Nabi Muhammad SAW dilahirkan dan tumbuh di tengah keluarga yang bertauhid, berakhlak mulia, serta berkedudukan tinggi. Kakeknya, Abdul-Muthalib, menunjukkan keimanannya dalam doanya saat Abrahah mencoba menghancurkan Ka’bah. Kedua orang tua Nabi SAW juga dijelaskan dalam riwayat sebagai orang yang anti syirik dan berhala, seperti sabda Nabi SAW: “Aku berpindah dari sulbi-sulbi pria suci ke rahim wanita-wanita suci,” yang mengisyaratkan kesucian para leluhurnya dari segala bentuk syirik.
Pada masa kelahiran Rasulullah SAW, dunia sedang dalam kekacauan. Agama Kristen tidak mampu menyelesaikan berbagai penyimpangan yang melanda, sementara Romawi dan Persia berada dalam kondisi yang buruk. Keadaan di Arab juga tak lebih baik. Imam Ali AS dalam khotbahnya melukiskan situasi sebelum diutusnya Nabi SAW sebagai masa di mana dunia kehilangan cahaya, fitnah merajalela, dan umat manusia terlelap dalam kebodohan.
Dalam keadaan ini, lahirlah cahaya ilahi, yaitu Nabi Muhammad SAW, yang membawa kabar gembira tentang kehidupan yang mulia. Beliau dilahirkan pada Tahun Gajah (570 M) di bulan Rabiul-Awwal, sebagaimana disepakati oleh mayoritas ahli hadis dan sejarawan.
Abdul-Muthalib tidak berlindung kepada berhala saat itu, tetapi bertawakal kepada Allah. Beliau juga telah mengetahui ihwal Nabi SAW melalui berbagai riwayat. Bukti lainnya adalah doa Abdul-Muthalib untuk meminta hujan dengan bertawasul kepada Nabi SAW, meskipun beliau masih menyusu, karena mengetahui kedudukannya di sisi Allah. Pamannya, Abu Thalib, juga terus mendukung Nabi SAW, meskipun harus menanggung gangguan dari kaum Quraisy.
Tauhid dan keyakinan dari dua pengasuh Nabi SAW, Abdul-Muthalib dan Abu Thalib, tercermin dalam dukungan mereka terhadap beliau, menambah kebanggaan dan kemuliaan bagi keluarga Nabi SAW.
Ahlulbait Nabi SAW menetapkan bahwa beliau lahir pada hari Jumat, tanggal 17 Rabiul-Awwal. Sumber sejarah mencatat peristiwa unik saat kelahirannya, seperti padamnya api kaum Persia, gempa yang meruntuhkan gereja dan tempat ibadah Yahudi, serta tumbangnya berhala-berhala di Ka’bah. Kejadian ini membuat para tukang sihir dan dukun terperangah. Selain itu, bintang-bintang yang sebelumnya tak terlihat juga muncul.
Nabi SAW memiliki dua nama, yaitu “Muhammad” dan “Ahmad”. Al-Quran menyebutkan kedua nama tersebut. Kakeknya, Abdul-Muthalib, menamainya “Muhammad” dengan harapan beliau dipuji di langit dan di bumi, sementara ibunya menamakannya “Ahmad” sebelum kakeknya. Injil, melalui Nabi Isa AS, juga telah memberitakan kedatangan Nabi Muhammad SAW, seperti disebutkan dalam Al-Quran.
Nabi Muhammad SAW menjadi perhatian besar kakeknya, Abdul-Muthalib, setelah kehilangan putranya, Abdullah. Kakeknya menyerahkan urusan penyusuan Nabi kepada Tsuwaibah, budak Abu Lahab, lalu mengirimnya ke pedusunan Bani Sa’d, tempat yang jauh dari wabah di Mekkah. Di sana, Nabi SAW menyusu dan tumbuh di lingkungan yang sehat, seperti kebiasaan orang-orang terhormat Mekkah yang menitipkan anak-anak mereka untuk disusui oleh perempuan Bani Sa’d yang terkenal dalam hal ini.
Tahun kelahiran Nabi SAW dikenal sebagai tahun kekeringan, dan perempuan-perempuan yang mencari bayi untuk disusui enggan mengambil Nabi SAW karena beliau yatim. Hingga akhirnya, Halimah binti Abi Dzaib Sa’diyyah, yang awalnya ragu, memutuskan mengambil Nabi SAW setelah tidak menemukan bayi lain. Suaminya mendukung keputusan tersebut, dan Halimah berharap mendapatkan berkah dari menyusui Muhammad SAW.
Setelah mengambil Nabi SAW, Halimah benar-benar mendapatkan keberkahan. Air susunya yang semula kering menjadi penuh dan mengalir deras. Halimah mengakui bahwa sejak mengasuh Nabi SAW, kehidupannya menjadi berkecukupan. Nabi SAW tinggal bersama Halimah dan suaminya di Bani Sa’d selama sekitar lima tahun. Ketika Nabi SAW disapih setelah dua tahun, Halimah, dengan berat hati, mengembalikan beliau kepada keluarganya.
Aminah, ibu Nabi SAW, menginginkan agar putranya tetap tinggal di pedusunan jauh dari Mekkah untuk melindunginya dari penyakit. Halimah pun kembali membawa Nabi SAW dengan gembira. Diriwayatkan bahwa dua kali Halimah membawa Nabi SAW kembali ke Mekkah, namun merasa khawatir setelah melihat sekelompok Kristen dari Habasyah yang ingin membawa Muhammad SAW ke Habasyah, karena mereka menemukan tanda-tanda Nabi yang dijanjikan.
Para sejarawan mencatat peristiwa bertawasul untuk memohon hujan melalui Rasulullah SAW lebih dari sekali, baik saat beliau masih menyusu maupun ketika masih kecil dalam asuhan kakeknya, Abdul-Muthalib, dan pamannya, Abu Thalib. Kali pertama terjadi ketika Mekkah dilanda paceklik besar selama dua tahun. Abdul-Muthalib meminta Abu Thalib untuk membawa Muhammad SAW, yang saat itu masih bayi, kemudian menggendongnya sambil menghadap kiblat. Abdul-Muthalib berdoa, “Wahai Tuhanku, demi kedudukan anak ini,” dan meminta hujan. Tak lama, awan menggelayuti langit dan hujan deras pun turun.
Peristiwa serupa terulang ketika Nabi SAW sudah remaja. Bersama Abdul-Muthalib, mereka pergi ke Gunung Abi Qubais, dan Abu Thalib mengisyaratkan hal ini dalam syairnya, menyebut bahwa mereka berdoa hingga hujan deras pun turun.
Kaum Quraisy juga pernah meminta Abu Thalib agar memohonkan hujan bagi mereka. Beliau membawa Nabi SAW yang saat itu masih kecil ke Masjidil-Haram. Nabi SAW tampak seperti matahari yang menerangi kegelapan, dan setelah Abu Thalib berdoa, awan datang dan hujan deras pun turun, membahagiakan semua orang.
Abu Thalib juga mengingat kemuliaan Nabi SAW ketika kaum Quraisy menyakiti beliau dan misinya. Beliau menyebutkan bahwa Nabi SAW adalah orang yang mulia, “Yang putih bersih yang awan meminta agar mengucurkan airnya.” Semua ini menunjukkan bahwa Nabi SAW tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh dengan tauhid dan keimanan yang tulus kepada Allah.
*Disarikan dari buku Biografi Nabi Muhammad SAW: Sang Adi Insan – The Ahl-ul-Bayt World Assembly