Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Cara Menghidupkan Hati

Bagaimana cara menghidupkan dan mematikan hati? Jalan apa yang harus dilalui agar hati dapat menjadi hidup atau mati? Bagaimana bisa diraih hidup dan matinya hati?

Dalam nasihat yang diberikan oleh Imam Ali as, disebutkan bahwa kita mempunyai hati yang bisa hidup dan bisa mati. Ada bentuk kehidupan hati yang diharapkan sekaligus kematiannya yang berlawanan dengan kehidupan ini. Kehidupan hati yang diharapkan adalah hidup dan aktifnya keinginan-keinginan Ilahi serta dominasinya atas berbagai keinginan manusia. Kematian yang tidak diharapkan dari hati adalah terbunuhnya keinginan-keinginan Ilahi pada diri manusia, sementara kematian hati yang diharapkan adalah terbunuhnya berbagai macam keinginan rendah hewani. Dengan kata lain, kehidupan hati yang tidak diharapkan, yaitu menghidupkan berbagai keinginan rendah hewani dan dominasinya atas diri manusia. Nah, kini apa yang akan kita lakukan agar kita bisa mencapai kehidupan dan kematian hati yang diharapkan? Dan pada saat yang sama, bagaimana kita dapat terhindar dari kehidupan serta kematian hati yang tidak diharapkan?

Berkaitan dengan menghidupkan hati dan memiliki hati yang hidup, beliau berpesan, “Ahyi qalbaka bi al-maw’izhati” (Hidupkan hatimu dengan nasihat!). Sebaik-baik cara untuk menghidupkan hati adalah dengan mendengar atau membaca nasihat; melakukan telaah atas kitab-kitab yang berisikan nasihat. Sebagai misal, mengambil nasihat-nasihat yang ada di dalam Al-Quran, nasihat para nabi, rasul dan Imam (salam atas mereka semua). Bahkan manusia bisa memberikan nasihat pada dirinya sendiri. Manusia dapat menjadi penasihat bagi dirinya dengan mendiktekan pada dirinya konsep-konsep kebaikan atau mengingatkan dirinya sendiri. Dengan mendengar, membaca dan memberi instruksi nasihat pada diri, maka hati manusia akan menjadi hidup.

Mencoba cara menghidupkan hati yang seperti ini, sangat mudah. Ketika perhatian manusia tertuju pada nasihat, maka di dalam dirinya dia akan merasakan munculnya sebuah kondisi yang membuat batin serta hatinya aktif pada arah tertentu. Sebagai contoh, apabila seseorang mempunyai sifat malas dan tidak bergairah untuk mengerjakan salat nafilah, tetapi setelah mendengarkan atau membaca maw’izhah (yang berkaitan dengan pahala serta nilai salat nafilah), maka dia mulai tergerak dan tersemangati untuk mengerjakannya. Atau, apabila seseorang mempunyai kegemaran untuk melihat film-film yang tidak senonoh dibandingkan dengan membaca atau mendengar Al-Quran dan hadis, maka setelah mendengar nasihat (tentang efek negatif film tersebut dan nilai serta pahala membaca Al-Quran dan hadis), ia pun mulai mengubah kecenderungan dan kegemarannya yang negatif menjadi positif.

Sebelum mendapatkan maw’izhah, dia tidak tertarik pada hal-hal yang mengajaknya ke arah akhirat, namun setelah mengikuti majelis maw’izhah, begitu keluar dari majelis tersebut, dia mulai tertarik untuk membaca atau mendengar lebih banyak tentang hal-hal yang dapat menjadi bekalnya di kehidupan akhirat. Terciptalah gerak, semangat dan kehidupan baru dalam hatinya, karena sebelum ini hatinya mati, berbagai kecenderungan positif terkubur dan mati, dan yang seperti itu adalah tanda dari kematian hati, namun kini telah bergerak dan hidup kembali. Nasihat dan maw’izhah dapat menghidupkan hati; dia dapat menggerakkan hati pada arah yang seharusnya, dia dapat membangkitkan berbagai kecenderungan dan keinginan yang diharapkan pada hati manusia. Seperti itulah peran nasihat dalam menghidupkan hati manusia.

