Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Dua Lautan yang Bertemu: Kisah Cinta Imam Ali dan Sayidah Fatimah

Dalam sejarah Islam, jarang ditemukan pernikahan yang menggambarkan kedalaman spiritual, kesederhanaan, dan keagungan seperti pernikahan Imam Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah az-Zahra ‘alaihimassalam. Hari bersejarah itu, yang diyakini jatuh pada 1 Dzulhijjah oleh sebagian besar ulama Ahlulbait, diperingati oleh para pecintanya sebagai Yaumul Mahabbah, Hari Cinta Ilahi.

Pernikahan ini bukan sekadar penyatuan dua insan, melainkan sebuah peristiwa langit—penyatuan dua poros utama agama: nubuwwah dan imamah, menjadi teladan abadi bagi keluarga mukmin.


Pernikahan yang Ditetapkan di Langit

Sayyidah Fatimah as adalah satu-satunya putri Rasulullah yang tersisa setelah wafatnya Khadijah dan anak-anak Nabi yang lain. Banyak sahabat besar melamar Fatimah, namun Rasulullah saw menolak mereka dengan lembut. Hingga datang seorang yang telah tumbuh dalam pangkuan beliau—Ali bin Abi Thalib.

Dalam ceramahnya di Najaf, Ayatullah Sayyid Muhammad Baqir al-Hakim berkata:

“Allah sendiri yang memilih Ali untuk Fatimah. Ini bukan sekadar pernikahan keluarga Nabi, tapi penyatuan dua poros agama: nubuwwah dan imamah.”  (Khutbah Syahr Dzulhijjah, 1423 H, Najaf al-Asyraf)

Senada dengan itu, Ayatullah al-Udhma Sayyid Ali Khamenei menyatakan:

“Rumah Ali dan Fatimah adalah rumah yang dibangun atas fondasi wahyu. Dari rumah ini, generasi pejuang Islam dan para pemimpin ilahi lahir.” (Khutbah Nikah Massal Nasional, Qom, 2003)


Mahar Kesederhanaan, Nilai Keagungan

Imam Ali datang meminang Sayidah Fatimah dengan mahar yang sangat sederhana—sebuah baju zirah. Rasulullah saw menerimanya, dan menjadikannya simbol bahwa pernikahan bukan tentang harta, tetapi tentang keberkahan.

Dalam Tuhaf al-‘Uqul, Imam Ali as berkata: “Fatimah adalah anugerah terbesar dari Allah setelah Islam. Tak pernah aku membuatnya marah dan tak pernah ia menyakitiku.”

Dalam peringatan Yaumul Mahabbah di Beirut, Sayyid Hasan Nasrallah mengingatkan:

“Kita harus belajar dari pernikahan ini: membangun rumah tangga bukan di atas ego, gengsi, atau glamor, tetapi di atas pengabdian, kesabaran, dan cinta yang bersumber dari iman.” (Peringatan Yaumul Mahabbah, Dahiyeh, 2017)


Rumah Ilahi, Keluarga Surgawi

Rumah mereka tidak luas. Dindingnya sederhana. Namun, dari rumah itulah lahir Imam Hasan, Husain as, Sayidah Zainab, dan Ummu Kultsum—generasi pembela Islam yang tak tertandingi.

Ayatullah Murtadha Mutahhari menulis dalam bukunya:

“Cinta dalam rumah Ali dan Fatimah bukan cinta duniawi. Ia adalah cinta dalam makna paling spiritual. Rumah mereka adalah tempat turunnya malaikat dan naiknya doa-doa malam.”  (Ashk dar ‘Arsh, Tehran: Sadra, 1972)

Dalam kehidupan mereka, tak pernah terdengar pertengkaran. Sayidah Fatimah mengurus rumah, Imam Ali mencari nafkah dan berjihad. Mereka berbagi tugas dan saling menopang dalam kelembutan dan ridha ilahi.


“Dua Lautan yang Bertemu”: Tafsir Ar-Rahman dan Pernikahan Cahaya

Allah SWT berfirman dalam Surat Ar-Rahman ayat 19–20:

“Dia membiarkan dua lautan mengalir, yang keduanya kemudian bertemu. Di antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing.”

Dalam tafsir Syiah, ayat ini dimaknai sebagai simbol pernikahan Imam Ali dan Sayyidah Fatimah.

Imam Ja‘far Shadiq as menjelaskan:

“Al-bahrān (dua lautan) adalah Ali dan Fatimah; yaltaqiyān (yang bertemu) adalah ketika keduanya menikah; al-barzakh (batas) adalah Rasulullah saw; la yabghiyān (yang tidak melampaui) berarti mereka tidak melampaui perintah Allah dan Rasul-Nya sedikit pun.” (Tafsir al-Qummi, jilid 2, hlm. 345)

Diriwayatkan dari Imam Baqir as:

“Ali adalah laut ilmu, dan Fatimah adalah laut kesucian. Allah menggabungkan keduanya dalam satu pernikahan. Barzakh-nya adalah Nabi, dan dari keduanya lahir mutiara: Hasan dan Husain.” (Al-Burhan fi Tafsir al-Qur’an, jilid 4, hlm. 243)

Bahkan ayat selanjutnya, “Dari keduanya keluar mutiara dan marjan” (QS. Ar-Rahman: 22), ditafsirkan sebagai kelahiran Hasan dan Husain as.


Hari Cinta yang Terlupakan

Yaumul Mahabbah tidak seharusnya menjadi kisah masa lalu. Ia adalah pelajaran hidup bagi setiap pasangan muslim: bahwa cinta sejati dibangun di atas taqwa, akhlak, dan perjuangan.

Di Banyak negara Islam seperti Iran, Lebanon, dan Irak, lembaga dakwah menghidupkan peringatan ini dengan pernikahan massal, seminar keluarga Islami, dan syair-syair pujian untuk Ahlulbait. Di Qom, Najaf, dan Beirut, para ulama menyerukan agar generasi muda meneladani Imam Ali dan Fatimah as, bukan tokoh-tokoh selebriti.

Dalam Forum Pemuda Islam Internasional, Sayyid Ammar al-Hakim berkata:

“Ali dan Fatimah mengajarkan kepada kita bahwa rumah tangga Islami bukan sekadar tempat tinggal, tapi benteng keimanan dan peradaban. Yaumul Mahabbah adalah hari untuk mengingat makna itu.”  (Karbala, 2019)


Doa dan Renungan

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw sendiri menjadi khatib dalam akad nikah itu. Beliau berdoa:

“Ya Allah, berkahilah pasangan ini, berkahilah keturunan mereka, jadikan mereka pemimpin bagi umat, dan pelita dalam kegelapan.”

Doa itu dikabulkan. Cinta Imam Ali dan Fatimah as tetap menyala dalam dada para pecinta Ahlulbait. Ia menghangatkan hati yang beku dan menuntun jiwa yang rindu kepada cinta sejati—cinta yang mengantar pada Tuhan.


Catatan Kaki dan Referensi

  1. Ayatullah Sayyid Muhammad Baqir al-Hakim, Khutbah Syahr Dzulhijjah, Najaf, 1423 H.
  2. Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, Khutbah Nikah Massal Nasional, Qom, 2003.
  3. Sayyid Hasan Nasrallah, Peringatan Yaumul Mahabbah, Dahiyeh, Beirut, 2017.
  4. Murtadha Mutahhari, Ashk dar ‘Arsh, Tehran: Sadra, 1972.
  5. Sayyid Ammar al-Hakim, Forum Pemuda Islam Internasional, Karbala, 2019.
  6. Tafsir al-Qummi, jilid 2, hlm. 345.
  7. Al-Burhan fi Tafsir al-Qur’an, Sayyid Hasyim al-Bahrani, jilid 4, hlm. 243.
  8. Nur al-Tsaqalayn, Abdal Ali al-Huwaizi, jilid 5, hlm. 182.
  9. Bihar al-Anwar, al-Allamah al-Majlisi, jilid 43.
Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT