Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Dari Rahim Keimanan Lahir Generasi Cahaya

Dalam pandangan Islam, anak bukan sekadar penerus garis keturunan, melainkan pancaran ruh dan amal orang tuanya. Ia dapat menjadi cahaya yang menuntun keluarga menuju rahmat Ilahi, atau sebaliknya, menjadi cermin kelalaian dan keburukan yang menghantui generasi.

Kemuliaan Anak Saleh dan Bahaya Anak yang Tidak Saleh

Dalam hadis-hadis Ahlulbait as, anak saleh disebut sebagai anugerah yang melampaui ukuran duniawi—ia adalah “wewangian surga” yang ditebarkan Allah di antara hamba-hamba-Nya.

Rasulullah saw bersabda, “Anak saleh merupakan kebahagiaan bagi setiap orang.” Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Sesungguhnya anak saleh adalah wewangian dari semerbak aroma surga.” Nabi Muhammad saw juga bersabda, “Anak saleh adalah wewangian yang Allah tebarkan di antara hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya wewangianku di dunia ini adalah Hasan dan Husain…” (Bihar al-Anwar, jilid 43, hlm. 278)

Dalam hadis lain Rasulullah saw bersabda, “Karunia yang diberikan Allah pada seseorang adalah anak yang menyerupainya.” (Bihar al-Anwar, jilid 103, hlm. 95) Anak yang meniru akhlak dan perangai orang tuanya bukan semata cerminan genetik, melainkan pantulan spiritual: hasil dari benih yang ditanam dalam ketulusan, kesalehan, dan doa.

Keluarga bukan hanya pertautan darah, melainkan simpul keimanan. Allah Swt berfirman:

“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak-cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak-cucu mereka dengan mereka, dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala dari amal mereka.” (QS. at-Thur: 21)

Imam Ja‘far Shadiq as menafsirkan ayat ini dengan berkata, “Perbuatan anak berada di bawah perbuatan orang tua. Oleh karena itu, anak bergabung dengan orang tuanya agar mereka saling menyenangkan pandangan.” (Tafsir al-Qummi, jilid 2, hlm. 372)

Janji ini menunjukkan bahwa hubungan ruhani yang dibangun atas dasar iman tidak akan terputus bahkan setelah kematian. Di surga, keluarga yang saling menegakkan kebaikan akan dikumpulkan kembali dalam kebahagiaan abadi.

Namun sebaliknya, anak yang buruk perangainya dapat menjadi sumber duka bagi keluarga. Imam Ali as berkata, “Anak yang berperangai buruk menghancurkan kehormatan dan membuat malu keluarganya.” (Ghurar al-Hikam, hadis 3994) Dalam riwayat lain beliau menegaskan, “Anak yang buruk membuat malu pendahulunya dan merusak generasi berikutnya.” (Nahjul Balaghah, hikmah 238)

Beliau juga berkata, “Anak durhaka adalah sumber derita dan kesedihan yang tak kunjung reda.” (Ghurar al-Hikam, hadis 3872)

Imam Shadiq as pun memperingatkan, “Berhati-hatilah terhadap perbuatan yang dapat mempermalukan kami. Sesungguhnya anak yang buruk mempermalukan orang tuanya dengan perbuatannya.” (al-Kafi, jilid 6, hlm. 47)

Anak yang tidak saleh bukan hanya aib sosial, tetapi luka batin bagi ruh orang tua. Dalam pandangan Ahlulbait, mendidik anak bukan sekadar tanggung jawab moral, tetapi amanah Ilahi yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Keluarga Saleh: Doa di Awal Pernikahan

Abu Bashir meriwayatkan dalam al-Kafi, bahwa Imam Ja‘far Shadiq as berkata, “Jika seseorang di antara kalian hendak menikah, hendaklah ia salat dua rakaat dan berdoa:
‘Ya Allah, aku ingin menikah. Tentukan bagiku seorang wanita yang paling menjaga kehormatannya, yang dapat menjagaku dalam dirinya dan pada hartaku, yang paling luas rezekinya, paling besar keberkahannya, dan karuniakan padaku keturunan yang baik, yang menjadi penerus kebaikanku semasa hidup dan sepeninggalku.’” (al-Kafi, jilid 5, hlm. 500)

Pernikahan dalam Islam bukan sekadar ikatan sosial, melainkan jalan untuk menumbuhkan generasi suci yang menyambung risalah kebaikan. Doa ini menunjukkan kesadaran mendalam bahwa anak yang baik tidak lahir dari kebetulan, tetapi dari niat yang bersih dan pilihan yang bijak.

Asal-Usul dan Pengaruh Genetik

Rasulullah saw bersabda, “Perhatikanlah rahim tempat kalian menitipkan keturunan, karena asal-usul sangat berpengaruh.” (Sunan Ibn Majah, hadis 1968) Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Menikahlah dengan wanita dari keluarga yang baik, karena genetik itu berpengaruh.” (al-Kafi, jilid 5, hlm. 332)

Imam Ali as memperingatkan, “Jangan kalian nikahi wanita yang dungu, sebab berbicara dengannya menimbulkan bencana dan anak-anaknya adalah anak yang merugi.” (Nahjul Balaghah, hikmah 24)

Imam Shadiq as menambahkan, “Seorang anak memiliki tiga hak terhadap orang tuanya: memilihkan ibu yang baik sebelum ia lahir, memberi nama yang baik, dan mendidiknya dengan baik.” (al-Kafi, jilid 6, hlm. 48)

Setiap calon orang tua, dalam pandangan Islam, sudah terikat pada tanggung jawab spiritual bahkan sebelum anak lahir. Pilihan pasangan bukan semata urusan perasaan, melainkan fondasi bagi peradaban manusia yang berakhlak.

Genetik dan Pembentukan Janin

Rasulullah saw pernah ditanya tentang anak yang lahir tidak menyerupai kedua orang tuanya. Beliau menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki sembilan puluh sembilan garis keturunan, dan ketika sperma menetap dalam rahim, gen dari kedua belah pihak bergerak, memohon kepada Allah agar kemiripan mereka tampak pada anak itu. Karena itu, setiap anak membawa warisan genetik yang kompleks dari ayah dan ibu hingga jauh ke atas leluhurnya. (Bihar al-Anwar, jilid 103, hlm. 104)

Imam Ja‘far Shadiq as menjelaskan, “Sesungguhnya Allah menciptakan dalam rahim empat tempat: tempat bagi ayah, tempat bagi ibu, tempat bagi saudara-saudara ayah, dan tempat bagi saudara-saudara ibu.” (al-Kafi, jilid 6, hlm. 13)

Hadis-hadis ini menunjukkan betapa dalam pandangan Islam, kelahiran anak bukan hanya proses biologis, melainkan misteri ciptaan Ilahi yang membawa seluruh garis keturunan dalam satu ciptaan baru.

Genetik dan Pembentukan Karakter

Imam Ali as berkata, “Kebaikan akhlak menunjukkan kemuliaan keturunan.” (Ghurar al-Hikam, hadis 2960) Beliau juga bersabda, “Jika keturunan seseorang mulia, maka mulia pula tindakannya, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan.” (Nahjul Balaghah, hikmah 31)

Kemuliaan darah dan akhlak berjalan beriringan. Dalam Murujuz Dzahab diceritakan, ketika Muhammad bin Hanafiyah enggan maju di medan perang Jamal, Imam Ali as menegurnya dengan berkata, “Karakter ibumu sangat berpengaruh pada dirimu.” (Murujuz Dzahab, jilid 2, hlm. 349)

Demikian pula, Imam Shadiq as dalam Ziarah Arbain menggambarkan kesucian nasab Imam Husain as dengan ungkapan: “Aku bersaksi bahwa engkau adalah anak dari tulang rusuk yang mulia dan rahim yang suci. Kejahiliahan tidak dapat mengotorimu dengan kekotorannya.” (Mafatih al-Jinan, Ziarah Arbain)

Dalam khutbahnya, Rasulullah saw juga bersabda, “Berhati-hatilah dengan hadra’ diman (tumbuhan hijau di tempat kotor).” Ketika ditanya maksudnya, beliau menjawab, “Wanita cantik yang berasal dari keluarga yang buruk.” (al-Kafi, jilid 5, hlm. 332)

Penutup

Anak saleh adalah rahmat dan amanah, bukan kebanggaan semata. Ia lahir dari pilihan suci, doa, dan keteladanan. Sebagaimana bunga yang tumbuh dari tanah yang bersih, begitu pula jiwa anak tumbuh dari rahim keimanan dan kasih sayang.

Maka orang tua sejati bukan hanya mereka yang membesarkan anak dalam tubuh, tetapi mereka yang menanamkan cahaya tauhid dalam jiwanya. Karena dari rahim-rahim suci itulah lahir Hasan dan Husain, dua wewangian surga yang menjadi teladan sepanjang zaman.


Disarikan dari buku Anak di Mata Nabi – Ayatullah Muhammad Reisyahri

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT