Di antara sekian banyak konsep teologis yang kerap diperdebatkan dalam Islam, qada’ dan qadar termasuk yang paling sering menimbulkan perbedaan tafsir. Sebagian orang memahaminya sebagai garis nasib yang tidak dapat diubah, seakan-akan manusia hanya boneka yang digerakkan oleh tangan tak kasat mata. Sebagian lain menolak konsep ini karena dianggap bertentangan dengan kebebasan kehendak manusia. Pertanyaan besar pun muncul: apakah manusia benar-benar bebas, atau seluruh hidupnya sudah ditentukan?
Pertanyaan ini bukan sekadar wacana akademis. Ia menyentuh sisi terdalam dari kehidupan sehari-hari: ketika kita sakit, bekerja, jatuh miskin, atau ditimpa musibah, kita selalu bergulat dengan pertanyaan apakah semua itu takdir yang harus diterima begitu saja, atau masih ada ruang untuk berusaha. Apakah doa dan ikhtiar bisa mengubah takdir? Atau semuanya sudah tertulis dan mustahil dihindari?
Dalam pandangan Al-Qur’an dan Ahlulbait Nabi saw, qada’ dan qadar bukanlah misteri fatalistik, melainkan hukum universal Ilahi yang menata segala sesuatu dalam bingkai sebab-akibat. Konsep ini justru menegaskan kesempurnaan sistem penciptaan, sekaligus memberikan ruang bagi manusia untuk bertindak, memilih, dan bertanggung jawab.
Hakikat Qada’ dan Qadar dalam Pandangan Islam
Segala sesuatu di alam semesta berjalan di bawah sistem yang sangat rapi, logis, dan penuh perhitungan. Tidak ada fenomena yang muncul tanpa sebab. Seekor burung tidak jatuh tanpa alasan, air tidak mengalir tanpa gravitasi, dan tumbuhan tidak tumbuh tanpa cahaya serta air. Inilah yang disebut prinsip kausalitas atau sebab-akibat.
Dalam kerangka besar ini, qadar adalah ukuran, proporsi, dan batas yang telah Allah tetapkan bagi setiap makhluk. Setiap ciptaan diberi dimensi, sifat, dan potensi tertentu. Sebagaimana seorang arsitek merancang bangunan dengan ukuran yang pasti dalam pikirannya sebelum diwujudkan, Allah pun menetapkan proporsi untuk ciptaan-Nya. Al-Qur’an menyatakan:
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut suatu ukuran (qadar).” (QS al-Qamar [54]: 49)
“Sesungguhnya Allah telah menentukan bagi tiap-tiap sesuatu ukuran yang pasti.” (QS ath-Thalaq [65]: 3)
Sedangkan qada’ adalah keputusan Allah yang final, realisasi konkret dari rencana Ilahi itu. Jika qadar adalah rancangan dalam bentuk proporsi, maka qada’ adalah pelaksanaan nyata dari rancangan tersebut. Qada’ adalah manifestasi dari kehendak Allah yang pasti terlaksana.
Dengan demikian, qadar menyangkut batas dan ukuran, sedangkan qada’ menyangkut kepastian realisasi. Keduanya tidak dapat dipisahkan, seperti rancangan arsitektur dengan bangunan yang akhirnya berdiri.
Al-Qur’an berbicara tentang ketetapan ini sebagai sunnatullah—hukum tetap Allah yang mengatur semesta. Firman-Nya:
“Kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada Sunnah Allah.” (QS al-Ahzab [33]: 62)
Artinya, sistem yang telah ditetapkan Allah adalah kokoh dan konsisten. Namun, kepastian hukum Ilahi ini tidak berarti manusia kehilangan ruang gerak. Justru dalam bingkai hukum itulah manusia diberi kebebasan untuk memilih jalannya.
Contoh Kehidupan Sehari-hari
Bayangkan seseorang terkena radang usus buntu. Penyakit itu sendiri merupakan bagian dari qadar—ia terjadi karena faktor biologis tertentu. Namun, orang tersebut masih dihadapkan pada dua pilihan: menjalani operasi atau menolaknya. Jika ia operasi, ia sembuh; jika menolak, ia meninggal. Kedua jalan itu sama-sama berada dalam wilayah qadar Allah, tetapi manusia tetap harus memilih.
Inilah bedanya antara qadar dengan determinisme mutlak. Dalam determinisme, manusia sama sekali tidak memiliki ruang gerak. Sedangkan dalam qadar, manusia tetap bebas memilih, tetapi pilihannya akan melahirkan akibat yang pasti sesuai hukum sebab-akibat.
Imam Ali as pernah menjelaskan hal ini dengan cara yang sangat praktis. Ketika beliau sedang bersandar pada dinding yang hampir roboh, lalu berpindah ke dinding yang kokoh, ada yang bertanya: “Apakah engkau lari dari qadar Allah?” Beliau menjawab:
“Aku melarikan diri dari satu qadar ke qadar yang lain.”
Jawaban ini mengandung hikmah mendalam. Bahwa bergerak atau berdiam diri, bangkit atau duduk, semuanya ada dalam qadar Allah. Namun manusia tetap memiliki tanggung jawab untuk memilih jalan terbaik.
