Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Duka Abadi 28 Safar: Hari Paling Kelam dalam Sejarah Islam

Tanggal 28 Safar dalam kalender Hijriah adalah salah satu hari paling kelam dalam sejarah Islam. Hari ini menyatukan dua duka besar yang membekas dalam hati umat: wafatnya Nabi Muhammad saw, penutup para nabi, dan syahadah cucu tercinta beliau, Imam Hasan al-Mujtaba as, Imam kedua Ahlul Bait. Perpaduan duka ini menjadikan 28 Safar sebagai momentum refleksi mendalam tentang risalah, kepemimpinan ilahi, serta perjalanan umat dalam menghadapi fitnah sepanjang zaman.

Rasulullah saw: Risalah yang Mengubah Dunia

Nabi Muhammad saw lahir di Mekah pada tahun 570 M, dalam kondisi yatim sejak dalam kandungan. Beliau tumbuh di bawah asuhan kakek dan kemudian pamannya. Sejak muda, beliau dikenal dengan akhlak mulia, integritas, dan kejujuran sehingga masyarakat Mekah memberinya gelar Al-Amin, yang terpercaya.

Pernikahannya dengan Sayyidah Khadijah as, melahirkan rumah tangga penuh berkah. Dari pernikahan itu lahir Sayyidah Fatimah az-Zahra as, sosok yang kelak menjadi ibu dari dua pemimpin pemuda surga: Imam Hasan dan Imam Husain as.

Ketika wahyu turun di gua Hira, Nabi saw diangkat sebagai rasul terakhir. Risalah beliau menantang struktur sosial-ekonomi Quraisy yang bertumpu pada kesyirikan, penindasan, dan kesenjangan. Seruan tauhid, keadilan, dan persamaan hak langsung menghadapi penolakan keras dari elit Mekah. Rasulullah saw dan para sahabat setia mengalami pemboikotan, pengusiran, hingga ancaman pembunuhan.

Namun, dengan kesabaran dan perjuangan, Islam berkembang. Puncaknya terjadi pada hijrah ke Madinah tahun 622, yang menjadi tonggak berdirinya negara Islam pertama. Rasulullah saw mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, menegakkan Piagam Madinah, dan menyatukan masyarakat dalam ikatan iman.

Serangkaian peperangan, seperti Badar, Uhud, dan Khandaq, menguji keteguhan umat. Kemenangan di Khandaq dan perjanjian Hudaibiyah membuka jalan menuju kemenangan besar: penaklukan Mekah pada tahun 630 M. Meski dahulu diusir dan diperangi, Rasulullah saw memilih memberi amnesti, memperlihatkan puncak rahmat dan akhlak luhur.

Pada tahun 632, beliau menunaikan haji wada’ dan menyampaikan khutbah terakhir di Arafah. Di Ghadir Khum, dalam perjalanan pulang, beliau mengangkat tangan Imam Ali as dan bersabda: “Barangsiapa menjadikan aku sebagai mawla, maka Ali adalah mawlanya.” Inilah penegasan imamah sebagai kelanjutan risalah. Tak lama setelah itu, beliau jatuh sakit dan wafat pada 28 Safar.

Luka Perpisahan dan Wasiat Terabaikan

Wafat Rasulullah saw meninggalkan luka mendalam bagi umat. Namun, sejarah juga mencatat bagaimana sepeninggal beliau, umat tidak sepenuhnya berpegang pada wasiatnya tentang kepemimpinan Ahlul Bait. Imam Ali as disisihkan, dan fitnah politik mulai merambah umat. Bagi Muslim Syiah, momen ini adalah awal dari tragedi yang menimpa keluarga Nabi saw—mulai dari penindasan terhadap Sayyidah Fatimah az-Zahra as, syahadah Imam Ali as, racun terhadap Imam Hasan as, hingga tragedi Karbala yang menimpa Imam Husain as.

Imam Hasan as: Cerminan Kesabaran dan Strategi Ilahi

Putra sulung Imam Ali as dan Sayyidah Fatimah as, Hasan al-Mujtaba as, lahir di Madinah pada tahun 3 Hijriah. Sejak kecil, beliau berada dalam naungan kasih kakeknya, Rasulullah saw, yang sering mendekap dan menciumnya seraya bersabda: “Hasan dan Husain adalah pemimpin pemuda surga.”

Setelah syahadah Imam Ali as, beliau memikul amanah imamah dalam situasi yang sangat sulit. Umat terpecah, banyak yang masih silau pada kekuasaan, dan sebagian tergoda oleh suap politik Muawiyah. Imam Hasan as memilih strategi damai dengan Muawiyah bukan karena kelemahan, melainkan demi menjaga esensi Islam dari kehancuran total. Beliau ingin membuka mata sejarah bahwa kekuasaan Umawiyah bukan representasi Islam sejati.

Namun, rezim Umawiyah tidak pernah berhenti menekan. Intrik politik, propaganda, dan pengkhianatan terus diarahkan kepada beliau. Akhirnya, dengan racun yang diselundupkan oleh istri beliau atas hasutan Muawiyah, Imam Hasan as wafat syahid. Jenazah beliau bahkan dihalangi untuk dimakamkan di samping kakeknya, menandakan betapa jauhnya umat tersesat dari ajaran Nabi saw.

Pesan Teologi: Wafat dan Syahadah sebagai Dua Cermin

Hari 28 Safar memperlihatkan dua sisi risalah Islam. Wafat Nabi saw adalah tanda berakhirnya turunnya wahyu dan dimulainya era imamah. Syahadah Imam Hasan as adalah bukti bahwa garis imamah selalu menghadapi penindasan rezim tiran. Bagi Syiah, keduanya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan: risalah tidak bisa hidup tanpa imamah, dan imamah adalah perpanjangan risalah.

Imam Hasan as mengajarkan bahwa terkadang perlawanan dilakukan dengan pedang, sebagaimana yang terjadi di Karbala oleh saudaranya Imam Husain as. Namun terkadang, strategi adalah menyingkap wajah zalim melalui kesabaran dan kompromi yang mempermalukan musuh di hadapan sejarah.

Di Kota Qom dan Mashhad, Iran, jutaan peziarah memenuhi Haram Imam Ridha as. Di Najaf dan Karbala, para peziarah berjalan kaki menuju makam Imam Ali as dan Imam Husain as. Di Lebanon, Pakistan, India, hingga Indonesia, majelis duka digelar. Air mata yang jatuh bukan hanya simbol kesedihan, tetapi juga janji setia kepada risalah.

Peringatan ini menunjukkan bahwa cinta kepada Nabi saw dan Ahlul Baitnya bukan sekadar tradisi, melainkan kesadaran politik dan spiritual. Dengan menghidupkan duka, umat menolak lupa dan menegaskan kembali garis perjuangan: melawan kezaliman, membela yang tertindas, dan menapaki jalan keadilan.

Pesan Kontemporer: Dari Safar 28 ke Abad 21

Dalam dunia modern, umat kembali berhadapan dengan bentuk-bentuk baru penindasan: hegemoni politik global, kapitalisme rakus, dan perang budaya yang mengikis nilai spiritual. Di tengah situasi ini, pesan Rasulullah saw dan Imam Hasan as tetap relevan. Rasulullah saw menanamkan tauhid sebagai basis pembebasan, sementara Imam Hasan as mengajarkan kesabaran strategis untuk menjaga agama di tengah konspirasi.

Hari ini, Muslim Syiah, terinspirasi oleh para Imam, terus memperjuangkan keadilan di berbagai belahan dunia. Revolusi Islam Iran menjadi salah satu contoh nyata bagaimana cinta kepada Ahlul Bait as melahirkan perlawanan terhadap hegemoni. Imam Khomeini ra dan Imam Khamenei hf senantiasa menekankan bahwa menghidupkan duka Ahlul Bait berarti melanjutkan revolusi melawan kezaliman.

Penutup

Safar 28 adalah hari duka yang mengingatkan umat Islam pada dua peristiwa besar: wafatnya Nabi Muhammad saw dan syahadah Imam Hasan as. Namun, bagi Syiah, ia bukan sekadar peringatan historis. Ia adalah momentum pembaharuan janji untuk tetap berada di jalan risalah dan imamah, menjaga Islam murni dari penyimpangan, dan menegakkan keadilan di tengah dunia yang masih dipenuhi tirani.

Tangisan di majelis-majelis duka adalah saksi cinta, tetapi juga sumber kekuatan revolusi. Dari duka lahir kesadaran, dari kesadaran lahir perlawanan. Dan dari perlawanan lahir masyarakat yang bebas, adil, dan penuh rahmat—sebagaimana dicita-citakan Rasulullah saw dan Imam Hasan al-Mujtaba as.


Sumber: tehrantimes.com

Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.