Di antara para Imam Ahlulbait, sosok Imam Hasan bin Ali bin Muhammad as, yang dikenal sebagai Imam Hasan Askari as, menempati posisi yang sangat penting. Beliau adalah Imam kesebelas Syiah Itsna Asyariyah, lahir pada 10 Rabiul Akhir tahun 232 H dan hanya memimpin selama enam tahun sebelum syahid pada tahun 260 H, di usia yang sangat muda—28 tahun. Meski kepemimpinan beliau berlangsung singkat, tetapi pengaruhnya sangat menentukan arah keberlangsungan komunitas Syiah, terutama karena beliau adalah ayah dari Imam Mahdi afs yang dinantikan.
Nama “Askari” yang melekat pada beliau berasal dari kata Askar, merujuk pada wilayah militer di kota Samarra, Irak. Julukan ini bukan sekadar nama, melainkan simbol tekanan dan pengasingan. Imam Hasan Askari as hidup dalam pengawasan ketat khalifah Abbasiyah, yang ingin mengendalikan aktivitas beliau agar tidak berkembang menjadi kekuatan perlawanan. Namun, justru dalam situasi penuh keterbatasan itulah, beliau berhasil mengokohkan jaringan wakil-wakil Syiah dan meneguhkan keyakinan tentang kelanjutan imamah hingga Imam Mahdi afs.
Keturunan dan Keluarga
Imam Hasan Askari as adalah putra Imam Ali al-Hadi as, imam kesepuluh, dan ibunya menurut berbagai riwayat bernama Hudaits, Susan, atau Salil. Beliau lahir di Madinah, meski beberapa riwayat juga menyebut Samarra sebagai tempat lahirnya. Sejak kecil, beliau ikut bersama ayahandanya yang dipaksa tinggal di Samarra oleh penguasa Abbasiyah. Kota itu menjadi penjara besar bagi Ahlulbait, dan di situlah Imam Hasan Askari tumbuh hingga akhir hayatnya.
Beliau memiliki beberapa saudara, di antaranya Ja’far, yang kemudian dikenal sebagai Ja’far al-Kadzdzab karena mengklaim keimaman setelah wafatnya Imam Hasan Askari. Klaim ini ditolak oleh pengikut Syiah karena Imam Hasan Askari telah menunjuk putranya, Muhammad al-Mahdi afs, sebagai penerus. Dari sinilah sejarah mencatat babak baru: masa ghaibah.
Julukan dan Gelar
Imam Hasan Askari as memiliki banyak gelar yang mencerminkan kepribadian mulia dan spiritualitasnya: Hadi, Naqi, Zaki, Rafiq, Shamit, dan Khalis. Beliau juga dijuluki Abu Muhammad, Abu al-Hasan, dan Abu al-Hujjah. Gelar-gelar tersebut menunjukkan kemurnian jiwa, kedekatan dengan Allah, dan peran sebagai pembawa hujjah (argumentasi kebenaran). Sedangkan nama “Hasan” membuat beliau disebut juga “Hasan Akhir”, untuk membedakan dengan Imam Hasan Mujtaba as.
Masa Keimamahan yang Singkat
Ketika Imam Hadi as wafat pada tahun 254 H, kepemimpinan berpindah kepada Imam Hasan Askari as. Saat itu, situasi politik dunia Islam berada dalam gejolak. Dinasti Abbasiyah sedang rapuh, banyak pemberontakan, terutama dari kalangan keturunan Alawi. Kekuasaan sebenarnya bahkan lebih banyak dikendalikan oleh komandan Turki dalam militer Abbasiyah daripada khalifah sendiri.
Imam Askari as harus menghadapi tiga khalifah zalim: Mu’taz, Muhtadi, dan Mu’tamid. Mereka semua menaruh curiga besar terhadap beliau, sebab ada ramalan yang beredar bahwa dari keturunan Ahlulbait akan lahir seorang pemimpin besar yang akan menggulingkan kezaliman. Karena itulah, Imam selalu diawasi, dipenjara, bahkan diasingkan. Namun, setiap tekanan justru memperlihatkan ketinggian akhlak beliau, serta kecerdikan dalam mengelola komunikasi dengan para pengikut.
Hubungan dengan Pengikutnya
Kondisi pengawasan ketat membuat Imam Hasan Askari as tidak leluasa bertemu pengikut. Namun, beliau membangun jaringan wakalah—para wakil yang bertugas menyampaikan ajaran, menerima zakat dan khumus, serta menjadi penghubung antara Imam dan umat. Di antara wakil terpenting adalah Utsman bin Sa’id, yang kelak menjadi duta pertama Imam Mahdi afs dalam masa ghaibah kecil.
Selain itu, Imam juga menjalin komunikasi melalui korespondensi. Banyak surat beliau masih tercatat, seperti surat kepada ulama Qom dan surat kepada Ali bin Husain Babawaih, seorang tokoh besar yang dikenal sebagai ayah dari Syaikh Shaduq. Dari surat-surat itu, terlihat bagaimana Imam membimbing umat dalam masalah akidah, fiqh, dan akhlak, meski dalam kondisi penuh tekanan.
Pengajaran dan Pemikiran
Imam Hasan Askari as dikenal sebagai seorang alim besar. Beliau menekankan pentingnya akal, kesabaran, dan solidaritas di antara sesama pengikut Ahlulbait. Salah satu perkataannya yang terkenal adalah:
“Ibadah bukan dinilai dari banyaknya salat dan puasa, tetapi dari banyaknya berpikir tentang perkara Ilahi.”
(Tuhaf al-‘Uqul, hlm. 488)
Pernyataan ini menunjukkan bahwa ibadah bukan sekadar ritual, tetapi juga pemahaman dan perenungan mendalam tentang makna hidup serta hubungan dengan Allah.
Dalam bidang tafsir, sebuah karya terkenal bernama Tafsir Imam Hasan Askari dinisbatkan kepada beliau. Meski para ulama berbeda pendapat tentang keaslian penyandaran ini, tidak diragukan bahwa Imam memiliki kontribusi besar dalam pengajaran tafsir Alquran. Banyak hadis beliau yang menafsirkan ayat-ayat kunci, memberi cahaya bagi pemahaman teologi dan etika.
Dalam teologi, beliau mengajarkan tentang tauhid dengan penekanan pada keesaan Allah yang mutlak, tanpa keserupaan dengan makhluk. Beliau menolak diskusi berlebihan tentang “dzat Allah” dan menegaskan bahwa Allah adalah Pencipta yang tidak menyerupai ciptaan-Nya.
Dalam fikih, beliau dikenal dengan gelar faqih, karena keluasan ilmunya. Beliau memberikan penjelasan tentang persoalan praktis yang muncul di zamannya, seperti penentuan awal Ramadhan dan hukum khumus. Semua itu menunjukkan kelanjutan peran Imam sebagai sumber hukum dan bimbingan spiritual.
Kesyahidan
Imam Hasan Askari as syahid pada tanggal 8 Rabiul Awwal 260 H. Riwayat-riwayat terpercaya menyebut bahwa beliau diracun atas perintah Khalifah Mu’tamid. Sebagaimana sabda Imam Ja’far Shadiq as: “Demi Allah, tak seorang pun dari kami kecuali mati syahid.”
Kesyahidan beliau menjadi duka mendalam. Riwayat menyebutkan bahwa pada hari wafatnya, pasar-pasar di Samarra ditutup, dan semua orang dari Bani Hasyim hingga masyarakat umum ikut mengantarkan jenazah beliau. Imam dimakamkan di rumahnya di Samarra, di samping ayahandanya, Imam Ali al-Hadi as. Makam mereka berdua kini dikenal dengan Haram Askariyain, sebuah tempat suci yang menjadi pusat ziarah. Meski pernah dihancurkan oleh kelompok teroris pada 2005 dan 2007, Haram Askariyain kemudian dibangun kembali dan tetap tegak sebagai simbol cinta dan kesetiaan kepada Ahlulbait.
Peran Strategis: Menyambungkan ke Ghaibah
Periode Imam Hasan Askari as adalah masa transisi penting menuju ghaibah Imam Mahdi afs. Sejak awal, beliau menyembunyikan kelahiran putranya untuk melindunginya dari ancaman Abbasiyah. Hanya segelintir sahabat terpercaya yang menyaksikan keberadaan Imam Mahdi kecil. Karena itu, setelah wafatnya Imam Hasan Askari, sebagian orang bingung dan muncul klaim palsu dari Ja’far. Namun, melalui kesaksian para wakil khusus, keyakinan Syiah diteguhkan bahwa Imam Mahdi benar-benar ada dan dialah hujjah Allah yang terakhir.
Dengan demikian, peran Imam Hasan Askari as sangat strategis: menyiapkan umat menghadapi masa ghaibah. Beliau melatih pengikutnya untuk terbiasa berhubungan melalui wakil, menanamkan kesabaran, dan menegaskan bahwa bumi tidak akan pernah kosong dari hujjah Allah.
Warisan Spiritual
Meski wafat muda, warisan Imam Hasan Askari as sangat kaya. Dari sisi keilmuan, beliau meninggalkan banyak hadis tentang tafsir, akhlak, fiqh, dan akidah. Dari sisi politik, beliau memperlihatkan bagaimana seorang pemimpin spiritual mampu bertahan di bawah tekanan tanpa kehilangan arah. Dari sisi teologis, beliau adalah jembatan menuju keyakinan akan Imam Mahdi afs.
Imam Hasan Askari as adalah teladan kesabaran dalam keterbatasan, teladan keilmuan dalam pengasingan, dan teladan kepemimpinan dalam keheningan. Kisah hidupnya mengingatkan kita bahwa cahaya kebenaran tidak pernah padam meski ditekan oleh kegelapan kekuasaan. Beliau adalah cahaya terakhir sebelum pintu ghaibah terbuka, yang darinya umat menanti janji kemenangan.
Biografi Imam Hasan Askari as bukan sekadar catatan sejarah seorang tokoh yang hidup singkat. Ia adalah kisah perjuangan spiritual dan politik seorang Imam yang menanggung beban besar dalam usia muda. Beliau menanamkan kesadaran bahwa kebenaran tetap tegak meski dalam keterbatasan, dan bahwa Allah selalu menjaga hujjah-Nya di muka bumi.
Hari ini, pusara beliau di Samarra tetap menjadi saksi bisu cinta para peziarah. Dari sana, umat Syiah terus mengingat warisan Imam Hasan Askari as: kesabaran, ilmu, dan persiapan menuju kehadiran sang Imam Mahdi afs yang dijanjikan.