Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Era Baru Perlawanan Ekonomi: Sanksi AS Tak Lagi Ampuh

Oleh: Masoud Barati, Pakar sanksi ekonomi dan penulis The Economic War

Sanksi ekonomi adalah wajah modern dari agresi kolonial. Bila dahulu penjajah datang dengan meriam dan pedang, hari ini mereka melancarkan dominasi melalui sistem keuangan, dolar, dan ancaman finansial. Namun, seperti halnya umat Islam dahulu tidak tunduk kepada serangan militer, kini pun perlawanan terhadap sanksi membuktikan bahwa hegemoni ekonomi global pun dapat dipatahkan.

Pemimpin Besar Revolusi Islam, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, dalam pertemuan bersama para mahasiswa dan pemuda, menyampaikan sebuah pernyataan strategis yang menggambarkan perubahan zaman:

“Alhamdulillah, sanksi-sanksi ini semakin kehilangan efektivitasnya. Ketika sanksi terus berlanjut, mereka perlahan-lahan kehilangan dampaknya. Mereka sendiri telah mengakuinya.”

Pernyataan ini bukanlah slogan politis. Ia adalah hasil dari pengalaman bertahun-tahun, penderitaan panjang, keteguhan revolusi, serta hasil pengamatan yang juga diakui oleh musuh-musuh Revolusi Islam.

Ayatullah Khamenei menggambarkan kenyataan global yang kini mulai diakui bahkan oleh para perancang kebijakan Barat: sanksi ekonomi tidak lagi menjadi senjata ampuh seperti dahulu. Kekuatannya perlahan memudar, daya tekan dan ketakutannya surut, dan yang lebih penting lagi, bangsa-bangsa yang menjadi korban kini tak hanya bertahan—mereka mulai bangkit dan berani melawan.

Pengalaman negara-negara yang selama bertahun-tahun menjadi sasaran sanksi—seperti Iran, Rusia, Venezuela, Suriah, dan Korea Utara—menunjukkan pola yang kian jelas. Alih-alih menundukkan bangsa-bangsa tersebut, sanksi malah mempercepat perubahan arah ekonomi dan politik. Negara-negara ini mulai menumbuhkan ketahanan dari dalam, mempererat hubungan dengan mitra non-Barat, dan perlahan tapi pasti membangun sistem alternatif yang merdeka dari dominasi ekonomi Amerika Serikat dan sekutunya.

Kondisi ini juga tercermin dalam pengakuan para pemikir Barat sendiri. Richard Nephew, yang dikenal sebagai arsitek utama sanksi terhadap Iran, dalam beberapa tulisannya menyatakan bahwa kebijakan tekanan maksimum kini tidak bisa lagi dijalankan dengan sukses. Bahkan di era pemerintahan Trump, strategi itu mengalami kemacetan. Dalam satu kesempatan, Nephew bahkan menyarankan agar tekanan militer lebih dikedepankan ketimbang diplomasi berbasis sanksi, karena—secara faktual—sanksi telah kehilangan daya paksa. Hal ini selaras dengan isi National Security Presidential Memorandum era Trump, yang tidak lagi fokus pada menjatuhkan sanksi baru, tetapi mengalihkan perhatian pada pencegahan pengelakan sanksi, seperti melalui FATF dan identifikasi penerima manfaat akhir. Sebuah pengakuan tersirat bahwa sanksi yang diluncurkan tak lagi menimbulkan dampak yang diharapkan.

Amerika Serikat selama ini mengandalkan dua kekuatan utama dalam menyebarkan pengaruh sanksinya: kekuatan ekonominya yang besar, dan dominasi dolar dalam sistem keuangan internasional. Namun dunia telah berubah. Kini, transaksi minyak dan perdagangan antarnegara tidak lagi sepenuhnya bergantung pada dolar. Negara-negara mulai membangun sistem pembayarannya sendiri, bertransaksi dengan mata uang lokal, atau bahkan memakai aset digital. Ini berarti jangkauan sanksi menjadi terbatas: hanya efektif dalam aktivitas yang masih bergantung pada sistem keuangan Barat. Jika negara-negara bisa mengalihkan transaksinya ke luar jangkauan ini, sanksi tak lagi bekerja.

Selama periode pertama tekanan maksimum dari pemerintahan Trump, Iran sempat mengalami pukulan berat. Saat itu, sebagian besar kebijakan ekonomi Iran digerakkan dengan harapan bahwa kesepakatan internasional akan membawa pencabutan sanksi. Harapan yang tak realistis itu mendorong keterbukaan ekonomi yang terlalu cepat, tanpa memperkuat fondasi internal. Tapi setelah itu, sebuah kesadaran kolektif tumbuh di Iran: bahwa jalan keluar bukanlah kompromi, melainkan netralisasi sanksi. Sejak itu, arah ekonomi Iran berubah: kembali menguatkan sektor domestik, memperluas hubungan dengan negara-negara yang tidak tunduk pada Amerika, dan menciptakan jalur perdagangan alternatif.

Jalan ini memang berat, tetapi penuh kemuliaan. Sebab perlawanan terhadap sanksi bukan sekadar upaya ekonomi, melainkan bagian dari jihad modern. Dalam pandangan Ayatullah Khamenei, ini adalah ujian keimanan dan ketabahan. Menyerah kepada sanksi berarti menyerahkan kedaulatan dan kehormatan bangsa kepada musuh. Karena itu, perjuangan ini bukan hanya soal angka dan statistik, tapi soal harga diri umat.

Apa yang dilakukan Iran kini menjadi inspirasi bagi banyak negara lain. Rusia, pasca invasi Ukraina dan gelombang sanksi dari Barat, justru memperkuat hubungan dagang dengan Asia, membentuk jalur pembayaran baru, dan memperluas kerja sama dalam BRICS. Di Amerika Latin, muncul kesadaran untuk menciptakan sistem ekonomi yang mandiri dari Bank Dunia dan IMF. Di Afrika, semangat dekolonisasi ekonomi mulai mengemuka kembali. Bahkan di Asia Tenggara, wacana transaksi lintas negara menggunakan mata uang lokal mulai digaungkan.

Dunia tengah bergerak menuju tatanan baru yang lebih seimbang. Satu per satu, bangsa-bangsa menyadari bahwa ketundukan pada sistem unipolar tidak lagi menjamin stabilitas atau kemakmuran. Sebaliknya, kemandirian dan perlawanan—meski sulit dan penuh tantangan—membawa martabat dan kekuatan sejati.

Apa yang terjadi saat ini bukan sekadar transformasi teknis dalam sistem ekonomi global, melainkan perubahan paradigma. Bangsa-bangsa yang dahulu dijajah secara ekonomi kini tidak lagi pasrah. Mereka menolak dikendalikan. Mereka membangun peradaban baru. Dan dalam perubahan besar ini, suara Ayatullah Khamenei bergema dengan kekuatan spiritual dan historis yang luar biasa.

“Perlawanan terhadap sanksi adalah bagian dari jihad. Ini bukan sekadar perkara ekonomi, tetapi ujian iman, kesabaran, dan kehendak bangsa.”

Perjuangan ini belum selesai. Tapi tanda-tanda kemenangan telah tampak. Ketika satu demi satu bangsa mengangkat kepala dan menolak tunduk, dunia perlahan-lahan terlepas dari bayang-bayang penindasan ekonomi. Dan pada akhirnya, sebagaimana janji Ilahi, kemenangan akan berpihak kepada mereka yang bersabar, teguh, dan bertawakal.

“Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, maka cukuplah Allah baginya.”
(QS. Ath-Thalaq: 3)

Sumber: Khamenei.ir

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT