Diriwayatkan pula bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;
إنَّ الناس يعبدون الله على ثلاثة أوجه : فطبقة يعبدونه رغبةً إلى ثوابه فتلك عبادة الحرصاء، وهو : الطمع، وآخرون يعبدونه خوفاً من النار فتلك عبادة العبيد، وهي : الرهبة، ولكنِّي أعبده حبَّاً له فتلك عبادة الكرام، وهو : الأمن لقوله تعالى : ﴿وَهُم مِّنْ فَزَع يَوْمَئِذ آمِنُونَ﴾ ﴿قُلْ إِنْ كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ …﴾( فمَنْ أحبَّ الله ـ عزَّوجلَّ ـ أحبَّه الله، ومن أحبَّه الله ـ عزّوجلّ ـ كان من الآمنين.
“Sesungguhnya manusia menyembah Allah atas tiga hal. Satu golongan menyembahNya karena menginginkan pahalaNya, maka itulah ibadah orang-orang yang berambisi, yaitu ketamakan. Satu golongan lagi menyembahNya karena takut api neraka, maka itulah ibadah para budak, yaitu ketakutan. Tapi aku menyembahNya karena cinta kepadaNya maka itulah ibadah orang-orang mulia, yaitu keamanan sebagaimana firmanNya; ‘..sedang mereka itu adalah orang-orang yang aman tentram dari pada kejutan yang dahsyat pada hari itu.’[1] ‘Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ [2] Siapa mencintai Allah Azza wa Jalla Allahpun mencintainya, dan siapa dicintai Allah Azza wa Jalla dia tergolong orang-orang yang aman.”[3]
Ketiga, ketaatan yang memancar karena cinta selalu berbareng kenikmatan yang luar biasa, sedangkan ketaatan yang terdorong oleh pengetahuan semata akan cenderung menjenuhkan. Hal ini dapat digambarkan dengan perbedaan antara pasien yang akan menemui dokter dan orang yang akan menemui kekasihnya.
Pasien meluangkan waktu di ruang antre karena terpaksa demi kesembuhan. Alih-alih menikmati suasana penantian dan pertemuan dengan dokter itu dia merasa terdera oleh keadaan karena harus meninggalkan pekerjaan atau rutinitas lainnya. Dengan mental demikian, orang yang mendirikan shalat, misalnya, tak nyaman dan jenuh meluangkan waktunya dan meninggalkan rutinitas kesehariannya, tapi terpaksa bersabar melakukannya demi menghindari siksa akibat mengabaikan kewajiban.
Sedangkan ibadah tipe pecinta justru sebaliknya. Dia sangat menikmati suasana percintaan dan tak kenal kata jenuh meskipun dia letih dan kehilangan banyak waktu tidur malamnya, atau banyak waktu mata pencahariannya.
Dalam Mishbah Al-Syari’ah disebutkan;
ألا وإنَّك لو وجدت حلاوة عبادة الله، ورأيت بركاتها، واستضأت بنورها، لم تصبر عنها ساعةً واحدةً ولو قُطِّعت إرباً إرباً.
“Ketahuilah bahwa seandainya kamu menemukan manisnya ibadah kepada Allah, melihat berkah-berkahnya, dan mencari penerangan dari cahayanya niscaya kamu akan tidak betah (berhenti) dari ibadah barang sesaat meskipun kamu dicincang.”[4]
إذا تخلَّى المؤمن من الدنيا سما ووجد حلاوة حبِّ الله، وكان عند أهل الدنيا كأنَّه قد خُولِط، وانَّما خالط القوم حلاوة حبِّ الله، فلم يشتغلوا بغيره.
“Orang yang beriman apabila mengabaikan dunia niscaya akan terbang tinggi dan menemukan manisnya kecintaan kepada Allah. Dia terlihat benar-benar tak waras di pata para pecinta dunia, padahal orang yang beriman itu merasakan manisnya cinta kepada Allah sehingga tidak berurusan dengan selainNya.”[5]
Riwayat ini mirip dengan riwayat bahwa Imam Ali bin Abi Thalib as dalam khutbahnya mengenai orang-orang yang bertakwa berkata;
… لقد خولطوا ولقد خالطهم أمر عظيم.
“Mereka sungguh tak waras, dan mereka sungguh bergelimang perkara nan agung.”[6]
Kecintaan dan kenikmatan ini tak dapat bertemu dengan dosa. Karena itu beberapa riwayat menyebutkan bahwa dosa-dosa merupakan sebab keterasingan dari shalat malam, atau lezatnya munajat. Betapa tidak, sedangkan dosa menimbulkan hijab antara hamba dan Tuhannya, menghancurkan cinta dan kerinduan, menutupi hati dan membuatnya penuh karat.
Dalam Doa Abu Hamzah Al-Tsumali disebutkan;
وأ نَّك لا تحتجب عن خلقك إلاّ أن تحجبهم الأعمال دونك.
“Dan sungguh Engkau tidak membuat hijab dari hamba-hambaMu, melainkan perbuatanlah yang menghijab mereka dariMu.”
Diriwayatkan bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;
إنَّ الرجل ليكذب الكذبة فيحرم بها صلاة الليل.
“Sesungguhnya orang itu telah berkata suatu dusta maka terasinglah dia dari shalat malam.”[7]
Diriwayatkan pula bahwa seorang pria datang kepada Imam Ali bin Abi Thalib as lalu berkata, “Sungguh aku benar-benar terasing dari shalat malam.” Beliau lantas berkata;
أنت رجل قد قيَّدتك ذنوبك.
“Kamu adalah orang yang terbelenggung oleh dosa-dosamu.”[8]
(Bersambung)
[1] QS. Al-Naml [27]: 89.
[2] QS. Ali Imran [3]: 31.
[3] Bihar Al-Anwar, jilid 70, hal. 18.
[4] Bihar Al-Anwar, jilid 70, hal. 69.
[5] Bihar Al-Anwar , jilid 73, hal. 56.
[6] Nahjul Balaghah, Khutbah 193.
[7] Al-Wasa’il, jilid 8, hal. 160, Bab 40 Shalat Mandubah, hadis 3.
[8] Ibid, hadis 5.