Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Doa Aneh Seorang Sahabat yang Membuat Rasulullah Tersenyum

Di antara kisah-kisah penuh hikmah dalam sejarah Islam, terdapat sebuah cerita yang menggetarkan hati tentang keikhlasan, tekad, dan doa yang menembus langit. Kisah ini adalah kisah ‘Amru bin Jumuh, seorang sahabat yang pincang, namun memiliki hati yang melompat lebih jauh daripada kaki mana pun yang sempurna.

Keinginan yang Melebur dalam Doa

Menjelang Perang Uhud, ‘Amru berdiri di rumahnya, tangan bergetar ketika menyentuh baju perang untuk pertama kalinya. Dari bibirnya mengalir doa yang kelak menjadi kenyataan agung:

“Ya Allah… jangan Engkau kembalikan aku kepada keluargaku. Limpahkanlah kepadaku kesyahidan.”

Doa itu bukan sekadar bisikan. Ia adalah tekad seorang mukmin yang rindu menghadap Tuhan dengan membawa persembahan terbaik: pengorbanan.

Padahal, secara syariat, ‘Amru tidak diwajibkan ikut berperang. Allah sendiri telah berfirman: “Tidak ada dosa bagi orang buta, orang pincang, dan orang sakit untuk tidak ikut berperang.” (QS. Al-Fath: 17)

Kepincangan membuat dirinya bebas dari tanggung jawab jihad. Empat putranya pun telah berangkat ke medan tempur. Secara logika, tugasnya telah cukup. Namun hati ‘Amru menolak diam.

Hasrat yang Tak Bisa Ditahan

Kaumnya berulang kali mencegahnya.
“Wahai ‘Amru, engkau pincang. Anak-anakmu sudah ikut berperang. Tinggallah bersama kami.”

Namun jawabannya menampar kelambanan spiritual:

“Mereka semua pergi menuju surga… apakah aku harus duduk-duduk bersama kalian?”

Tatkala kaumnya tidak memberi izin, ia menghadap Rasulullah ﷺ—dengan hati yang menggelegak.

“Wahai Rasulullah, kaumku menghalangiku berperang. Demi Allah, aku ingin menginjak surga dengan kaki pincang ini.”

Rasulullah mencoba mengingatkan, “Engkau dimaafkan. Perang tidak wajib atasmu.”

Namun keteguhan ‘Amru lebih kokoh dari bukit Uhud itu sendiri. Melihat kecintaan yang begitu dalam, Rasulullah akhirnya berkata kepada kaumnya:

“Biarkan ia pergi. Semoga Allah menganugerahkan kesyahidan kepadanya.”

Dan pintu surga pun seakan terbuka.

Dengan langkah terpincang tetapi hati tegap, ‘Amru maju di barisan depan bersama salah seorang anaknya. Di tengah riuh pertempuran, sorban debu, dan kilatan pedang, keberaniannya seakan berteriak:

“Aku mendambakan surga. Aku mendambakan pertemuan dengan Rabb-ku.”

Hingga akhirnya, keduanya gugur sebagai syuhada.

Peristiwa Aneh di Jalan Pulang

Usai perang, para wanita keluar dari Uhud, mengabarkan keadaan para pejuang. Di antaranya adalah Hindun, istri ‘Amru. Ia menuntun unta yang membawa tiga jenazah: suaminya ‘Amru, putranya Khulad, dan saudaranya Abdullah.

Ketika ‘Aisyah bertemu dengannya dan bertanya tentang kabar perang, Hindun menjawab dengan tenang:

“Rasulullah selamat. Musibah yang ada ringan. Orang-orang kafir pulang dengan kehinaan.”

Namun ketika hendak melanjutkan perjalanan ke Madinah, unta itu enggan bergerak. Bahkan ketika dipukul dan diarahkan, unta tersebut berjalan cepat kembali ke arah Uhud, lalu merebah.

“Mungkin terlalu berat,” kata ‘Aisyah.

“Tidak. Unta ini kuat. Ada sebab lain,” jawab Hindun.

Akhirnya ia menghadap Rasulullah ﷺ, menceritakan peristiwa itu.

Rasulullah bertanya,
“Apakah suamimu berkata sesuatu sebelum berangkat ke Uhud?”

Hindun menjawab, “Benar, ya Rasulullah. Ia berdoa: ‘Ya Allah, jangan Engkau kembalikan aku ke keluargaku dan limpahkanlah kepadaku kesyahidan.’

Mendengar itu, Rasulullah tersenyum.

“Karena itulah unta itu tidak mau berjalan ke Madinah. Allah tidak ingin mengembalikan jasadnya ke keluarganya.”

Lalu beliau bersabda:

“Di antara kalian ada orang-orang yang jika berdoa, benar-benar dikabulkan oleh Allah. Suamimu, ‘Amru bin Jumuh, termasuk dari mereka.”

Keluarga Syuhada di Surga

Rasulullah memerintahkan agar ketiga jenazah itu dimakamkan di Uhud. Lalu beliau berkata kepada Hindun dengan penuh kelembutan:

“‘Amru bin Jumuh, suamimu; Khulad, anakmu; dan Abdullah, saudaramu—semua akan berkumpul di surga.”

Mendengar kabar itu, Hindun menundukkan wajah, menahan haru.

“Doakan aku, ya Rasulullah,” pintanya pelan,
“Agar Allah mengumpulkan aku bersama mereka.”

Dan permohonan seorang istri syuhada pun naik bersama angin Uhud yang sakral.


Hikmah yang Menghidupkan Hati

Kisah ini mengajarkan bahwa doa yang keluar dari hati yang jujur, iman yang mantap, dan tekad yang teguh—adalah doa yang mustajab.
‘Amru tidak sekadar meminta syahadah. Ia hidup dengan semangat syahadah, bergerak dengan niat syahadah, dan wafat dalam syahadah.

Begitu pula kita: doa harus menjadi cermin hidup. Jika doa tidak menggerakkan kita, bagaimana ia mengetuk pintu langit?

Kisah ini juga menunjukkan keluhuran akhlak Rasulullah: memahami semangat, menimbang keyakinan, dan mendoakan umatnya menuju puncak kemuliaan.

Semoga kisah ini menghidupkan kembali kerinduan kita kepada perjuangan, keikhlasan, dan pengorbanan di jalan Allah dan Ahlulbait Nabi ﷺ. Semoga Allah mengajar kita untuk berdoa seperti ‘Amru—dan hidup seteguh itu.


Dielaborasi dari buku karya Syahid Muthahhari – Kisah Orang-orang Bijak

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT