Ada langkah-langkah kecil yang mengguncang dunia. Bukan karena kekuatan fisik, bukan pula karena dukungan kekuasaan, melainkan karena muatan kesadaran, cinta, dan perlawanan. Itulah langkah para tawanan Ahlulbait ketika kembali ke Karbala pada hari ke-40 setelah tragedi Asyura. Perjalanan yang kemudian dikenal sebagai ziarah Arbain itu, kini menjadi peristiwa akbar spiritual-politik terbesar di dunia, meski terus diabaikan oleh media arus utama internasional.
Makna Arbain dalam Budaya Syiah
“Arbain” secara harfiah berarti “empat puluh”, dan dalam budaya Syiah, merujuk pada hari ke-40 setelah kesyahidan Imam Husain as di padang Karbala. Pada hari itu, menurut riwayat, para penyintas tragedi Asyura — para wanita, anak-anak, dan kerabat syuhada — kembali ke tanah Karbala, mengunjungi makam Imam Husain dan para sahabatnya. Sejak saat itulah tradisi ziarah Arbain tumbuh, dirawat oleh para Imam Ahlulbait, dan diwariskan lintas generasi.
Imam-imam Syiah menekankan pentingnya ziarah ke makam Imam Husain pada hari Arbain sebagai bentuk pembaruan janji kepada jalan kebenaran, dan sebagai penegasan posisi di barisan perlawanan terhadap tirani. Bahkan dalam doa ziarah Arbain, terungkap bahwa misi Imam Husain adalah “li istinaqadzi ‘ibādaka min al-jahālah wa hayrat al-dhalālah — untuk membebaskan hamba-hamba-Mu dari kebodohan dan kesesatan.”
Dari Langkah-Langkah Sunyi ke Gelombang Jutaan Umat
Tradisi berjalan kaki menuju Karbala sempat terhenti karena tekanan rezim diktator. Namun, dalam diam dan di balik bayang-bayang malam, tradisi itu tetap hidup. Di era Saddam, para peziarah sering harus menempuh perjalanan diam-diam melalui kebun kurma atau menghadapi kekerasan brutal. Ada yang dilaporkan kakinya dipotong karena ketahuan berjalan menuju Karbala, darah para pencinta Ahlulbait tetap mengalir, dan membakar semangat generasi berikutnya.
Sejak tumbangnya Saddam, jalan-jalan ke Karbala kembali dibuka. Dan sejak itu, jutaan manusia dari berbagai penjuru dunia, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, bahkan penyandang disabilitas, mulai menapaki jalan panjang menuju Karbala. Dari Basrah hingga Najaf, dari Qom hingga Beirut, langkah-langkah cinta terus bergerak. Dalam beberapa tahun terakhir, peserta ziarah Arbain mencapai lebih dari 20 juta jiwa setiap tahunnya — menjadikannya peristiwa ziarah terbesar di muka bumi.
Geopolitik Arbain: Manusia, Makna, dan Perlawanan
Apa yang menjadikan Arbain bukan sekadar ritual? Mengapa langkah-langkah ini mengguncang hati musuh-musuh Islam?
Karena Arbain adalah geopolitik spiritual. Di jalan Karbala, tiga unsur utama geopolitik berpadu: geografi, politik, dan kekuatan umat. Geografi perlawanan membentang dari Najaf ke Karbala. Politik tercermin dari kesetiaan umat kepada garis Imamah dan Wilayah. Dan kekuatan nyata terlihat dari kemampuan mobilisasi jutaan jiwa tanpa instruksi negara, tanpa propaganda korporat, tanpa iming-iming duniawi.
Ziarah Arbain adalah deklarasi diam-diam bahwa umat ini masih hidup, masih sadar, dan siap bergerak. Ia menciptakan keunggulan kompetitif yang tak bisa ditiru oleh dunia Barat atau musuh-musuh Islam — yakni massa umat yang terorganisir bukan karena kepentingan politik duniawi, tapi karena cinta, iman, dan visi eskatologis.
Maukib: Ekonomi Ikhlas, Masyarakat Madani
Sepanjang jalan dari Najaf ke Karbala, ribuan maukib (posko pelayanan) didirikan oleh rakyat biasa. Bukan oleh negara, bukan oleh korporasi. Mereka menyajikan makanan, obat-obatan, tempat istirahat, bahkan memijat kaki para peziarah — semuanya gratis, dengan penuh cinta. Ini adalah model peradaban Islam: ekonomi berbasis ikhlas, masyarakat berbasis pelayanan, dan ukhuwah yang tak dibatasi suku atau bangsa.
Dalam suasana seperti ini, manusia menemukan kembali identitasnya. Ia bukan sekadar konsumen duniawi, melainkan pelayan Tuhan dan saudara-saudaranya. Tak ada lagi perlombaan harta, tapi perlombaan dalam memberi. Tidak ada lagi dominasi ego, yang ada hanyalah “Siapa yang lebih banyak berkhidmat kepada peziarah Husain?”
Arbain dan Kesadaran Politik Umat
Ziarah Arbain juga menjadi ladang pertukaran gagasan, pengetahuan, dan narasi perlawanan. Di sepanjang perjalanan, umat Islam dari berbagai negara saling berdiskusi, berbagi informasi, menguatkan solidaritas, dan menyatukan visi. Ini adalah madrasah politik umat di lapangan terbuka. Tak heran jika Imam Khomeini pernah menekankan pentingnya budaya Asyura dalam membentuk umat yang sadar dan militan.
Di era ketika media global membungkam penderitaan umat, khususnya atas kezaliman Zionis atas rakyat Palestina, Arbain menjadi panggung tandingan. Ia memperlihatkan bahwa umat Islam belum mati rasa. Ia adalah tangisan kolektif atas darah yang tertumpah — bukan hanya di Karbala, tapi juga di Gaza.
Arbain dan Kebangkitan Spiritualitas
Namun di balik geopolitik dan kesadaran politik itu, Arbain tetaplah sebuah ritual spiritual. Dalam lelahnya kaki dan panasnya siang, dalam airmata dan doa, para peziarah menemukan ketinggian ruhani yang tak bisa dibeli dengan apapun. Setiap luka di kaki adalah saksi cinta, setiap tetes keringat adalah air mata rindu kepada Imam.
Dan dalam keheningan malam di Karbala, ketika jutaan jiwa bersimpuh di dekat makam Imam Husain as, dunia pun menjadi sunyi. Hanya ada satu suara: “Labbaik ya Husain…”
*Dielaborasi dari website Khamenei.ir