Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Dua Mimbar Perlawanan: Khutbah Imam Sajjad as di Kufah dan Damaskus

Setelah tragedi Karbala yang mengguncang jagat Islam, rombongan tawanan keluarga Nabi dibawa dari satu kota ke kota lain. Tapi di balik rantai penjara dan hinaan penguasa, berdirilah satu suara yang mengguncang keangkuhan kekuasaan: suara Imam Ali bin Husain Zainul Abidin as, Imam keempat dari Ahlulbait. Dua khutbahnya—di Kufah dan Damaskus—menjadi manifestasi dari kebangkitan ruhani melawan kezaliman politik. Di sana, di tengah sorak musuh dan pedang tirani, Imam Sajjad menanamkan benih kebangkitan yang tak terpadamkan oleh waktu.


Khutbah Kufah: Membungkam Ibnu Ziyad, Menampar Nurani Kufah

Setibanya rombongan tawanan Ahlulbait di Kufah, kota itu dipenuhi gemuruh penduduk yang penasaran. Mereka datang berbondong-bondong menyaksikan apa yang dianggap sebagai “pawai kemenangan” gubernur mereka, Ubaidillah bin Ziyad, atas “pemberontakan Husain bin Ali”. Tapi apa yang disaksikan rakyat justru membuat hati mereka berguncang: keluarga Nabi dalam kondisi mengenaskan—tangan terikat, pakaian compang-camping, wajah murung dan penuh debu perjalanan.

Ibnu Ziyad menyambut para tawanan di istananya dengan pongah. Ia duduk di kursi kekuasaan, penuh angkuh dan merasa telah menaklukkan putra-putri Rasulullah. Di hadapannya berdiri seorang pemuda yang kurus dan tampak sakit: Ali bin Husain, Imam Sajjad a.s. Dalam upaya menegaskan kekuasaannya, Ibnu Ziyad menatap Imam dan berkata:

“Siapa namamu?”
Imam menjawab dengan tenang, “Aku Ali bin Husain.”

Ibnu Ziyad dengan sinis membentak, “Bukankah Allah telah membunuh Ali bin Husain?”
Imam tidak goyah. Ia menjawab:

“Aku memiliki seorang saudara yang juga bernama Ali bin Husain. Dia telah dibunuh oleh manusia, bukan oleh Allah.”
(al-Irsyad, Syaikh Mufid)

Ibnu Ziyad naik pitam. Baginya, semua yang tidak tunduk pada narasi kekuasaan adalah ancaman. Ia segera memerintahkan agar Imam Sajjad dibunuh saat itu juga. Tapi suara lain membelah ruangan. Sayyidah Zainab as melangkah maju, berdiri tegak menghadapi penguasa durjana itu. Ia berseru:

“Apakah engkau hendak membunuhnya? Cukuplah darah yang telah kalian tumpahkan. Jika engkau hendak membunuhnya, maka bunuhlah aku bersama dia!”

Kata-kata Zainab bukan hanya permohonan. Itu adalah peringatan moral dan tamparan di depan publik Kufah. Ibnu Ziyad terdiam. Dalam satu momentum, kesombongannya terhempas oleh keberanian seorang wanita dan ketegasan seorang pemuda yang baru kehilangan seluruh keluarganya.

Imam Sajjad tidak hanya menjawab Ibnu Ziyad. Beliau berdiri menghadapi seluruh penduduk Kufah. Di tengah kerumunan yang semula bersorak kini mulai menangis, Imam berkhutbah:

“Wahai manusia! Siapa yang mengenalku, maka ia mengenalku. Dan siapa yang belum mengenalku, maka ketahuilah: Aku adalah Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Aku adalah anak orang yang dibunuh di sisi Sungai Furat…”
(Ibn Thawus, Luhuf, hlm. 112)

Tangisan pun pecah. Tapi Imam tidak berhenti pada sentimen. Ia menggugat kesadaran mereka:

“Apakah kalian menangisi kami? Demi Allah, siapa yang membunuh kami kalau bukan kalian sendiri? Kalianlah yang mengundang ayahku lalu mengkhianatinya!”

Kufah terdiam. Teriakan berhenti. Tangisan membuncah. Tapi semuanya sudah terlambat.

Ayatullah Khamenei menegaskan:

“Imam Sajjad menunjukkan bahwa melawan tidak selalu dengan senjata. Dengan kata-kata, beliau menelanjangi kezaliman dan mengguncang fondasi kekuasaan Ibnu Ziyad.”

Sementara Sayyidah Zainab, dengan intervensinya yang tepat waktu, menunjukkan bahwa perjuangan bukan milik laki-laki saja. Ia menjadi pelindung dan penyambung suara Ahlulbait, bahkan di jantung kekuasaan musuh.

Kufah mungkin menjadi saksi pengkhianatan, tapi juga menjadi saksi awal dari kebangkitan kembali suara kebenaran.

Ayatullah Sayyid Ali Khamenei dalam salah satu pidatonya menegaskan:

“Khutbah Imam Sajjad di Kufah bukan sekadar tangisan. Itu adalah serangan ideologis yang mengguncang fondasi kekuasaan tiran. Beliau membuat umat kembali sadar akan siapa yang mereka hadapi dan siapa yang mereka khianati.”


Khutbah Damaskus: Merobohkan Singgasana Yazid

Beberapa pekan kemudian, rombongan tawanan dibawa ke pusat kekuasaan: Damaskus. Di istana Yazid, mereka dipermalukan dan dijadikan tontonan. Yazid duduk dengan sombong, menganggap kemenangannya atas Husain sebagai legitimasi ilahi. Ia bahkan mendendangkan syair-syair jahiliah:

“Seandainya nenek moyangku yang gugur di Badar menyaksikan bagaimana aku membalas Bani Hasyim dengan pedang, mereka pasti akan bersorak: Wahai Yazid! Tanganmu takkan pernah kaku dalam membalas dendam.”
(Ibn Athir, al-Kamil fi at-Tarikh, jld. 4, hlm. 72)

Namun Yazid tak tahu, kekuasaan sejati bukan terletak di singgasana, tapi pada lisan yang berkata jujur dalam kegelapan. Dan Imam Sajjad bangkit, meminta izin untuk berbicara. Setelah didesak oleh warga Damaskus sendiri, Yazid mengizinkan, berharap khutbah itu takkan mengguncang.

Tapi apa yang terjadi justru sebaliknya.

“Wahai manusia! Aku adalah putra Mekah dan Mina. Aku adalah putra Zamzam dan Shafa. Aku adalah putra orang yang mengangkat Hajar Aswad dengan sorban. Aku adalah putra orang terbaik yang pernah naik kendaraan. Aku adalah putra Muhammad al-Mustafa. Aku adalah putra Ali al-Murtadha. Aku adalah putra Fatimah az-Zahra.”

Imam Sajjad tidak menyerang langsung Yazid dengan celaan. Ia menyerangnya dengan silsilah. Ia menyerangnya dengan kebesaran keluarganya yang tak tertandingi. Di hadapan rakyat yang mulai sadar, Yazid merasa malu. Ia bahkan mencoba menghentikan khutbah itu, tapi sudah terlambat. Kesadaran telah menyebar. Damaskus, yang semula adalah pusat kemenangan Yazid, berubah menjadi ruang interogasi spiritual bagi kekuasaannya.

Kutipan Imam Sajjad yang mengguncang:

“Apakah ini keadilan, wahai anak-anak merdeka, bahwa para wanita kalian duduk di balik tirai, sementara putri-putri Rasulullah dijadikan tawanan, dipertontonkan dari satu kota ke kota lain?”

Kata-kata ini adalah lecutan bagi akal sehat yang tertidur. Ayatullah Khamenei menegaskan dalam pidatonya tanggal 7 Muharram 1425 H:

“Dengan satu khutbah, Imam Sajjad memindahkan pusat kebenaran dari Damaskus ke Ahlulbait. Ini adalah operasi pemulihan kesadaran publik, dan kemenangan Karbala dimulai dari mimbar itu.”


Dampak Historis Khutbah Imam Sajjad

Dua khutbah ini bukan hanya orasi. Mereka adalah peristiwa. Mereka adalah strategi perlawanan kultural dan spiritual melawan sistem penindasan.

Imam Sajjad membuktikan bahwa bahkan dalam kondisi terlemah, Ahlulbait tetap menjadi suara kebenaran yang tak bisa dibungkam. Ketika kekuasaan menutup media dan mimbar-mimbar, Imam membangun kembali mimbar dari rantai dan tawanan.

“Jika bukan karena khutbah Imam Sajjad dan Sayyidah Zainab, maka Karbala akan menjadi sejarah bisu. Tapi khutbah merekalah yang membuat sejarah itu bersuara hingga hari ini,” tegas Ayatullah Khamenei.

Dan benar, setelah khutbah itu, gelombang simpati terhadap Ahlulbait meningkat. Pemberontakan demi pemberontakan muncul: dari gerakan Tawwabin di Kufah, hingga bangkitnya Mukhtar dan pengikutnya.

Imam Sajjad tahu, senjata tak akan cukup melawan imperium Bani Umayyah. Tapi kalimat-kalimat yang keluar dari lisannya lebih tajam dari pedang. Ia menancapkan luka di jantung propaganda Yazid yang mengaku mewakili Islam, padahal membantai keluarga Rasulullah.


Akhir Sebuah Awal

Imam Sajjad hidup selama lebih dari 30 tahun setelah Karbala. Tapi bisa dikatakan, dua khutbah itu adalah puncak dari perlawanan pertamanya. Mereka membuka jalan bagi seluruh perjuangan diam beliau setelahnya: melalui doa-doa dalam Sahifah Sajjadiyyah, melalui tarbiyah para murid, dan lewat penyebaran spiritualitas Islam murni di tengah umat yang diracuni politik Umayyah.

Dalam dunia hari ini, ketika umat kembali dicekik oleh kekuasaan zalim, khutbah Imam Sajjad tetap hidup. Ia mengajarkan kita: bahwa bahkan dalam tawanan, bahkan di hadapan singgasana musuh, kebenaran bisa menang jika disuarakan dengan keberanian dan keikhlasan.


Referensi:

  1. Ibn Thawus, Luhuf, Darul Ma’rifah.
  2. Ibn Athir, al-Kamil fi at-Tarikh, Beirut: Dar Sader.
  3. Syeikh al-Mufid, al-Irsyad, Beirut: Muassasah al-A’lami.
  4. Ayatullah Khamenei, pidato Muharram 1425 H, dan khutbah tentang Ahlulbait di berbagai kesempatan (dihimpun dari www.khamenei.ir).
  5. Syahid Muthahhari, Ashura: Revolusi Sepanjang Sejarah.
Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT