Oleh Ustadz Muhsin Labib
Merayakan dan memperingati kelahiran Ali a.s bukan sekadar merayakan hari kelahiran seseorang sebagaimana kita merayakan ulang tahun orang-orang terdekat kita masing-masing, namun mensyukuri karunia otoritas Tuhan.
Karena itu, selain mengenang dan menarasikan peristiwa agung persalinannya dalam Ka’bah perlu memperbarui ikrar kepatuhan kepada otoritas transenden yang terjuntai hingga akhir zaman.
Sebenarnya Ali a.s. diagungkan bukan karena sosok manusiawinya karena ia setara dengan manusia lainnya, namun karena otoritas suci sebagai penjelas ajaran Tuhan yang dipresentasikan oleh Muhammad SAW sebagai penjelas utama.
Peristiwa persalinannya dalam Ka’bah merupakan isyarat langit dan penegasan tentang posisinya sebagai pengawal agama Muhammad SAW agar umat tak lagi berselisih tentang kapabilitas, integritas dan kesuciannya. Sayangnya, upacara super kolosal itu tak cukup membuat umat berdiri, berbaris dan serentak menyatakan “siap!”.
Andai setengah dari umat pun menyatakan siap, aplalagi faktanya kurang dari itu, keputusan langit tentang otoritas yang diisyaratkan dalam momentum persalinan agung itu pun tidak berlaku dan agama hanya menjadi traktat dan serumpun aksara teks yang terbuka bagi ragam interpretasi setiap individu umat sepanjang masa.
Dan, terjadilah yang terjadi. Agama justru menjadi korban. Agama yang mestinya sakral dan utuh menjadi kotak saran. Umat-umat berikutnya pun mewarisi kesemrawutan dalam sengketa otoritas tanpa henti.