Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Dari Karbala ke Harrah: Jejak Kebengisan Bani Umayah yang Haus Darah

Setelah syahidnya Imam Husain as, tampaknya tidak ada lagi halangan besar yang mengadang langkah Bani Umayah dalam mengonsolidasikan kekuasaan. Namun, sikap brutal Yazid justru memantik gejolak baru di Hijaz yang dipimpin oleh Abdullah bin Zubair. Meskipun ia sempat menjalin hubungan baik secara lahiriah dengan Imam Husain selama beberapa bulan di Makkah, hal itu lebih dilatari oleh pertimbangan politik semata, bukan karena keselarasan prinsip. (lihat: Tarikh Thabari, Jilid IV; Al-Ghadir karya Allamah Amini, Jilid 3).

Kebencian Abdullah bin Zubair kepada keluarga Nabi begitu besar hingga sebagian ulama mencatat bahwa dendamnya pada  Imam Ali as justru lebih keras daripada dendam Bani Umayah sendiri (lihat juga: Murtadha Muthahhari, Ashura, hal. 132-135). Maka, gerakan yang dipimpinnya setelah Karbala bukanlah kelanjutan dari semangat perlawanan Husaini, melainkan gerakan oposisi berebut kekuasaan saja.

Ketika Imam Husain as memutuskan untuk menuju Kufah, Abdullah bin Zubair tidak menghalangi langkah tersebut. Namun, setelah kabar kesyahidan Imam menyebar, ia segera memanfaatkan kekosongan yang ada dan tampil sebagai figur sentral di Hijaz. Meskipun secara lahiriah ia tidak secara langsung menyatakan penentangan terhadap Yazid, diam-diam ia mulai menghimpun baiat dan dukungan dari masyarakat. Ia menyerukan agar penunjukan khalifah dikembalikan kepada keputusan musyawarah umat.

Yazid, yang mewarisi kelicikan ayahnya, mencoba mengirim hadiah dan utusan untuk membujuk Ibnu Zubair. Semua tawaran itu ditolak. Maka, pasukan dikirim ke Makkah, termasuk saudara Abdullah sendiri, Amr bin Zubair, yang berperang di pihak Bani Umayah. Pertempuran antara dua saudara ini berakhir dengan tertangkapnya Amr. Ia disiksa hingga wafat di penjara tanpa pengobatan, dan peristiwa ini justru memperkuat posisi Ibnu Zubair di Hijaz. Pengaruhnya meluas ke Madinah dan Tha’if (Baladzuri, Ansab al-Asyraf, Jilid III, hal. 170).

Pengangkatan gubernur baru Madinah oleh Yazid, yaitu Usman bin Muhammad bin Abi Sufyan, semakin memperburuk suasana. Penduduk Madinah, khususnya kaum Anshar dan Muhajirin yang mewarisi nilai-nilai luhur masa Rasulullah saw, tidak bisa menerima sikap dan gaya kepemimpinan yang ditunjukkan oleh perwakilan Bani Umayah.

Lalu pecahlah sebuah peristiwa tragis yang dikenal sebagai Tragedi Harrah, salah satu lembar kelam dalam sejarah Islam. Pada tahun 63 H, setelah penduduk Madinah menolak kekhilafahan Yazid dan berbaiat kepada Ibnu Zubair, Yazid memerintahkan Muslim bin Uqbah, seorang jenderal kejam, untuk memimpin pasukan Damaskus menyerang kota suci itu (Tarikh Thabari, Jilid IV, hal. 336).

Pasukan sebanyak lima ribu orang dikirim. Mereka datang dengan semangat balas dendam, sambil meneriakkan seruan “penuntut darah Usman.” Dalam waktu kurang dari satu hari, Madinah jatuh. Pasukan Damaskus menjarah kota selama tiga hari. Bukan hanya harta dirampas, tapi kehormatan perempuan dinodai, dan darah mengalir di jalan-jalan kota Nabi. Sekitar 10.000 jiwa terbunuh menurut sebagian riwayat. Bahkan delapan puluh sahabat Nabi tercatat sebagai korban (Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah).

Muslim bin Uqbah, yang dikenal kemudian sebagai Musrif (si pembunuh yang melampaui batas), mengatakan bahwa ia bangga telah membunuh para pembunuh Usman. Setelah peristiwa itu, Yazid pun membacakan syair lama dari Perang Uhud yang bernuansa balas dendam terhadap kaum Anshar.

Setelah Madinah jatuh, pasukan Damaskus bergerak menuju Makkah untuk menghadapi Ibnu Zubair. Dalam perjalanan, Muslim bin Uqbah meninggal dunia. Komando lalu berpindah kepada Hushain bin Numayr. Selama beberapa bulan, ia mengepung kota Makkah dan menyerang Ka’bah dengan batu dan api dari atas bukit dengan ketapel.

Namun, ketika Yazid tewas pada bulan Rabiul Awal tahun 64 H, Hushain menawarkan gencatan senjata. Ia mengajak Ibnu Zubair untuk pergi ke Damaskus dan merintis jalan kekhilafahan. Tapi Ibnu Zubair menolak. Setelah itu, jalan terbuka baginya untuk memimpin Hijaz.

Namun kekuasaan Ibnu Zubair tidaklah kuat. Tantangan berat menantinya di Irak, wilayah yang telah menjadi pusat gerakan Syi’ah dan perlawanan terhadap dominasi Bani Umayah. Meskipun di Hijaz ia tidak menemui halangan berarti, dominasi politiknya di Irak digagalkan oleh kekuatan lokal yang menolak otoritas Bani Umayah maupun alternatif lainnya.

Kembali pada Tragedi Harrah, beberapa catatan menyebutkan bahwa peristiwa ini bisa dimaknai dari beberapa versi motivasi pemberontakan Madinah. Pertama, sebagaimana ditulis Baladzuri, setelah Abdullah bin Zubair membunuh saudaranya, ia menyerukan pemutusan baiat kepada Yazid. Madinah tunduk padanya, dan Abdullah bin Muthi’ mengambil baiat atas nama Ibnu Zubair. Kedua, Ya’qubi menyebutkan bahwa pengambilan barang dari Baitul Mal oleh utusan gubernur Madinah menjadi pemicu perselisihan. Ketiga, versi Thabari menyebut bahwa para pemuka Madinah yang diundang ke Damaskus pulang dengan hinaan terhadap Yazid karena kebiasaan maksiatnya.

Tiga versi itu, walaupun berbeda, menunjuk pada satu hal: Yazid telah kehilangan legitimasi moral di mata penduduk Madinah. Kota yang pernah menjadi pusat peradaban Islam kini bangkit menentang kekuasaan yang mereka anggap zalim.

Setelah kota itu diserang, anak-anak kecil melempari Bani Umayah yang tersisa dengan batu. Mereka diusir dari rumah-rumah Madinah dan dihalangi keluar kecuali dengan sumpah tidak akan bergabung dengan pasukan Damaskus. Namun Marwan bin Hakam dan beberapa lainnya melanggar janji tersebut.

Menurut Waqidi dan Ibnu A’tsam, sekitar empat ribu orang terusir dari Makkah dan Madinah. Pemberontak dipimpin oleh Abdullah bin Hanzhalah Ghasil Malaikah atas perintah Ibnu Zubair. Ketika usaha-usaha damai gagal, Yazid mengirim Muslim bin Uqbah dengan mandat penuh.

Penduduk Madinah bersiap dengan menggali parit di sekitar kota, mengingatkan kita pada strategi Nabi saw di Perang Khandaq. Pertempuran hanya berlangsung tak sampai sehari. Kota direbut, dan kejahatan yang terjadi melebihi batas-batas akal manusia.

Dalam catatan Ibnu Qutaibah disebutkan korban mencapai 10.000 jiwa, termasuk 1.700 kaum Anshar, 1.300 anak-anak Muhajirin, dan 80 sahabat Nabi. Riwayat Mas’udi menyebut 4.000 korban lainnya. Rumah-rumah dijarah, perempuan diperkosa, bahkan anak-anak dibunuh. Satu-satunya rumah yang selamat adalah rumah Usamah bin Zaid.

Peristiwa Harrah tidak hanya soal kekejaman, tapi juga menjadi simbol rusaknya konsep ketaatan buta kepada pemimpin yang menyimpang. Muslim bin Uqbah bahkan menyatakan bahwa ia tidak pernah menentang khalifah dan bangga telah “membersihkan” Madinah. Setelah kematiannya, Hushain bin Numayr mewarisi spirit yang sama.

Dari tragedi ini kita belajar bahwa persatuan umat tidak bisa dibangun di atas ketaatan pada kebatilan. Prinsip menjaga jamaah dan ketaatan kepada imam harus disertai syarat: keadilan dan penghormatan terhadap hukum Allah.

Ayatullah Murtadha Muthahhari dalam karya-karyanya juga mengkritik bentuk ketaatan buta seperti ini. Menurut beliau, kepemimpinan dalam Islam bukan sekadar struktur kekuasaan, tetapi manifestasi keadilan Ilahi. Ketika kekuasaan justru melukai nilai-nilai Islam yang luhur, maka perlawanan menjadi kewajiban moral. “Jika umat hanya diam demi menjaga ‘kesatuan’, maka mereka bukan sedang menjaga agama, melainkan sedang mengkhianatinya,” tulisnya dalam Hadis-e Asyura.

Tragedi Harrah adalah pelajaran pahit. Ia bukan sekadar peristiwa masa lalu, tetapi peringatan keras bagi setiap generasi Muslim: bahwa kekuasaan yang menodai kehormatan kota Nabi, menumpahkan darah orang-orang suci, dan membungkam suara keadilan, tak akan pernah mendapat tempat dalam sejarah Islam yang agung.


Referensi

  • Rasul Jafariyan, The History of Cholips
  • Murtadha Muthahhari, Ashura: Revolusi Imam Husain,
Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.