Politik para utusan Tuhan didasarkan pada prinsip kerja sama, bukan pada upaya penentangan demi mempertahankan kekuasaan. Allah tidak meridhai adanya penindasan terhadap siapa pun. Politik yang dijalankan oleh para pribadi suci ini sangat jelas, transparan, serta berlandaskan keimanan dan tauhid, yang menjadi sumber keikhlasan dan kebenaran. Dalam politik seperti ini, rakyat senantiasa mendukung pemerintahan mereka, dan segala cara tidak dibenarkan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Sebagaimana air curian tidak sah untuk berwudhu, demikian pula harta haram tidak dapat digunakan untuk menunaikan ibadah haji.
Imam Ali as, sebagai pendiri pemerintahan Islam yang adil, merupakan perwujudan dari politik para nabi dan para washi, yang sangat transparan. Di masa depan, politik seperti inilah yang menjadi teladan bagi para pemimpin Islam. Dalam doa ziarah Jami’ah al-Kabirah disebutkan “wa sasatul-‘ibad,” yang berarti para pemimpin yang mengelola politik rakyat mereka.
Tujuan politik Imam Ali as adalah menyembah Tuhan Yang Esa, menyebarkan kebaikan akhlak di tengah umat, membebaskan manusia dari penindasan, menciptakan keadilan, mempererat persaudaraan sesama Muslim, serta membagi secara adil kekayaan negara (Baitul Mal). Beliau juga menolak makar dan tipu daya, menetapkan peraturan militer yang adil, dan memastikan keadilan sosial di seluruh lapisan masyarakat.
Seorang penulis Inggris, Carlyle, dalam bukunya Heroes, menyatakan, “Kesulitan dalam menegakkan keadilan menjadikan Ali syahid di mihrab ibadahnya.” Seorang cendekiawan Barat juga pernah mengatakan, “Saat menjelang kematian, kata-kata seseorang mencerminkan hakikat dirinya.” Sebagai contoh, ketika khalifah kedua mendapatkan tikaman, ia berkata, “Seorang Majusi ini telah membunuhku,” yang menunjukkan keinginannya untuk tetap hidup.
Sebaliknya, ketika Ali as diserang dan terluka parah, beliau berkata, “Demi Tuhan Pemilik Ka’bah, aku telah meraih kemenangan.” Pernyataan ini mencerminkan kerelaan beliau atas takdir Allah dan kecintaannya terhadap akhirat.
Beberapa orang berpendapat bahwa keadilan yang diterapkan oleh Imam Ali as tidak cocok dengan masyarakat modern karena beliau tidak menggunakan tipu daya dalam politiknya, sehingga pemerintahannya mudah digulingkan. Namun, perlu dipahami bahwa meskipun beliau menghadapi umat yang kurang berbudaya, keadilan yang ditegakkannya tetap membawa kemajuan dan dicintai oleh rakyatnya.
Sebagai contoh, dalam Perang Shiffin, pasukan Imam Ali hampir menangkap Muawiyah, tetapi Amr bin Ash memanfaatkan kebodohan masyarakat dengan mengajukan perdamaian melalui pengangkatan Al-Qur’an . Akibatnya, Muawiyah berhasil lolos.
Masyarakat modern, yang lebih berpendidikan, kini haus akan keadilan. Meski kesyahidan Imam Ali as dianggap akibat dari politiknya, perlu diingat bahwa beliau lebih memilih untuk mengutamakan prinsip keadilan daripada menghindari kematian.
Dalam al-Quran dan sejarah, disebutkan bahwa Nabi Yusuf, Daud, Sulaiman, dan Zulkarnain as berhasil memimpin umat mereka dengan menjalankan politik Ilahi. Di masa depan, politik ilahi akan ditegakkan di muka bumi melalui perantara Imam Mahdi as, sebagaimana dijanjikan oleh Allah.
Sebagian orang berpendapat bahwa Imam Ali as bukanlah seorang politikus ulung. Mereka mengajukan beberapa argumen untuk mendukung pandangan ini, mulai dari sikap beliau dalam Dewan Syura hingga pendekatan beliau terhadap musuh-musuhnya. Namun, pandangan ini dapat dijawab dengan memahami prinsip politik Imam Ali as yang berlandaskan keadilan, kejujuran, dan ketakwaan.
Sanggahan atas Tuduhan Ketidakmampuan Politik Imam Ali
- Sanggahan Pertama: Menolak Berbohong di Dewan Syura
Imam Ali as dianggap tidak politis karena menolak mengikuti syarat yang diajukan oleh Abdurrahman bin Auf dalam Dewan Syura. Ketika Abdurrahman berkata, “Saya akan membaiatmu berdasarkan Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, dan sunnah dua syekh (Abu Bakar dan Umar),” Imam Ali as menjawab, “Saya menerima baiatmu berdasarkan Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, dan ijtihadku sendiri.” Jawaban ini menunjukkan bahwa Imam Ali as tetap teguh pada prinsip kebenaran dan tidak membuka jalan untuk kebohongan, bahkan demi maslahat pemerintahan Dunia Islam. - Sanggahan Kedua: Tidak Mempertahankan Muawiyah sebagai Gubernur Syam
Ketika Mughirah dan Ibnu Abbas menyarankan agar Muawiyah tetap menjabat sebagai gubernur Syam untuk sementara waktu, Imam Ali as menolaknya. Beliau menjelaskan bahwa mempertahankan Muawiyah berarti memberikan pembenaran atas kejahatannya di masa lalu. Selain itu, hal ini akan memperkuat posisi Muawiyah dan menyudutkan Imam Ali as di mata masyarakat. Imam Ali as memilih untuk mencopot Muawiyah segera, meskipun hal ini menimbulkan perlawanan dari pihak Syam. - Sanggahan Ketiga: Membuka Jalur Air untuk Pasukan Musuh
Dalam Perang Shiffin, pasukan Muawiyah menutup akses air bagi pasukan Imam Ali as. Ketika pasukan Imam Ali berhasil membuka jalur air tersebut, sebagian pengikutnya mengusulkan agar jalur itu ditutup untuk memaksa Muawiyah menyerah. Namun, Imam Ali as menolak usulan ini. Beliau berkata, “Perbuatan ini adalah tindakan bodoh. Air ini diperlukan oleh anak-anak, wanita, dan hewan-hewan.” Sikap ini mencerminkan keadilan dan jiwa ksatria beliau, yang tidak membalas kejahatan dengan kezaliman. - Sanggahan Keempat: Memberikan Perlindungan kepada Muawiyah dan Amr bin Ash
Pada suatu malam di Perang Shiffin, Muawiyah dan Amr bin Ash datang ke perkemahan Imam Ali as. Sebagian orang berpendapat bahwa Imam Ali seharusnya membunuh mereka untuk menghentikan kejahatan mereka. Namun, Imam Ali as justru memuliakan mereka sebagai tamu, sesuai dengan prinsip Islam yang mengajarkan untuk menghormati tamu. Sikap ini menunjukkan kebesaran jiwa Imam Ali as dan komitmennya terhadap nilai-nilai kemanusiaan. - Sanggahan Kelima: Tidak Menghukum Ibnu Muljam Sebelum Kejahatan Terjadi
Imam Ali as mengetahui bahwa Ibnu Muljam akan menjadi pembunuhnya. Namun, beliau tidak menjatuhkan hukuman sebelum kejahatan itu terjadi, karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan. Bahkan, beliau memberikan hak Ibnu Muljam atas harta dari Baitul Mal. Imam Ali as mengajarkan bahwa seseorang tidak dapat dihukum atas kejahatan yang belum dilakukan, meskipun dampaknya merugikan dirinya sendiri. - Sanggahan Keenam: Tidak Segera Menghukum Thalhah dan Zubair
Sebagian orang menganggap Imam Ali as seharusnya menghukum Thalhah dan Zubair sebelum mereka memicu fitnah. Namun, Imam Ali as menahan diri karena ketakwaannya. Beliau berkata, “Jika aku tidak memiliki ketakwaan, maka aku akan menjadi orang yang paling ahli dalam politik licik di kalangan bangsa Arab.” Sikap ini mencerminkan prinsip beliau yang tidak menghalalkan segala cara demi tujuan politik.
Kesimpulan
Imam Ali as bukanlah politikus yang mengandalkan tipu daya atau kebohongan untuk meraih kekuasaan. Beliau memimpin dengan prinsip keadilan, kebenaran, dan ketakwaan, meskipun harus menghadapi risiko besar dalam perjuangannya. Kepemimpinan beliau menjadi teladan bagi siapa saja yang menginginkan politik yang berlandaskan nilai-nilai luhur dan kemanusiaan.
Sumber: Kecuali Ali – Abbas Rais Kermani