Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Arbain dari Masa ke Masa: Iman, Perlawanan, dan Persatuan Umat

Ziarah Arbain, yang berlangsung setiap tanggal 20 Safar, adalah salah satu fenomena spiritual terbesar umat manusia. Jutaan peziarah dari berbagai negara menempuh perjalanan menuju Karbala untuk menziarahi makam cucu Nabi Muhammad saw, Imam Husain bin Ali as. Tradisi ini bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga sebuah deklarasi ideologis: kesetiaan kepada kebenaran, perlawanan terhadap tirani, dan cinta tanpa batas kepada Ahlulbait Nabi. Dalam sejarah Islam, ziarah ini telah melalui berbagai fase — dimulai dari langkah penuh rindu sahabat Jabir bin Abdullah al-Anshari, berlanjut dalam semangat Revolusi Islam Iran, hingga menjadi lautan manusia di era kini. (Sayyid Muhammad Baqir al-Qarashi, Hayat al-Imam al-Husain, jilid 3, hal. 420)

Ziarah Arbain Pertama: Langkah Jabir bin Abdullah al-Anshari

Dalam berbagai riwayat menempatkan Jabir bin Abdullah al-Anshari ra, sahabat senior Rasulullah saw, sebagai peziarah pertama yang menandai peringatan Arbain. Dikisahkan dalam Kamil al-Ziyarat karya Ibnu Qulawayh dan Bihar al-Anwar karya Allamah Majlisi, Jabir yang telah berusia lanjut saat itu, dibimbing oleh muridnya, ‘Atiyyah al-‘Awfi, menempuh perjalanan dari Madinah menuju Karbala. (Kamil al-Ziyarat, bab 79; Bihar al-Anwar, jilid 98, hal. 329)

Setibanya di tepi Efrat, Jabir mandi, mengenakan pakaian bersih, beraroma wewangian, lalu melangkah ke pusara Imam Husain as. Dengan tangan bergetar, ia memeluk tanah makam, menumpahkan salam: “Assalamu ‘alaika ya Aba ‘Abdillah, assalamu ‘alaika ya habib Rasulillah…”

Air mata Jabir tak terbendung. Ia kemudian menuturkan bahwa Imam Husain adalah “putra Nabi, penghulu pemuda surga, dan cahaya petunjuk.” Riwayat menyebutkan bahwa di hari yang sama, rombongan tawanan Ahlulbait yang dipimpin Imam Ali Zainal Abidin as, dalam perjalanan pulang dari Syam, juga tiba di Karbala. (Bihar al-Anwar, jilid 45, hal. 145)


Periode Represi dan Pembatasan

Sejak tragedi Karbala, rezim-rezim yang berkuasa, dari Bani Umayyah hingga sebagian periode Abbasiyah, memandang ziarah ke makam Imam Husain sebagai ancaman politik. Banyak riwayat Syiah, seperti yang dicatat dalam Wasail al-Syi’ah dan Bihar al-Anwar, menegaskan keutamaan ziarah Husain meski dalam kondisi bahaya. Imam Ja’far al-Shadiq as bersabda: “Ziarah kepada Husain as adalah kewajiban bagi orang yang mengakui kepemimpinannya.” (Bihar al-Anwar, jilid 101, hal. 16; Wasail al-Syi’ah, jilid 14, hal. 413)

Pemerintah zalim menempatkan pasukan di jalan-jalan menuju Karbala, menahan dan bahkan membunuh para peziarah. Namun, larangan ini justru menambah makna perlawanan dalam ziarah Arbain: setiap langkah menjadi tantangan terhadap penguasa tiran. (Syekh Abbas Qummi, Nafasul Mahmum, hal. 506)


Ziarah Arbain dalam Perspektif Revolusi Islam Iran

Kebangkitan Revolusi Islam Iran 1979 yang dipimpin Imam Khomeini ra menghidupkan kembali makna politik ziarah Arbain di abad modern. Imam Khomeini sering mengutip pesan Arbain sebagai “manifestasi kebangkitan” dan “madrasah perjuangan” melawan penindasan. Dalam salah satu pidatonya, beliau menegaskan: “Jika kita ingin memahami mengapa Imam Husain bangkit, lihatlah Arbain. Arbain adalah deklarasi bahwa darah mengalahkan pedang.” (Sahifeh-ye Imam, jilid 10, hal. 276)

Pasca revolusi, para ulama mendorong umat untuk menjadikan ziarah Arbain sebagai bagian dari kesadaran politik. Meski pada masa Saddam Hussein di Irak (1979–2003) ziarah ini kembali dilarang keras — bahkan jamaah harus berjalan diam-diam di malam hari untuk menghindari aparat — semangat itu tetap hidup. (Hujjatul Islam Rasuli Mahallati, Tarih al-Masyi ila Karbala, hal. 215)


Arbain Setelah Runtuhnya Rezim Saddam

Tahun 2003 menjadi titik balik besar. Setelah tumbangnya Saddam Hussein, larangan ziarah dicabut. Jalan-jalan menuju Karbala yang selama puluhan tahun sunyi dari rombongan terbuka kembali. Tahun-tahun berikutnya menyaksikan lonjakan jumlah peziarah yang luar biasa — dari jutaan menjadi puluhan juta. (Laporan Pusat Studi Karbala, 2018)

Fenomena “Masirat al-Arba’in” (Arbaeen Walk) menjadi ikon. Peziarah dari Basra menempuh 500 km berjalan kaki, sementara yang dari Najaf sekitar 80 km. Tradisi ini berakar pada budaya Irak yang memuliakan tamu: ratusan ribu mawakib (pos layanan) menyediakan makanan, tempat istirahat, dan pengobatan gratis bagi peziarah. (Syekh Muhammad Mahdi al-Asifi, Fi Zilal al-Arba’in, hal. 87)

Peziarah datang dari berbagai penjuru dunia seperti; Iran, Lebanon, Pakistan, India, Afrika, Eropa, bahkan Amerika dan Australia. Arbain pun menjadi simbol ummah global yang bersatu di bawah panji “Ya Husain”. (Al-Alam, “Arbaeen: World’s Largest Peaceful Gathering,” 2019)


Makna Teologis dan Politik di Era Kini

Dari perspektif teologi Syiah, ziarah Arbain adalah pernyataan iman terhadap wilayah Ahlulbait as. Imam Hasan al-Askari as dalam sebuah riwayat yang masyhur menyebutkan tanda-tanda seorang mukmin, salah satunya adalah “ziarah Arbain.” (Tahdzib al-Ahkam, jilid 6, hal. 52)

Bagi para ulama kontemporer, seperti Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, Arbain adalah “media paling efektif untuk menyampaikan pesan Karbala kepada dunia.” Dalam salah satu khutbahnya, beliau berkata: “Hari ini, Arbain adalah sarana komunikasi internasional yang tak dimiliki oleh kekuatan dunia manapun. Ia menghubungkan hati jutaan manusia pada cita-cita Imam Husain.” (Khotbah Arbain, 2015, www.khamenei.ir)

Fenomena ini juga dimaknai sebagai bentuk “soft power” umat Islam dalam menyebarkan narasi keadilan dan anti-penindasan. (Dr. Muhammad Sa’id al-Hakim, Mausu’ah al-Ziyarah, jilid 1, hal. 293)


Arbain sebagai Revolusi Kemanusiaan

Dalam pandangan banyak intelektual Syiah, Arbain bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi juga gerakan kemanusiaan global. Dr. Ali Shariati, misalnya, menyebut Arbain sebagai “momen untuk memperbaharui kontrak sosial umat dengan nilai-nilai al-Husain.” (Ali Shariati, Shahadat, hal. 144)

Dari langkah kecil Jabir bin Abdullah yang berjalan kaki dari Madinah, hingga 25–30 juta manusia yang kini bergerak bersama, ziarah Arbain telah menjelma menjadi lautan cinta dan perlawanan. Di era digital, pesan Arbain melintasi batas geografis dan politik, menyentuh hati manusia yang mungkin tak pernah menginjakkan kaki di Karbala, namun merasakan getaran “Hayhat minna al-dzillah” — jauhlah dari kami kehinaan. (Sayyid Hashim Ma’ruf al-Husayni, Ma’alim al-Ziyarah, hal. 202)


Penutup

Sejarah ziarah Arbain adalah sejarah kontinuitas iman: dimulai dari sahabat Nabi yang renta namun penuh rindu, melewati generasi yang mempertahankannya di tengah pedang penguasa, dihidupkan kembali oleh semangat revolusi, hingga mencapai puncak jumlah pengikut di abad 21. Ia adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa kini, dari pasir Karbala abad ke-7 hingga jalanan Irak abad ke-21, dari hati Jabir hingga hati jutaan manusia yang berseru:

“Labbaik ya Husain… Labbaik ya Da’i Allah…”

(Bihar al-Anwar, jilid 44, hal. 192; Sahifeh-ye Imam, jilid 15, hal. 201)

Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.