Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Fatimah adalah Fatimah

Ketika Ali Syariati berbicara tentang Sayyidah Fatimah az-Zahra as dalam karya monumentalnya “Fatimah adalah Fatimah”, ia tidak sekadar menuliskankan seorang perempuan yang hidup di bawah bayang-bayang ayahnya, Rasulullah saw. Ia tidak menghadirkan Fatimah sebagai sosok ideal yang hanya dipuji dalam syair-syair, atau sekadar teladan domestik yang terbatas pada ruang keluarga. Bagi Syariati, Fatimah adalah sebuah kesadaran sejarah, sebuah pilihan, dan sebuah identitas perjuangan.

Fatimah tidak datang sebagai simbol kelembutan semata. Ia datang sebagai simbol perlawanan, suara yang bertahan ketika kebenaran mencoba dibungkam, dan sebagai penjelmaan paling murni dari Islam yang ingin ditegakkan Nabi Muhammad saw.

Fatimah, Putri Tunggal dari Revolusi Besar Islam

Syariati memulai dengan memandang sejarah Islam sebagai revolusi besar dalam tatanan sosial dan spiritual. Rasulullah membawa umat manusia dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya tauhid. Dalam gerakan besar ini, Sayyidah Fatimah tumbuh bukan sebagai “putri istana kenabian”, tetapi sebagai anak dari perjuangan, saksi mata dari penderitaan kaum tertindas.

Ia menyaksikan bagaimana para penguasa Quraisy menghina ayahnya, memboikot komunitas muslim di Syi’b Abu Thalib, hingga kelaparan dan kelelahan menempa setiap jiwa. Ketika banyak orang hanya melihat Nabi sebagai pemimpin suci, Sayyidah Fatimah melihat ayahnya sebagai manusia yang memikul beban sejarah.

Di situlah benih kesadaran perjuangan-nya lahir.

Cinta, tetapi Bukan Pasrah

Ali Syariati mengingatkan bahwa cinta Fatimah bukan cinta yang sentimental. Ia tidak mencintai Rasulullah karena ia adalah ayahnya. Ia mencintainya karena Nabi adalah kebenaran, dan karena Islam adalah jalan pembebasan manusia. Maka ketika Nabi wafat, cinta itu tidak berubah menjadi air mata yang melemah, melainkan menjadi api kesadaran yang menyala.

Pada momen kritis setelah wafatnya Rasulullah, ketika kekuasaan diperebutkan dan arah ummah mulai disimpangkan, Fatimah tidak tinggal diam. Di sinilah Syariati menekankan bahwa Fatimah keluar ke tengah masyarakat bukan karena emosinya terluka, tetapi karena ideologi Islam sedang terancam.

Ia berdiri di mimbar Masjid Nabawi dan menyampaikan Khutbah Fadak, bukan karena sebidang tanah dirampas darinya, tetapi karena keadilan, amanah, dan prinsip Islam sedang dihancurkan.

Sayyidah Fatimah adalah simbol perempuan yang tidak hanya mengasuh, tetapi juga mengoreksi sejarah.

Pengorbanan Sayyidah Fatimah: Kesunyian yang Menyala

Syariati menegaskan bahwa pengorbanan Fatimah bukanlah pengorbanan yang mencari simpati. Ia tidak menangis untuk meminta belas kasihan. Kesunyian Fatimah setelah kepergian Nabi adalah kesunyian seorang pejuang yang mengetahui bahwa ia telah ditinggalkan oleh umat yang lupa janjinya.

Rumah Imam Ali dan Sayyidah Fatimah bukan rumah biasa. Rumah itu adalah markas kebenaran, pusat orientasi Islam yang sejati. Ketika power politik menyingkirkan Imam Ali, itu bukan sekadar konflik keluarga, tetapi konflik dua arus sejarah:

Arus yang ingin menjaga Islam sebagai ajaran pembebasan,
dan
arus yang ingin mengubah Islam menjadi kekuasaan dinasti dan hirarki.

Sayyidah Fatimah berdiri di garis depan pertarungan ini, meski tubuhnya rapuh dan hatinya terluka.


Sayyidah Fatimah dan Kesyahidan yang Tidak Berdarah

Ali Syariati membedakan dua jenis kesyahidan:

  1. Syahadah dalam perang – kematian dalam medan fisik.
  2. Syahadah dalam kehidupan – ketika seseorang hidup dalam penderitaan demi mempertahankan kebenaran.

Sayyidah Fatimah adalah syahid dalam bentuk kedua. Ia tidak gugur dengan pedang di medan perang. Ia gugur dalam kehidupan, dalam perjuangan mempertahankan prinsip ketika mayoritas menyerah. Tubuhnya yang remuk, tulangnya yang patah, rumahnya yang diserbu—semua menjadi tanda bahwa kebenaran sering harus dibayar dengan seluruh diri.

Dan justru dalam penderitaan senyap itulah Fatimah menjadi lebih besar daripada seorang pahlawan perang.

Karena syahid dalam perang dapat dilakukan siapa saja, bahkan dengan amarah. Tetapi syahid sepanjang hidup hanya dapat dilakukan oleh orang yang paham sepenuhnya apa yang ia perjuangkan.

Dalam kalimat yang paling terkenal dari Syariati:

“Fatimah adalah Fatimah.”

Artinya: ia bukan simbol yang dipinjam untuk mendukung ide tertentu. Ia bukan disucikan untuk dijadikan ikon pasif. Ia tidak boleh direduksi menjadi teladan ibu rumah tangga tanpa konteks sejarah.

Fatimah adalah dirinya — perempuan yang berdiri di puncak kemanusiaan, kesadaran, dan keberanian.

Ia adalah putri Nabi, tetapi ia berjalan dengan kekuatannya sendiri.
Ia adalah istri Ali, tetapi ia memiliki suara dan sikapnya sendiri.
Ia adalah ibu Imam Hasan dan Husain, tetapi ia tidak hanya dikenang karena melahirkan dua manusia besar.

Fatimah adalah pencipta sejarah.


Fatimah dan Dimensi Revolusioner Imamah

Syariati melihat keterhubungan langsung antara Fatimah dan gerak sejarah yang akhirnya memuncak di Karbala. Baginya, Fatimah adalah awal dari garis kesyahidan yang ditutup oleh Husain. Apa yang diperjuangkan Fatimah dalam rumah kecil itu ditumpahkan Husain di padang Karbala dengan darah.

Jika Husain adalah kesyahidan yang tampak, Fatimah adalah kesyahidan yang tersembunyi tetapi fondasional.

Fatimah adalah akar yang membuat pohon kesyahidan itu dapat tumbuh.


Wafatnya: Senyap, tetapi Menggelegar dalam Sejarah

Wafat Fatimah adalah tragedi diam. Tidak ada pekik perang. Tidak ada genderang. Tidak ada bendera.

Namun, justru dalam kesenyapan itu terdapat teriakan paling keras yang pernah dikeluarkan sejarah Islam:

Umat ini telah menyimpang dari jalan ayahku.

Pemakamannya yang rahasia bukan sekadar pilihan keluarga. Itu adalah protes sejarah, pesan untuk umat:

Di mana kalian ketika kebenaran dipukul?
Di mana kalian ketika amanah Nabi dirampas?

Fatimah meninggalkan dunia ini tidak untuk dikenang dalam duka semata, tetapi agar umat bertanya tentang dirinya sendiri.


Fatimah sebagai Jalan Kesadaran

Dalam pandangan Ali Syariati, Sayyidah Fatimah bukan hanya sosok yang harus dicintai; ia adalah sosok yang harus diteladani secara sadar:

  • keberanian dalam mempertahankan prinsip, bahkan ketika sendirian;
  • kesediaan berkorban tanpa menuntut pujian;
  • kemampuan memisahkan cinta dari kelemahan, dan menjadikannya kekuatan.

Fatimah tidak mengajarkan kita untuk menangis.
Ia mengajarkan kita untuk bangkit.

Ia tidak mengajarkan kita untuk meratapi sejarah.
Ia mengajarkan kita untuk menulis sejarah baru.

Dan selama manusia masih mencari kebenaran yang tulus, nama itu tetap hidup:

Fatimah. Ya, Fatimah adalah Fatimah!.

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT