Imam Ali as menyebutkan dua cara untuk memperkuat hati: dengan keyakinan dan hikmah. Ia menjelaskan bahwa semua makhluk hidup, termasuk manusia, akan menjadi kuat jika mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Begitu pula dengan hati manusia; jika dapat mencapai hal-hal baik melalui aktivitas batinnya, hati tersebut menjadi kuat. Namun, jika gagal, hati menjadi lemah. Allah memberikan hati kepada manusia agar dapat mencapai kesempurnaan dan kekuatan serta menghindari kelemahan. Untuk menguatkan hati, penting untuk fokus pada pemahaman, ilmu, dan pengetahuan.
Aspek intelektual hati dapat diperkuat dengan keyakinan. Apabila hati bisa memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang paling urgen dan fundamental bagi manusia, seperti ideologi, konsep hidup dan pandangan dunia dalam tingkat pemahaman yang tinggi, dapat dipastikan bahwa hati ini akan menjadi kuat. Karena dia telah menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Namun, apabila hati tidak mendapatkan keyakinan dan mengalami keraguan, waswas, kegundahan dan ketidakpastian, hati ini akan menjadi hati yang lemah, karena tidak dapat menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik. Hati harus dapat mencapai keyakinan untuk menjadi kuat. Bila tidak dapat meraihnya, dia akan menjadi sebuah maujud yang lemah, tak berdaya dan pada puncaknya akan berakhir dengan kehancuran manusianya.
Apabila seseorang berkeinginan untuk memiliki hati yang kuat dan mempunyai sisi pengetahuan yang tinggi, dia harus berusaha mendapatkan keyakinan. Seseorang yang tidak peduli pada masalah-masalah makrifat, tentu dia tidak akan pernah memiliki hati yang kuat. Karenanya, dia harus memberikan perhatian dan kepedulian pada masalah-masalah i’tiqadi (berkaitan dengan akidah) dan setiap pengetahuan yang berpengaruh pada ketentuan akhir dari perjalanan hidupnya, seperti pengetahuan tentang Allah, Hari Akhir dan lain sebagainya, atau terhadap masalah-masalah mendasar duniawi yang sederhana.
Apabila dia merasakan ada kelemahan berkaitan dasar-dasar agama (ushuluddin), dia tidak boleh duduk tenang, dia tidak boleh berpangku tangan tidak berbuat apa-apa dan membiarkan keadaan tersebut berlangsung hingga terjadi sesuatu. Akan tetapi, dia harus berusaha maksimal untuk meraih kesempurnaan pengetahuan dan keyakinan. Apabila hati tidak digunakan untuk meraih keyakinan, hari demi hari dia akan semakin melemah, mundur dan berakhir dengan kehancuran manusianya.
Seperti anggota tubuh, jika tidak digunakan, ia akan menjadi lemah. Misalnya, jika mata seseorang ditutup selama bertahun-tahun, mata tersebut bisa menjadi lemah atau bahkan buta. Demikian juga, jika tangan tidak digunakan untuk bekerja, ia bisa mati rasa atau tidak berfungsi lagi. Singkatnya, tubuh menjadi kuat dengan aktivitas, dan lemah jika tidak digunakan. Hal yang sama berlaku untuk hati. Untuk memperkuat hati, kita harus menggunakannya untuk berpikir dan mencapai keyakinan.
Di sini, hati manusia juga diumpamakan sebagai makhluk hidup yang memerlukan makanan. Jika hakikat-hakikat keyakinan sampai kepada hati, hati tersebut akan menjadi kuat. Namun, bila hati dibiarkan dalam keadaan tidak tahu dan tidak mendapatkan pengetahuan yang disertai keyakinan, dia akan tetap dalam kelemahan dan dari waktu ke waktu akan menjadi semakin lemah hingga hancur dan binasa.
Cara menguatkan hati adalah dengan mencari keyakinan dan menuntut ilmu yang pasti (ulum yaqini). Jika hati bekerja untuk mencari ilmu ini, maka hati akan menjadi kuat, seperti halnya tubuh yang menjadi kuat dengan beraktivitas. Selain itu, hati juga membutuhkan “makanan” yang sesuai, yaitu pemahaman, ilmu, dan pengetahuan yang disertai keyakinan.
Ada makna lain dari “qawwihi bi al-yaqin” yang diungkapkan Imam Ali as. Ungkapan ini merujuk pada pengetahuan teoretis (nazhari), sementara “wa nawwirhu bi al-hikmati” merujuk pada hikmah praktis, yaitu pengetahuan yang pasti dan benar yang terlihat dalam perilaku manusia. Keyakinan yang benar (i’tiqadat haqqah), yang dikenal sebagai ma’arif nazhari atau hikmah nazhari, dapat memperkuat hati, kebalikan dari kelemahan.
Apabila hati manusia dalam keadaan ragu dan tidak memahami berbagai hakikat dengan keyakinan, hati ini adalah hati yang lemah; ibarat tanaman-tanaman berbatang ramping yang tidak dapat bertahan menghadapi berbagai badai keraguan dan syubhat. Adapun keyakinan, adalah sebuah unsur yang sangat kuat, dan, ketika melekat pada hati, maka hati pun akan menjadi kuat dan tidak ada satu badai pun yang dapat menggetarkan atau menggoyahnya. Yakni, beragam keraguan, syubhat dan kesesatan berpikir (fallacy) yang dihembuskan oleh setan-setan dari bangsa jin dan manusia, tidak akan dapat menggoyah hati ini. Karena hati tersebut telah mendapatkan ma’arif yaqiniyah dan telah menjadi kuat. Akan tetapi, bila hati dalam keadaan ragu, dia akan mudah goyah, seperti dahan yang ramping yang terus-menerus bergetar menghadapi angin dan tidak mempunyai kemampuan untuk bertahan. Oleh sebab itu, apabila kita ingin memiliki hati yang kuat; yakni hati yang dapat bertahan menghadapi beragam syubhat dan kesesatan berpikir; hati yang kokoh, tidak lemah dan tidak mudah goyah, maka kita harus mencari keyakinan.
Hikmah (Cahaya Batin)
Sifat lain dari hati adalah terang dan gelapnya. Hati yang tidak memiliki hikmah, baik praktis (‘amali) maupun teoretis (nazhari), adalah hati yang gelap. Hati seperti ini tidak tahu apa yang harus dilakukan, diyakini, atau dibedakan antara yang benar dan salah. Untuk menerangi hati, seseorang harus mencari hikmah.
Hati yang diharapkan adalah hati yang kuat, kokoh, serta terang dan bercahaya. Kedua kondisi ini penting karena meskipun hati kuat, jika jalannya gelap, ia tetap tidak akan mencapai tujuannya.
Dalam Al-Qur’an dan riwayat, hikmah sering diartikan sebagai hikmah praktis yang menerangi jalan hati. Seseorang yang memiliki hikmah amali (perilaku baik) tahu apa yang harus dicapai, tindakan yang harus dilakukan, dan sifat-sifat yang harus dimiliki. Dengan demikian, ia berjalan di jalan yang terang. Namun, jika ia tidak memiliki hikmah praktis dan berjalan di jalan yang gelap, meskipun akidah dan hatinya kuat, ia tidak akan mencapai tujuannya.
Hati akan menjadi kuat dengan pengetahuan yang pasti, benar, dan mendatangkan keyakinan, sehingga tidak ada keraguan atau kebingungan yang mampu menggoyahkannya. Dengan hikmah praktis, hati akan menemukan jalannya, dan jalan itu akan menjadi terang sehingga tidak tersesat dalam kegelapan.
Ungkapan “qawwihi bi al-yaqin” berarti “Kuatkan hatimu dengan pengetahuan yang pasti dan benar.” Sementara itu, “nawwirhu bi al-hikmah” berarti “Terangi jalan hatimu dengan hikmah praktis, agar dapat melihat jalannya dengan terang dan berjalan dengan langkah yang pasti.”
Ayat-ayat Al-Qur’an yang menyebutkan cahaya (nur) sebagai panduan hidup membuktikan makna ini, seperti dalam firman Allah: “Apakah orang yang sudah mati [karena kebodohan dan kesesatan], kemudian Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang [ilmu dan agama], yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah manusia,” dibandingkan dengan orang yang tetap berada dalam kegelapan [kebodohan dan kesesatan] yang tidak dapat keluar darinya.
Yang dimaksud dari nûrân yamsyi bihi fi al-nâsi adalah seberkas cahaya yang dengannya dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat. Maka manusia dalam berjalan dan bergerak membutuhkan pada cahaya dan cahaya itu dapat diperoleh dengan takwa. Atau dalam ayat lain disebutkan, Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah akan memberikan kepada kalian dua bagian dari rahmat-Nya dan menjadikan untuk kalian cahaya yang dengan cahaya itu kalian dapat berjalan menuju kebahagiaan abadi] Dengan demikian, apabila seseorang setelah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menempuh jalan takwa, Allah akan memberinya cahaya yang dapat menerangi jalannya.
Nah, ketika Imam Ali as berkata, “Terangilah hatimu dengan hikmah, karena apabila hati telah menjadi terang, maka dia akan dengan mudah menemukan jalannya,” maksud beliau dari hikmah di sini adalah hikmah praktis; karena hikmah praktislah yang menyebabkan perilaku manusia menjadi benar.
Tentu, ucapan-ucapan Ahlulbait as mempunyai kedalaman makna yang tak terhingga, yang akal manusia tidak berdaya untuk menyelaminya. Yang kami lakukan, hanyalah memaksimalkan pemahaman agar dapat mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari kalimat-kalimat penuh cahaya mereka.
*Disarikan dari buku karya Ayatullah Taqi Misbah Yazdi – 22 Nasihat Abadi Penghalus Budi