Dari sisi lain, terkadang faktor-faktor internal tertentu, seperti sebab-sebab natural, fisiologis, genetik, hormonal dan lain sebagainya, dapat menciptakan kondisi bagi manusia ketika keinginan serta tuntutan syahwat dan hewani dalam diri menjadi menguat, dan membuat seseorang tidak dapat melakukan kegiatan seperti belajar, menelaah, beribadah dan lain sebagainya. Faktor-faktor tersebut akan menarik keinginan dan kecenderungan manusia pada arah yang menyimpang. Demikian pula halnya dengan faktor-faktor eksternal, yang terkadang juga ikut memberikan pengaruhnya. Sebagai contoh, menyaksikan hal-hal atau mendengar topik-topik tertentu, akan membantu dalam memperkuat kecenderungan tertentu pula pada diri seseorang.

Kita semua tahu, kecenderungan negatif dapat muncul pada diri manusia. Para pemuda lebih terancam untuk terseret pada kecenderungan yang seperti ini bila dibandingkan dengan yang lain. Dalam keadaan seperti ini, hati juga bisa dikatakan hidup, namun hidup dan geraknya mengarah kepada setan, kehidupan seperti inilah yang harus segera diakhiri dan berbagai kecenderungan serta bara ini harus dipadamkan. Namun, bagaimana caranya?

Di sinilah, Imam Ali as memberikan solusi dengan pesan, “Amithu bi al-zuhdi. Padamkan hatimu (yang berkecenderungan negatif) dengan kezuhudan.” Caranya adalah dengan mengurangi kenikmatan duniawi dan hidup zuhud (mawas diri). Ketika seseorang berlebihan dalam menikmati berbagai macam kesenangan duniawi, banyak mengonsumsi makanan dan minuman yang membangkitkan gairah dan melihat serta membaca hal-hal yang bersifat stimulatif, sudah barang tentu dia akan tertimpa oleh kondisi-kondisi setani yang menghancurkan. Karenanya, apabila seseorang ingin selamat dari situasi dan kondisi yang semacam ini dan tidak didominasi oleh keadaan-keadaan setani, dia harus menghindarkan diri dari faktor-faktor penyebabnya dan menstabilkan berbagai macam kecenderungan yang ada. Mengapa harus seperti itu?

Jawabannya adalah, karena apabila sebab telah tercipta, akibat pun akan datang mengikutinya. Oleh sebab itu, apabila sebuah akibat tidak diinginkan, jangan pernah memberi peluang kemunculan pada sebabnya. Dengan memerhatikan kondisi fisik dan jiwa para pemuda, khususnya mereka yang sedang menjalani masa remaja yang penuh gejolak, maka langkah yang paling tepat untuk menyelamatkan diri adalah dengan mengurangi beragam kenikmatan duniawi. (Dalam agama), banyak ditunjukkan jalan dan cara untuk mengurangi berbagai kenikmatan duniawi, seperti berpuasa, menjalankan ibadah, menyibukkan diri dalam kegiatan yang menggunakan pemikiran dan sebagainya yang masing-masing dapat mengurangi gairah manusia pada kenikmatan duniawi.

Sampai di sini, kita telah mengetahui bahwa ada suatu bentuk kehidupan yang diharapkan bagi hati, yaitu kehidupan yang mengarahkan manusia pada Allah, spiritualitas (ma’nawiyyat) dan kesempurnaan. Apabila keadaan, kondisi dan semangat yang seperti ini hidup pada diri manusia, kita dapat mengatakan bahwa hati manusia itu hidup. Kehidupan yang seperti ini adalah kehidupan yang diharapkan dan jalan terbaik untuk mendapatkannya adalah melalui maw’izhah. Karena dengan mau’izhah-lah seseorang dapat merindukan akhirat serta berbagai macam kenikmatan dan kelebihannya, juga dapat menghindarkan diri dari azab akhirat dan berbagai kesulitannya.

Sekali lagi, kehidupan yang seperti ini adalah kehidupan yang diharapkan dan cara mendapatkannya tidak lain kecuali dengan maw’izhah. Adapun kematian hati yang diharapkan, yaitu kematian syahwat dan padamnya berbagai macam kecenderungan setani, jalan untuk meraihnya adalah dengan hidup zuhud, sebagaimana dinasihatkan oleh Imam Ali as: wa amithu bi al-zuhdi.

Dengan keterangan di atas, menjadi jelas sudah bagaimana hidup dan matinya hati sama-sama diharapkan, sebagaimana telah diterangkan juga jalan untuk merealisasikannya. Ada sebuah kehidupan yang diharapkan bagi hati, sebagaimana ada juga kematian yang diharapkan baginya, dan kedua-duanya harus diwujudkan.

*Disadur dari buku karya Ayatullah Taqi Misbah Yazdi – 22 Nasihat Abadi Penghalus Budi

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT