyarakat—khususnya relasi timbal balik antara manusia dan para nabi—ditampilkan secara jelas sebagai sunnatullah yang melahirkan hasil pendidikan yang unggul.

Pembahasan ini, meskipun tidak langsung menyentuh isu teologi spekulatif, memiliki nilai besar dalam menjelaskan hakikat kenabian, menghilangkan kesamaran sejarah, dan memberi pelajaran sosial yang mendalam. Oleh karena itu, mengkaji sikap umat terhadap para nabi sebagaimana digambarkan al-Qur’an merupakan kebutuhan mendesak bagi pembinaan umat.

Sikap Umat terhadap Para Nabi

Sejarah kenabian dalam al-Qur’an menunjukkan pola yang hampir selalu berulang. Ketika para nabi menyeru manusia untuk menyembah Allah Yang Maha Esa, menaati ajaran-Nya, meninggalkan tuhan-tuhan batil, menolak ajakan setan dan penguasa zalim, serta memerangi kezaliman dan kemungkaran, mereka justru menghadapi penentangan keras.

Allah Swt berfirman: “Dan berkatalah para pemuka dari kaumnya yang kafir dan mendustakan pertemuan dengan akhirat, dan yang telah Kami beri kemewahan dalam kehidupan dunia, ‘Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu.’”
(QS. al-Mu’minun [23]: 33)

Penentangan ini umumnya datang dari kalangan elite: penguasa zalim, orang-orang kaya, dan mereka yang hidup dalam kemewahan serta merasa unggul dengan harta, kedudukan, ilmu, dan peradaban. Mereka mengerahkan kekuatan politik dan sosial untuk menghadang dakwah para nabi dan menghasut masyarakat agar berpaling dari kebenaran.

Sebaliknya, mereka yang menerima dakwah para nabi umumnya berasal dari kelompok lemah dan tertindas. Al-Qur’an mengabadikan sikap kaum sombong yang menjadikan kemiskinan para pengikut nabi sebagai alasan untuk menolak kebenaran: “Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti engkau hanyalah orang-orang yang hina?”
(QS. asy-Syu‘ara [26]: 111)

Faktor dan Motif Penentangan

Penentangan terhadap para nabi tidak lahir dari satu sebab. Di antara faktor terbesarnya adalah kesombongan dan rasa tidak membutuhkan Allah. Allah Swt berfirman:  “Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.”
(QS. al-‘Alaq [96]: 6–7)

Fanatisme terhadap tradisi leluhur juga menjadi penghalang besar bagi penerimaan kebenaran. Banyak umat terdahulu menolak risalah para nabi dengan alasan mempertahankan adat nenek moyang: “Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami hanya mengikuti jejak mereka.”
(QS. az-Zukhruf [43]: 23)

Selain itu, kepentingan ekonomi dan status sosial mendorong para penguasa dan orang-orang kaya untuk memusuhi para nabi, karena ajaran tauhid mengancam legitimasi kekuasaan dan akumulasi kekayaan mereka.

Metode Penentangan terhadap Dakwah Kenabian

1. Penghinaan dan Ejekan

Para nabi sering kali dijadikan bahan ejekan agar masyarakat meremehkan dakwah mereka:
“Dan tidak ada seorang rasul pun yang datang kepada mereka, melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya.”
(QS. Yasin [36]: 30)

2. Dusta dan Fitnah

Para penentang menuduh nabi sebagai pendusta, orang gila, atau penyihir:
“Demikianlah, tidak ada seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang sebelum mereka, melainkan mereka berkata, ‘Ia adalah penyihir atau orang gila.’”
(QS. adz-Dzariyat [51]: 52)

3. Debat Menyesatkan

Ketika para nabi berdialog dengan hikmah dan hujah yang kuat, kaum kafir menjawab dengan logika rapuh dan tuntutan yang mustahil: “Dan mereka berkata, ‘Kami sekali-kali tidak akan beriman kepadamu sampai engkau memancarkan mata air dari bumi untuk kami.’”
(QS. al-Isra’ [17]: 90)

4. Ancaman dan Propaganda

Ancaman pengusiran dan pembunuhan menjadi senjata umum terhadap para nabi dan pengikutnya: “Kami pasti akan mengusirmu wahai Syu‘aib, dan orang-orang yang beriman bersamamu, dari negeri kami.”
(QS. al-A‘raf [7]: 88)*

Harta juga digunakan sebagai alat propaganda untuk memalingkan manusia dari jalan Allah:
“Sesungguhnya orang-orang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (manusia) dari jalan Allah.”
(QS. al-Anfal [8]: 36)

5. Kekerasan dan Pembunuhan

Puncak penentangan adalah pembunuhan para nabi: “Dan mereka membunuh para nabi tanpa alasan yang benar.”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 112)


Sunnatullah dalam Pengelolaan Umat

Tujuan utama diutusnya para nabi adalah menyempurnakan hujah Allah atas manusia: “(Kami mengutus) para rasul sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah diutusnya para rasul.”
(QS. an-Nisa’ [4]: 165)

Karena kelalaian merupakan akar penolakan, Allah menguji manusia dengan musibah agar mereka kembali tunduk:  “Sungguh, Kami telah mengutus (para rasul) kepada umat-umat sebelum engkau, lalu Kami timpakan kepada mereka penderitaan dan kesengsaraan agar mereka merendahkan diri.”
(QS. al-An‘am [6]: 42)

Namun sebagian manusia tetap keras hati: “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras, bahkan lebih keras daripada batu.”
(QS. al-Baqarah [2]: 74)

Ketika kaum mukmin telah cukup kuat, jihad diperintahkan dan azab Allah turun melalui tangan mereka: “Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah.”
(QS. al-Baqarah [2]: 193)

Jika tidak, kaum mukmin diperintahkan menjauh, dan azab Allah datang melalui cara lain. Inilah sunnatullah yang tidak berubah: “Maka engkau tidak akan mendapati perubahan pada sunnatullah.”
(QS. al-Ahzab [33]: 62)


Sejarah kenabian, sebagaimana digambarkan al-Qur’an, bukanlah kisah masa lalu yang beku. Ia adalah cermin hidup yang menyingkap hukum Allah dalam perjalanan umat manusia—peringatan bagi yang ingkar, dan kabar gembira bagi mereka yang beriman dan setia pada jalan para nabi.


Disarikan dari buku karya Ayatullah Taqi Misbah Yazdi – Piramida Iman

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT