Bagi umat Islam, penting untuk mempelajari sejarah kehidupan para maksumin as sebagai hal yang tak terhindarkan. Ini bukan hanya tentang mengenang kebesaran dan keistimewaan mereka, tetapi juga sebagai contoh sempurna dan pembelajaran. Kita tidak dapat mengikuti jejak mereka tanpa memahami dengan seksama petunjuk, aturan, dan strategi politik yang mereka terapkan. Saya pribadi merasa tertarik dan terikat pada beberapa aspek penting dalam kehidupan mereka, terutama saat saya mengalami cobaan berat dalam hidup saya.
Para Imam adalah teladan perjuangan dalam mengabdi pada “Tauhid” dan mendukung pemerintahan ilahi. Pergerakan yang berlangsung lama itu dimulai sejak 11 H hingga 250 H dan berakhir pada 260 H, sebagai permulaan kegaiban kecil Imam Mahdi (semoga Allah mempercepat kemunculannya). Bisa diartikan, para figur suci dan mulia itu melaksanakan tugas sebagai sosok tunggal, mengarah pada yang tunggal dan menuju ke tujuan tunggal. Karena itu, kita perlu mengubah pendekatan dalam mempelajari kehidupan tiap Imam secara individual dengan melihat mereka semua sebagai sosok yang hidup dan bergerak.
Ketika kita memikirkan Imam Hasan Mujtaba, Imam Husain al-Syahid, atau Imam Ali Sajjad, kita tidak hanya memperhatikan masa kehadiran fisik mereka. Pendekatan ini membantu kita menghindari kesimpulan yang salah karena perbedaan langkah mereka yang terkadang tampak bertentangan. Semua tindakan dan gerakan luar biasa dari para Imam itu sebenarnya mencakup pendekatan yang komprehensif.
Dalam pemikiran yang bijaksana, mereka memiliki pendirian dan taktik “situasional” yang dapat disatukan dalam gerakan jangka panjang. Mereka dapat bertindak cepat dalam beberapa situasi, sementara dalam situasi lain mereka mungkin terlihat lambat; bahkan, mereka mungkin secara taktis menarik diri dari pertarungan masyarakat secara terbuka.
Bagi yang memiliki pengetahuan, kebijaksanaan, dan fokus pada tujuan gerakan, mereka akan melihat taktik penarikan diri sebagai langkah maju. Menurut pendekatan ini, kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib adalah bagian dari rangkaian gerakan yang berkelanjutan, diikuti oleh Imam Hasan, Imam Husain, dan delapan Imam lainnya hingga tahun 260 H. Saya menyadari titik penting ini dan berusaha untuk mempelajari kehidupan para Imam mulia dengan pendekatan tersebut. Semakin saya menggali masalah ini, semakin jelas dan kuat titik penting tersebut.
Perjuangan Politik yang Gigih
Kita dapat mempelajari masalah ini dalam subjek terpisah, tetapi fakta utama menunjukkan bahwa kehidupan para Imam suci Ahlulbait selalu memiliki dimensi politik. Saya akan mencoba merangkum sebagian perjalanan hidup mereka yang tercerahkan untuk diskusi lebih lanjut.
Pertanyaan pertama yang dapat diajukan adalah: Apakah perjuangan politik dalam kehidupan para Imam suci? Pertanyaan ini menyoroti bahwa gerakan, langkah, dan perjuangan para Imam suci tidak terbatas pada ranah ilmiah, intelektual, atau teologis saja. Perjuangan mereka tidak sama dengan perjuangan teologis yang umumnya ditemui dalam sejarah Islam. Mereka tidak hanya mengadakan diskusi, kelas, atau mengajarkan doktrin keagamaan mereka.
Perjuangan mereka juga bukan pergerakan bersenjata seperti yang dilakukan oleh beberapa kelompok. Mereka tidak mengikuti jalur pemberontakan seperti yang dilakukan oleh Zaid dan para pengikutnya, atau kelompok-kelompok lainnya. Para Imam tidak mengusung jenis perjuangan semacam itu. Meskipun kondisi yang dihadapi oleh para Imam terungkap dalam gerakan yang unik.
Beberapa catatan sejarah menegaskan bahwa esensi dari perjuangan mereka bukanlah dalam bentuk persenjataan. Bahkan, ada dukungan dari beberapa pihak terhadap perjuangan yang diemban para Imam. Sebagai contoh, ada sebuah hadis yang disandarkan kepada Imam Jakfar Shadiq yang menyatakan keinginannya untuk mendukung para pejuang yang menegakkan kebenaran, meskipun tanpa ikut serta dalam pemberontakan atau perjuangan bersenjata.
Tujuan Perjuangan Maksumin as
Perjuangan politik tidak terbatas pada debat teologis atau perjuangan bersenjata semata, melainkan memiliki tujuan politik tertentu. Tujuan politik dari perjuangan tersebut adalah untuk mendirikan atau menegakkan sebuah pemerintahan Islam. Ini adalah pemerintahan yang dipimpin oleh individu yang saleh, sebagaimana yang diinginkan dan dilakukan oleh Imam Ali bin Abi Thalib.
Sejak wafatnya Rasulullah saw hingga tahun 260 H, para Imam selalu berupaya untuk mewujudkan pemerintahan Ilahi dalam masyarakat Islam. Meskipun demikian, tidak setiap Imam menegaskan pendirian pemerintahan Islam pada masanya sendiri secara langsung. Mereka memiliki pandangan ke depan yang jelas untuk mencapai tujuan tersebut.
Contohnya, Imam Hasan bin Ali (al-Mujtaba) berusaha mendirikan pemerintahan Islam dalam jangka pendek. Jawaban Imam Hasan terhadap pertanyaan Musayib dan Ibnu Najbah yang menanyakan alasan tentang diamnya Imam menunjukkan bahwa ia memiliki rencana untuk mendirikan pemerintahan Islam di masa depan.
Ada sejumlah bukti yang bersifat umum, seperti pengakuan bahwa kepemimpinan Islam (imamah) adalah kelanjutan dari kenabian (nubuwah), dan bahwa Nabi Muhammad saw juga merupakan seorang Imam. Imam Jakfar Shadiq menguatkan hal ini dengan pernyataannya bahwa Nabi Muhammad saw adalah seorang Imam. Rasulullah membangun sistem yang berdasarkan ajaran dan keadilan Ilahi melalui perjuangan yang berkesinambungan, dan para Imam yang mengambil alih kepemimpinannya tidak pernah mengabaikan sistem tersebut.
Meskipun pendapat tentang penegakan pemerintahan Islam dapat beragam dari waktu ke waktu, upaya untuk mewujudkannya selalu ada dalam tindakan para Imam. Selain aktivitas rohani, seperti penyempurnaan diri dan hubungan dengan Allah, aktivitas lain mereka, seperti pendidikan, pengajaran, hadis, tradisi Islam, debat dengan cendekiawan, dukungan terhadap kelompok tertentu, atau penolakan terhadap kelompok lain, semuanya mengarah pada tujuan penegakan pemerintahan Islam. Ini merupakan pijakan dasar dari pendirian mereka.
Tentu saja, masalah ini terus menjadi subjek perdebatan dan diskusi yang tak pernah berhenti. Saya tidak memaksa orang lain untuk menerima pandangan saya, tetapi saya berharap agar masalah ini dipertimbangkan dengan hati-hati dan dipelajari dari perspektif yang saya tunjukkan, sambil memeriksa kembali sejarah kehidupan para Imam suci. Kita perlu menyisihkan waktu untuk memperoleh pemahaman rasional dan pengertian yang lebih baik tentang mereka.
Dengan memahami bahwa langkah-langkah Imam memiliki kerangka waktu yang berbeda, kita dapat melihat bagaimana perjuangan mereka dirancang untuk mencapai tujuan mereka. Setelah syahidnya Imam kedelapan, Imam Ali Ridha, perjuangan para Imam terus berlanjut untuk menyempurnakan tujuan itu dalam kerangka waktu dan pola jangka panjang.
Sifat perjuangan para Imam jauh lebih dari sekadar debat teologis atau perjuangan bersenjata. Mereka yang memahami sejarah dari abad ke-2 H dan telah mempelajari aktivitas Dinasti Abbasiyah (Bani Abbas) sebelum abad pertama Hijriah hingga 139 H, saat mereka berkuasa, akan sangat menghargai perjuangan politik yang gigih dan sengit dari para Imam dalam menghadapi tekanan para penguasa pada periode tersebut.
Namun, perbandingan antara dua pendekatan yang diambil oleh para Imam dan pengikut mereka di satu sisi, dan Bani Abbas di sisi lain, tidak akan jelas dan bermakna jika tidak memperhatikan dengan hati-hati metode perjuangan masing-masing pihak. Meskipun ada kesamaan tertentu dalam rencana dan bentuk aktivitas perjuangan para Imam, tetapi terlihat perbedaan dalam target, tujuan, metode, dan kepribadian mereka.
Tinjauan terhadap mereka terkadang menjadi kabur karena kesamaan dalam metode, penyebaran, dan seruan mereka. Bani Abbas, misalnya, di tempat-tempat seperti Hijaz dan Irak, mengklaim diri mereka sebagai pengikut jalan keluarga Amirul Mukminin Ali, seperti yang terlihat dari penggunaan gaya “musawwadahi” dan pakaian hitam yang sering mereka kenakan. Mereka menggunakan pakaian hitam sebagai tanda kesedihan terhadap para syuhada Karbala, Zaid, dan Yahya, sambil membayangkan diri mereka sebagai pengikut keluarga Imam Ali.
*Disarikan dari buku Para Pengawal Agama – Sayid Murtadha Askari & Sayid Ali Khamenei