Oleh: Ustadz Muhsin Labib
Di tengah denyut keseharian umat Islam, dari corong speaker masjid hingga riuh rendah majelis taklim dan perhelatan walimah, sering terdengar untaian pujian bernada syahdu. Syair-syair itu memanggil nama-nama mulia: “Ya Jaddal Husain” merujuk pada cucu Rasulullah, atau menyebut Al-Hasan dengan penuh hormat. Dalam shalawat seperti “Shalallah ‘ala Thaha” atau “Li Khomsatun”, nama mereka hadir, terselip dalam frasa “wabnahuma” (dan kedua putra mereka), atau bersinar lewat gelar metaforis seperti “kal kaukabain” (dua purnama). Namun, di balik keakraban irama yang mengalun, makna dan nama-nama suci yang diusungnya justru terasa samar, bahkan asing, bagi banyak pendengar.
Keterasingan ini berpunca dari beberapa faktor. Pertama, bahasa Arab, sebagai wahana pujian, bukanlah bahasa ibu bagi mayoritas umat Islam di Indonesia. Kesulitan ini diperparah oleh lafal yang seringkali tak terjaga ketepatannya, mengaburkan makna kata demi kata. Kedua, nama-nama suci seperti Al-Husain kerap hanya muncul sekelebat dalam alunan syair. Mereka bukan subjek utama yang dikenali, melainkan bagian dari rangkaian nada yang mudah terlewat jika tidak dicermati. Ketiga, banyak pujian tidak menyebut nama “Al-Husain” secara eksplisit. Ia tersembunyi di balik sebutan kolektif seperti “wabnahuma” atau terselubung dalam metafora indah seperti “dua purnama” untuk Hasan dan Husain, yang maknanya kerap tak terjangkau oleh pendengar awam.
Namun, akar paling dalam dari keterasingan ini adalah gelombang perubahan pemahaman keagamaan yang melanda masyarakat. Banyak masjid di berbagai penjuru Indonesia telah beralih pengelolaan, dikuasai oleh paham yang kerap menyamar dengan berbagai nama, namun berpijak pada ideologi Wahabisme yang digerakkan intensif dari Timur Tengah. Salah satu agendanya adalah menghapus tradisi pujian dan shalawat yang dianggap bid’ah, termasuk yang memuliakan keluarga Nabi. Akibatnya, seiring menguatnya pengaruh ini dan terkikisnya tradisi oleh arus modernitas, pujian-pujian bernada yang telah diwariskan turun-temurun kini nyaris punah. Puluhan syair yang dulu menggema di masjid dan majelis kini tak lagi diingat, apalagi dilantunkan.
Tragedi sensor ini merembes lebih jauh, menyentuh ranah identitas personal: pemberian nama. Nama-nama agung seperti Ali, Hasan, dan Husain, yang dulu menghiasi akta kelahiran, kini semakin jarang terdengar. Sebagian orang tua terpikat oleh nama-nama bernuansa Barat yang dianggap “modern” meski seringkali kosong makna. Namun, sebagian lainnya enggan memilih nama-nama suci ini karena terpengaruh doktrin yang memandangnya syubhat, atau karena ketakutan anak mereka akan dicap menganut Syiah—stigma sosial yang dapat menyulitkan si penyandang nama. Sensor sejarah ini, yang secara sistematis mengaburkan warisan keluarga Nabi, memperparah hilangnya pengenalan terhadap nama-nama mulia tersebut dari kesadaran kolektif masyarakat.
Inilah ironi yang menyayat: posisi tragis Al-Husain. Berabad-abad setelah kesyahidannya yang penuh pengorbanan di padang Karbala, penderitaannya seolah belum usai. Namanya, simbol keberanian dan keteguhan iman, kini terancam lenyap dari ingatan kolektif. Bahkan ajaran luhur yang dijunjungnya atau kisah heroik kesyahidannya, nama Karbala—tempat bersejarah itu—hampir tak lagi dikenali. Seolah-olah tirani yang pernah dihadapinya berlanjut dalam wujud baru. Rezim Yazid dan penerusnya, dengan kejam, telah memanipulasi sejarah, mengaburkan fakta suci tragedi Karbala melalui teks-teks palsu dan narasi fiktif yang disebar secara masif. Upaya pengaburan ini tampaknya masih berjalan, melampaui zaman, meninggalkan kesunyian di mana nama Al-Husain seharusnya bergema.
Bila ada yang masih diingat tentang Al-Husain, terutama di kalangan generasi tua, maka itu hanyalah kisah manis tentang bocah Al-Husain yang menaiki punggung kakeknya, Rasulullah, saat bersujud dalam shalat. Ini bukan kebetulan. Kisah ceria ini, meski indah, seolah sengaja dikedepankan untuk menggantikan narasi pilu pembantaiannya di Karbala.
Upaya ini merupakan bagian dari sensor sejarah yang licik, yang berusaha mereduksi perjuangan heroik Al-Husain menjadi sekadar cerita ringan tentang kasih sayang kakek dan cucu, sembari mengaburkan makna pengorbanannya yang menggetarkan.
Kini, di tengah Asyura yang kembali hadir, kita diajak merenung: akankah kita membiarkan sensor sejarah ini terus memadamkan cahaya Karbala? Ataukah kita akan menghidupkan kembali nama-nama suci itu, tidak hanya dalam lantunan pujian, tetapi juga dalam kesadaran dan keberanian untuk memperjuangkan kebenaran, sebagaimana Al-Husain lakukan? Pilihan ada di tangan kita, untuk memastikan bahwa tragedi Karbala bukan sekadar kisah masa lalu, tetapi pelita yang terus menyala, menerangi jalan menuju keadilan dan kebenaran.