Qada’, Qadar, dan Tanggung Jawab Manusia
Pertanyaan berikutnya: jika segala sesuatu ditentukan oleh qada’ dan qadar, apa gunanya doa, ikhtiar, atau perjuangan?
Jawabannya: doa dan ikhtiar justru bagian dari qadar itu sendiri. Takdir tidak berarti pasrah tanpa usaha. Sebaliknya, usaha adalah cara kita berjalan dalam bingkai qadar Allah.
Al-Qur’an menegaskan:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS ar-Ra’d [13]: 11)
Ayat ini menunjukkan bahwa perubahan nasib manusia, baik individu maupun kolektif, bergantung pada ikhtiar mereka. Takdir tidak statis. Sunnatullah memberikan ruang perubahan, asalkan manusia berusaha.
Dimensi Non-Material dalam Takdir
Manusia sering kali hanya melihat takdir dari sisi material. Padahal faktor non-material juga memiliki pengaruh besar. Amal saleh, kasih sayang, dan ketakwaan mampu membuka jalan keberkahan. Sebaliknya, kezaliman dan kedengkian menutup pintu rahmat dan membawa kehancuran.
Al-Qur’an menyatakan:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan kebenaran, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS al-A’raf [7]: 96)
“Kami tidak akan membinasakan suatu negeri kecuali jika penduduknya berbuat zalim.” (QS al-Qashash [28]: 59)
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa iman dan amal saleh bukan sekadar urusan pribadi, melainkan faktor perubahan sosial. Keberkahan, kedamaian, bahkan kemakmuran suatu bangsa bergantung pada kondisi spiritual dan moral masyarakatnya.
Kritik terhadap Determinisme
Di masa lalu, kaum penentang para nabi sering menggunakan dalih qada’ dan qadar untuk mempertahankan status quo. Mereka berkata:
“Jikalau Allah menghendaki kita untuk tidak menyembah para malaikat, tentu kami tidak akan menyembahnya.” (QS az-Zukhruf [43]: 20–21)
Dengan tafsir yang keliru atas takdir, mereka membenarkan penyembahan berhala dan melawan perubahan sosial. Namun, para nabi justru menolak tafsir fatalistik ini. Mereka menegaskan bahwa qada’ dan qadar bukanlah alasan untuk menyerah, melainkan panggilan untuk bertanggung jawab.
Imam Ali as menegaskan:
“Qada’ dan qadar bukanlah paksaan mutlak, melainkan sistem sebab-akibat. Barang siapa bekerja, ia akan menuai hasilnya; barang siapa bermalas-malasan, ia akan merasakan akibat kemalasannya.”
Dengan kata lain, iman kepada qada’ dan qadar tidak menghapus tanggung jawab manusia. Justru ia memperkuat keyakinan bahwa setiap perbuatan akan membawa balasannya, baik di dunia maupun di akhirat.
Qada’ dan Qadar sebagai Dasar Revolusi Sosial
Dalam perspektif Ahlulbait, keyakinan kepada qada’ dan qadar harus mendorong manusia untuk bangkit melawan penindasan, bukan tunduk kepadanya. Sunnatullah menegaskan bahwa Allah menjanjikan kemenangan kepada orang-orang beriman yang beramal saleh:
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi.” (QS an-Nur [24]: 55)
Ayat ini adalah janji perubahan sosial yang pasti. Namun janji itu hanya berlaku bagi mereka yang beriman dan beramal, bukan bagi yang berdiam diri dengan alasan “takdir sudah ditentukan.”
Karena itu, pemahaman yang benar tentang qada’ dan qadar justru melahirkan energi revolusioner: keyakinan bahwa perjuangan menegakkan keadilan akan membuahkan hasil, karena ia sesuai dengan sunnatullah. Sebaliknya, kezaliman pasti akan binasa, karena ia juga bertentangan dengan sunnatullah.
Penutup
Qada’ dan qadar bukanlah misteri yang menutup ruang kebebasan manusia, melainkan sistem Ilahi yang menata semesta dengan hukum sebab-akibat. Dalam kerangka ini, manusia tetap memiliki kehendak bebas, dan setiap pilihannya akan membuahkan akibat yang pasti.
Maka, beriman kepada qada’ dan qadar bukan berarti menyerah pada nasib. Justru sebaliknya: ia menuntut manusia untuk aktif, berusaha, berdoa, dan berjuang. Ia adalah panggilan untuk bertanggung jawab, bukan untuk pasrah.
Al-Qur’an dan penjelasan para Imam Ahlulbait as mengajarkan bahwa takdir adalah hukum Ilahi yang adil. Barang siapa menanam kebaikan akan menuai kebaikan, barang siapa menanam kezaliman akan menuai kehancuran. Dunia bukan panggung kebetulan, tetapi panggung hukum Ilahi yang pasti.
Karena itu, memahami qada’ dan qadar bukan sekadar soal teologi, melainkan soal keberanian: keberanian untuk memilih jalan kebaikan, keberanian untuk melawan kezaliman, dan keberanian untuk percaya bahwa setiap amal kita berada dalam pelukan hukum Ilahi yang penuh keadilan.
Disarikan dari buku karya Mujtaba Musawi Lari – Keadilan Allah Qada dan Qadar Manusia