Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Epos Kepahlawanan Abu al-Fadhl Abbas, Cermin Abadi Pengorbanan dan Kesetiaan

Dalam sejarah perjuangan Islam, nama Al-Abbas bin Ali bin Abi Thalib as tidak hanya bersinar karena keberaniannya, tetapi juga karena kesetiaan dan ketajaman spiritual yang menjadi teladan abadi sepanjang masa. Dikenal dengan gelar “Qamar Bani Hasyim” atau Bulannya Bani Hasyim, Abbas bukan hanya seorang pejuang gagah di medan perang Karbala, tapi juga lambang dari cinta yang paling tulus kepada Ahlul Bait as. Kisah hidupnya bukan sekadar narasi sejarah; ia adalah gema moralitas dan spiritualitas yang mengguncang nurani siapa pun yang mendengarnya.

Abbas dilahirkan pada tahun 26 atau 28 Hijriah dari pasangan mulia: Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dan Sayidah Fathimah binti Hizam, yang berasal dari kabilah Banu Kilab. Wanita agung ini dikenal sebagai Ummul Banin karena melahirkan empat putra yang semuanya gugur sebagai syuhada di Karbala: Abbas, Abdullah, Ja’far, dan Utsman. Pendidikan Ummul Banin tidak hanya bersifat moral dan religius, tetapi juga bercorak militer dan spiritual—membentuk anak-anaknya sebagai garda terdepan pembela Ahlul Bait. Abbas, putra sulungnya, tumbuh dalam lingkungan yang penuh keutamaan, keberanian, dan keilmuan. Ayahnya adalah Imam Ali, pemilik lautan ilmu dan keberanian, dan ibunya adalah sosok perempuan teguh yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk jalan kebenaran (Bihar al-Anwar, jld. 44).

Imam Ali sangat menyayangi Abbas. Suatu hari, beliau memeluknya dan menangis. Tatkala ditanya mengapa, beliau menjawab bahwa ia melihat dengan mata hatinya: kedua tangan putranya ini akan tertebas dalam perjuangan mulia membela saudaranya, Imam Husain as. Firasat itu menjadi nyata di Karbala, di mana tubuh Abbas bin Ali dipenuhi luka namun tetap berdiri teguh membawa panji kebenaran. (al-Irsyad, Syaikh al-Mufid)

Abbas tumbuh besar di bawah naungan langsung Imam Ali, belajar tentang keadilan, keberanian, dan keimanan dari sang Ayah, dan dari para saudaranya: Hasan dan Husain as. Ia dikenal bukan karena ketampanannya, tetapi  karena akhlaknya yang tinggi dan keberaniannya yang luar biasa. Abbas juga dijuluki “Abu al-Fadhl” (Bapak Keutamaan), karena keutamaan akhlak, keberanian, dan keteguhannya dalam beragama.

Abbas mengikuti ayahnya dalam berbagai pertempuran besar seperti Perang Jamal, Shiffin, dan Nahrawan. Dalam perang Shiffin, ia tampil mengenakan cadar, hingga tidak seorang pun tahu siapa dirinya. Ia menghadapi anak-anak dari Ibnu Syatsa dan membunuh mereka satu per satu. Ketika akhirnya identitasnya diketahui, Imam Ali membuka cadarnya dan memeluknya sambil berkata: “Inilah putraku, Abbas, singa dari singa Allah.” (Tarikh al-Tabari, jilid 5)

Puncak pengorbanan Abbas adalah pada tragedi Karbala, hari kesepuluh bulan Muharram 61 Hijriah. Malam Asyura, para sahabat Imam Husain as sibuk beribadah, namun Abbas berjaga di sekeliling kemah, menghunus pedang untuk melindungi keluarga Rasulullah saw. Dalam malam suci itu, tidak ada rasa takut dalam dirinya, hanya cinta yang berkobar.

Pada pagi hari Asyura, Imam Husain memberi izin kepada para sahabatnya untuk meninggalkan medan laga jika mereka ingin selamat. Abbas, dengan lantang menolak, seraya berkata: “Apakah kami akan meninggalkanmu, sementara musuh menyerangmu? Demi Allah, kami tidak akan melakukan itu walau kami harus dibunuh berkali-kali.” (Ziyarat al-Nahiyah)

Syimr bin Dzil Jausyan datang membawa surat jaminan keselamatan dari Ibn Ziyad bagi Abbas dan saudara-saudaranya, sebab mereka berasal dari kabilah yang sama, Bani Kilab. Namun Abbas dan saudaranya menolak mentah-mentah tawaran itu, menyatakan bahwa tidak mungkin mereka hidup tenang sementara cucu Rasulullah terancam nyawanya. Ini adalah puncak dari kesetiaan Abbas. (Tarikh al-Tabari)

Maka tibalah momen penuh luka dan kemuliaan. Abbas diminta Imam Husain untuk mengambil air dari Sungai Efrat bagi anak-anak kecil yang kehausan. Dengan gagah, Abbas memacu kudanya menerobos pasukan musuh. Ia berhasil mencapai tepi sungai dan mengambil air. Saat hendak minum, ia ingat kehausan Imam Husain dan anak-anaknya. Ia buang air itu dan berkata: “Bagaimana aku bisa meminum air sementara saudaraku kehausan?” Inilah puncak rasa empatinya. (Maqtal al-Husain, Abu Mikhnaf)

Di tengah perjalanan kembali, tangannya ditebas hingga putus. Ia memindahkan qirbah ke tangan kiri, lalu tangan kirinya pun ditebas. Dengan giginya, ia menggigit tali qirbah agar air tetap bisa disampaikan. Namun sebuah panah menembus tempat air itu, membuat isinya tumpah ke tanah. Tak lama kemudian, tombak menancap di dadanya. Ia jatuh dari kuda dan memanggil Imam Husain.

Imam Husain segera datang dan melihat tubuh Abbas yang tercabik-cabik. Sambil menangis, beliau berkata: “Sekarang patahlah punggungku.” Imam tidak mampu mengangkat tubuh saudaranya karena parahnya luka. Abbas syahid di usia 34 tahun. (Bihar al-Anwar, jilid 45)

Setelah peristiwa Karbala, Imam Zain al-Abidin berkata: “Semoga Allah merahmati Abbas. Ia mengorbankan dirinya demi saudaranya. Allah memberinya dua sayap seperti Ja’far, dan kedudukan yang diidamkan para syuhada.” (Bihar al-Anwar, jld. 44)

Secara khusus tanggal 9 Muharram oleh Mazhab Ahlul Bait didedikasikan untuk mengenang pengorbanannya. Dalam ziarah-ziarah, ia disapa dengan julukan seperti “Bab al-Hawaj” (Pintu bagi permohonan), “Qamar Bani Hasyim,” dan “Pemegang Panji Husain.” Nama dan keberanian Abbas diabadikan dalam bentuk seni, sastra, dan ritual sebagai teladan kesetiaan sempurna.

Ayatullah Sayyid Ali Khamenei berkata: “Abbas bin Ali memiliki dua keutamaan besar: basirah (ketajaman batin) dan wafa (kesetiaan mutlak). Ia tahu siapa yang harus dibela dan kepada siapa harus menyerahkan dirinya.”

Dalam dirinya, Abbas mempertemukan dimensi fisik dan spiritual dari jihad. Ia tidak hanya pahlawan karena keberaniannya, tetapi karena ia mampu menundukkan hawa nafsu. Bahkan ketika dahaga membakar tenggorokannya, ia memilih menahan diri demi Ahlul Bait. Inilah nilai paling agung dalam sejarah Islam: mendahulukan kebenaran daripada kepentingan pribadi.

Sampai saat ini, jutaan umat manusia dari seluruh penjuru dunia menziarahi makamnya di Karbala, Irak. Mereka menunduk dalam haru, menyampaikan salam: “Assalamu ‘alaika ya Qamar Bani Hasyim…”

Sungguh, Abbas bin Ali bukan hanya pahlawan Karbala. Ia adalah ruh dari segala perjuangan menegakkan kebenaran. Namanya adalah cahaya bagi yang gelap, harapan bagi yang tertindas, dan teladan bagi siapa pun yang ingin hidup dengan prinsip, mati dalam kemuliaan.

Semoga kita dianugerahi taufik untuk meneladani jalannya, dan semoga Allah SWT menghimpun kita bersama beliau dan para syuhada Ahlul Bait di surga-Nya yang mulia.


Sumber:

  • Sayyid Musa al-Sadr, Abbas: al-Rajul wa al-Mawqif
  • Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, dikutip dari ceramah beliau dalam Majlis Asyura (sumber daring: www.khamenei.ir)
Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.