Sejak awal sejarah peradaban, manusia senantiasa terikat dengan tanah tempat ia lahir, tumbuh, dan berakar. Dari tanah itulah ia belajar tentang bahasa, budaya, serta makna kebersamaan. Dalam Islam, ikatan emosional terhadap tanah air bukanlah perkara remeh atau sekadar kebiasaan manusiawi. Ahlul Bait Nabi saw memandangnya sebagai bagian dari iman, akhlak, bahkan syarat terwujudnya masyarakat yang adil.
Syiah, sebagai pengikut ajaran Ahlul Bait, menemukan dasar-dasar kecintaan kepada tanah air dalam hadis, riwayat, dan juga penjelasan para ulama. Cinta tanah air bukan semata-mata nasionalisme modern, tetapi fitrah manusia yang dibimbing oleh agama.
Hadis-Hadis tentang Tanah Air
Beberapa riwayat dari Amirul Mukminin, Imam Ali bin Abi Thalib as, menyingkap sisi etis dari cinta tanah air. Riwayat-riwayat tersebut, yang tercatat dalam karya klasik Bihar al-Anwar dan Safinah al-Bihar, menggarisbawahi bahwa tanah air adalah bagian dari identitas seorang mukmin.
Imam Ali as bersabda: “Negeri-negeri akan dapat dibangun dan dimakmurkan dengan adanya cinta tanah air.” (Bihar al-Anwar, jilid 75, hlm. 45).
Ungkapan ini menunjukkan bahwa keberlangsungan suatu negeri tidak semata ditopang oleh harta atau kekuatan militer, tetapi berakar pada rasa cinta rakyat terhadap tanah kelahirannya. Tanah air hanya bisa makmur jika masyarakatnya memiliki ikatan emosional yang kuat untuk merawatnya.
Dalam riwayat lain beliau as berkata: “Di antara tanda kemuliaan manusia adalah menangis atas waktunya yang disia-siakan dan memiliki rasa cinta terhadap tanah airnya.” (Bihar al-Anwar, jilid 7, hlm. 264).
Di sini, cinta tanah air diletakkan sejajar dengan kesadaran akan pentingnya waktu. Keduanya adalah tanda kemuliaan manusia: memelihara masa hidup dan menjaga tanah tempat berpijak.
Bahkan secara lebih tegas, riwayat lain menyebutkan: “Mencintai tanah air merupakan bagian dari tanda-tanda keimanan.” (Safinah al-Bihar, jilid 2, hlm. 524).
Riwayat-riwayat ini meski ringkas, sarat makna. Ia menegaskan bahwa iman tidaklah berdiri di menara gading yang jauh dari realitas sosial, melainkan berakar di bumi, di tanah kelahiran, dan di kehidupan sehari-hari.
Al-Qur’an dan Tanah Air
Perspektif ini selaras dengan Al-Qur’an. Allah Swt dalam surah Al-Mumtahanah (60: 8–9) menegaskan bahwa kaum Muslim diperintahkan untuk berlaku adil dan berbuat baik kepada mereka yang tidak memerangi atau mengusir mereka dari negeri sendiri. Sebaliknya, pengusiran dari tanah air dianggap sebagai kezaliman besar.
Kisah para nabi memperkuat makna ini. Nabi Ibrahim as dipaksa meninggalkan tanah kelahirannya karena menentang tirani Namrud. Nabi Musa as harus keluar dari Mesir untuk menyelamatkan diri. Rasulullah saw pun mengalami pengusiran dari Makkah. Dalam setiap peristiwa itu, kesedihan mendalam tampak jelas. Rasulullah saw bahkan ketika berhijrah, menoleh ke Makkah dan bersabda: “Wahai Makkah, engkau adalah tanah yang paling kucintai. Seandainya kaummu tidak mengusirku, aku tidak akan meninggalkanmu.”
Ayat-ayat dan kisah ini menunjukkan bahwa tanah air bukanlah sekadar tempat tinggal, tetapi bagian dari identitas spiritual seorang mukmin.
Cinta Tanah Air dalam Dimensi Kontemporer
Jika ditarik ke masa kini, kecintaan pada tanah air berarti menjaga kedaulatan bangsa, membela hak rakyat, dan menolak hegemoni asing. Imam Ruhullah Khomeini ra sering menegaskan bahwa mempertahankan tanah air dari penjajahan adalah kewajiban agama. Dalam pandangan beliau, tanah air bukan hanya soal batas geografis, melainkan tempat umat Islam menjalankan syariat, menegakkan keadilan, dan melindungi martabat manusia.
Di Indonesia, nilai ini terwujud nyata dalam perjuangan para ulama dan pejuang bangsa. KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang menegaskan bahwa membela tanah air dari penjajahan Belanda adalah fardhu ‘ain bagi setiap Muslim. Sikap ini sejalan dengan ajaran Ahlul Bait as, bahwa tanah air harus dipertahankan meski dengan darah dan nyawa.
Begitu pula perjuangan ulama lain seperti KH Ahmad Dahlan, Pangeran Diponegoro, hingga ulama pejuang di Aceh seperti Teuku Cik Ditiro dan Cut Nyak Dhien, yang melihat tanah air sebagai amanah Ilahi yang tak boleh dirampas oleh penjajah. Mereka menafsirkan jihad bukan sekadar ritual, melainkan perjuangan nyata membela negeri dari penindasan kolonial.
Pahlawan nasional lain seperti Soekarno dan Mohammad Hatta juga menegaskan hal serupa: cinta tanah air adalah fondasi berdirinya Republik Indonesia. Sumpah Pemuda 1928 adalah momentum penting yang menunjukkan bahwa tanah air dapat menjadi titik temu bagi keragaman suku, agama, dan budaya.
Dengan demikian, perjuangan para ulama dan pahlawan bangsa di Indonesia menunjukkan bahwa cinta tanah air adalah ekspresi iman yang konkret, sejalan dengan ajaran Ahlul Bait.
Cinta Tanah Air sebagai Akhlak Islami
Ahlul Bait as mengajarkan bahwa iman harus hadir dalam ranah sosial. Menjaga tanah air menjadi bagian dari tanggung jawab keagamaan. Imam Ali as. dalam Nahj al-Balaghah menegaskan: “Sesungguhnya negeri akan tetap tegak meski dipimpin orang kafir, selama di dalamnya ada keadilan. Tetapi ia tidak akan bertahan dengan kezaliman, meskipun dipimpin oleh orang beriman.” (Hikmah 469).
Pesan ini menegaskan bahwa tanah air akan kokoh jika dipelihara dengan keadilan. Keadilan adalah napas yang membuat tanah air tetap hidup. Karenanya, cinta tanah air tidak bisa dipisahkan dari kewajiban menegakkan keadilan dalam kehidupan sosial, politik, maupun ekonomi.
Maka, mencintai tanah air bukanlah sekadar perasaan sentimentil. Ia menuntut kerja nyata: menjaga lingkungan, melawan korupsi, mengembangkan pendidikan, dan berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat. Inilah bentuk pengabdian yang membuat cinta tanah air selaras dengan iman.
Penutup
Ahlul Bait as. mengajarkan bahwa tanah air adalah amanah Allah Swt yang wajib dijaga. Cinta tanah air bukan slogan kosong, melainkan tanda keimanan, wujud akhlak, dan syarat bagi terbangunnya masyarakat yang adil. Hadis-hadis dari Imam Ali as, ayat-ayat Al-Qur’an, serta teladan para nabi dan Imam memberi kita dasar yang kokoh untuk memahami makna ini.
Di tengah tantangan global, cinta tanah air menjadi fondasi bagi umat Islam untuk mempertahankan jati diri, menolak ketidakadilan, dan memakmurkan negeri. Dengan kata lain, sebagaimana ditegaskan Imam Ali as.: “Negeri akan makmur dengan cinta tanah air.”
Tugas kita hari ini adalah menjadikan cinta itu sebagai realitas hidup—melalui doa, kerja, pengorbanan, dan komitmen terhadap keadilan.
Referensi:
- Al-Majlisi, Bihar al-Anwar.
- Al-Qummi, Safinah al-Bihar.
- Imam Ali bin Abi Thalib, Nahj al-Balaghah.
- Tafsir Ayatullah Makarim Shirazi atas Surah Al-Mumtahanah.