Riwayat yang dinukil dalam kitab tafsir yang dinisbatkan kepada Imam Abu Muhammad al-Askari ‘alaihissalam, dengan sanad yang mulia dari ayah-ayah beliau hingga sampai kepada Rasulullah ﷺ, mengisahkan sebuah peristiwa penting: dialog terbuka antara Nabi Muhammad ﷺ dan para pemuka lima keyakinan besar pada zamannya. Pertemuan ini bukan sekadar diskusi teologis, tetapi juga menjadi panggung untuk menyingkap kebenaran melalui hujjah yang jernih, logika yang tajam, dan tutur kata yang lembut namun tegas.
Dikisahkan bahwa pada suatu hari, di hadapan Rasulullah ﷺ berkumpul lima tokoh perwakilan agama dan keyakinan:
- Pemuka Yahudi, yang meyakini Uzair sebagai anak Allah.
- Pemuka Kristen, yang berkeyakinan al-Masih adalah anak Allah dan bersatu dengan-Nya.
- Kaum atheis, yang menolak adanya Tuhan dan menganggap alam ada dengan sendirinya.
- Penganut dualisme, yang percaya cahaya dan kegelapan adalah pengatur alam.
- Orang musyrik Arab, yang menyembah berhala sebagai tuhan.
Masing-masing datang membawa tantangan. Mereka menegaskan, bila Nabi mengikuti keyakinan mereka, berarti mereka telah lebih dahulu dalam kebenaran. Namun jika berbeda, mereka siap “mengalahkan” beliau dalam perdebatan.
Rasulullah ﷺ menanggapi dengan sikap tegas:
“Aku beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Aku mengingkari semua tuhan selain-Nya. Sesungguhnya Allah mengutusku untuk seluruh manusia sebagai pemberi kabar gembira, pemberi peringatan, dan hujjah bagi seluruh alam. Allah akan menghancurkan tipu daya siapa saja yang ingin merusak agama-Nya.”
Dialog dengan Pemuka Yahudi
Pemuka Yahudi datang kepada Rasulullah ﷺ dengan membawa keyakinan bahwa Uzair adalah anak Allah. Mereka menyampaikan tantangan: bila Nabi mengikuti keyakinan mereka, berarti beliau mengakui kebenaran yang telah mereka pegang lebih dahulu. Namun bila menolak, mereka siap mengalahkan beliau dalam perdebatan.
Rasulullah ﷺ tidak langsung membantah, tetapi bertanya,
“Apakah kalian datang kepadaku supaya aku menerima ucapan kalian tanpa hujjah?”
Mereka menjawab: “Tidak.”
Beliau kemudian menanyakan alasan keyakinan mereka. Mereka menjawab bahwa Uzair telah “menghidupkan” kembali Taurat bagi Bani Israil setelah kitab itu dilupakan. Karena kemuliaan itu, mereka menilai Uzair sebagai anak Allah.
Rasulullah ﷺ menanggapi dengan argumen logis:
“Kalau begitu, mengapa Uzair yang kalian sebut anak Allah, dan bukan Musa? Bukankah Musa yang membawa Taurat pertama kali kepada kalian, disertai mukjizat yang jauh lebih banyak? Jika kemuliaan menghidupkan Taurat menjadikan Uzair sebagai anak Allah, maka Musa lebih berhak menyandang gelar itu.”
Beliau lalu mengajukan pertanyaan yang menusuk:
“Apakah yang kalian maksud dengan ‘anak’ adalah anak biologis, seperti kelahiran dari seorang wanita akibat hubungan dengan seorang laki-laki?”
Mereka buru-buru menolak, sebab itu adalah kekufuran yang menyerupakan Allah dengan makhluk. Mereka menjelaskan bahwa “anak” hanyalah kiasan kemuliaan, sebagaimana seorang guru memanggil murid istimewanya “anakku” tanpa ada hubungan darah.
Rasulullah ﷺ memutarbalikkan hujjah itu dengan sangat halus:
“Kalau begitu, Musa yang lebih mulia dari Uzair tentu lebih berhak mendapat gelar itu. Bahkan menurut logika kalian, Musa bisa kalian sebut sebagai saudara Allah, ketua Allah, atau tuan Allah—karena kalian terbiasa memanggil orang mulia di antara kalian dengan gelar kehormatan seperti itu.”
Kekuatan argumentasi ini membuat para pemuka Yahudi tercengang. Mereka saling berpandangan, lalu berkata: “Beri kami waktu untuk memikirkan ucapanmu.” Nabi ﷺ pun menutup pembicaraan dengan nasihat:
“Perhatikan dengan hati yang bersih, niscaya Allah memberi petunjuk kepada kalian.”
Dialog dengan Pemuka Kristen
Setelah itu, Rasulullah ﷺ menoleh kepada pemuka Kristen. Keyakinan mereka adalah bahwa al-Masih (Isa) adalah anak Allah dan bahkan bersatu dengan-Nya.
Beliau membedah keyakinan itu menjadi tiga kemungkinan:
- Allah yang Qadim berubah menjadi makhluk (hadits)
Mustahil, sebab yang Qadim tidak mungkin berubah menjadi hadits. - Isa yang makhluk berubah menjadi Qadim
Juga mustahil, karena yang hadits tidak mungkin menjadi Qadim. - Allah memberi Isa kemuliaan khusus di atas makhluk lain
Ini berarti mengakui Isa hanyalah makhluk yang dimuliakan, bukan Tuhan atau anak Tuhan secara hakiki.
Kaum Kristen mencoba mempertahankan posisi mereka: Isa disebut anak Allah karena Allah menampakkan mukjizat besar melalui dirinya. Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa alasan ini sama seperti yang dipegang kaum Yahudi tentang Uzair—dan telah dibantah dengan logika yang sama.
Seorang dari mereka mencoba menggugat balik: “Bukankah engkau mengatakan Ibrahim adalah Khalilullah?”
Rasulullah ﷺ menjawab:
“Benar. Tetapi khalil bukan berarti anak. Kata khalil berasal dari khullah (miskin, membutuhkan), artinya Ibrahim hanya bergantung pada Allah, tidak kepada selain-Nya. Bisa juga dari khallah (menembus), artinya ia menembus rahasia-rahasia Allah yang tak dicapai makhluk lain. Ini sama sekali tidak menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.”
Beliau menegaskan bahwa seorang anak biologis tetap anak orang tuanya meski durhaka, sedangkan gelar khalil bergantung pada sifat dan sikap hamba itu sendiri.
Lalu beliau mematahkan logika mereka dengan analogi:
“Jika karena Allah menyebut Ibrahim khalil-Nya lalu kalian merasa boleh menyebut Isa anak Allah, maka kalian pun harus menyebut Musa anak Allah, bahkan tuan atau pemimpin Allah, karena mukjizatnya tidak kalah banyak.”
Koreksi atas Penafsiran Injil
Kaum Kristen mencoba bertahan dengan mengutip teks kitab mereka: “Isa berkata: Aku akan pergi kepada bapakku.”
Rasulullah ﷺ meluruskan: teks itu sebenarnya berbunyi “kepada bapakku dan bapak kalian.” Jika benar diartikan secara literal, maka semua yang diajak bicara Isa adalah anak Allah—membatalkan klaim bahwa hanya Isa yang memiliki status itu.
Beliau lalu menawarkan penafsiran lain yang lebih rasional: Isa mungkin bermaksud pergi kepada para nabi terdahulu seperti Adam atau Nuh, yang dalam bahasa kiasan bisa disebut “bapak” umat manusia. Dengan demikian, “bapakku dan bapak kalian” tidak bermakna hubungan biologis dengan Tuhan, melainkan merujuk pada nenek moyang manusia.
Penjelasan ini membuat para pemuka Kristen terdiam. Mereka akhirnya berkata: “Kami belum pernah melihat lawan dialog seperti hari ini. Kami akan meninjau ulang perkara kami.”
Makna Strategis Dialog
Dialog Rasulullah ﷺ dengan Yahudi dan Kristen ini memperlihatkan beberapa hal penting:
- Pendekatan berbasis hujjah – Nabi tidak menyerang secara emosional, tetapi mengajak berpikir logis dan konsisten terhadap prinsip yang dipegang lawan bicara.
- Menggunakan argumen lawan untuk membantah mereka – Beliau memanfaatkan pengakuan mereka sendiri untuk menunjukkan kontradiksi dalam keyakinan mereka.
- Membedakan makna literal dan kiasan – Perbedaan ini menjadi kunci dalam meluruskan pemahaman yang salah tentang istilah “anak Allah” atau “khalilullah.”
- Kesantunan dalam berdialog – Meski berhadapan dengan tantangan, beliau menutup pembicaraan dengan ajakan merenung dan membuka hati.
Dialog ini juga menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memiliki pengetahuan luas tentang kitab-kitab sebelumnya, memahami bahasa dan gaya bicara mereka, serta mampu mengembalikan makna asli yang telah diselewengkan.
Bagi kaum Yahudi, beliau menunjukkan bahwa alasan memuliakan Uzair justru berlaku lebih kuat kepada Musa, sehingga logika mereka runtuh oleh konsistensi yang mereka tolak.
Bagi kaum Kristen, beliau menunjukkan bahwa konsep “anak Allah” yang mereka anut tidak hanya bertentangan dengan akidah tauhid, tetapi juga kontradiksi dengan kitab mereka sendiri bila dibaca secara utuh dan rasional.
Inilah kecerdasan dakwah Rasulullah ﷺ—mengajarkan bahwa kebenaran bukan hanya dimiliki, tetapi juga harus disampaikan dengan hikmah dan hujjah yang tak terbantahkan.
(Bersambung ke Bagian 2)
*Disadur dari kitab Madinah Balaghah