Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Ghadir: Peneguhan Wilayah, Penyempurna Risalah

Di tengah padang pasir bernama Khum, di bawah terik mentari yang menyengat, sejarah Islam mencatat sebuah peristiwa yang tak sekadar menjadi penutup perjalanan haji Rasulullah, melainkan juga penegas kelanjutan misi kenabiannya. Ayatullah Misbah Yazdi, dalam bukunya Ghadir: Haditsul Wilayah, memaparkan kedalaman makna spiritual, politik, dan teologis dari momen agung ini, yang disebut sebagai Hari Raya Allah Terbesar (Eidullah al-Akbar).

Menurut beliau, peristiwa Ghadir bukan hanya penunjukan pemimpin pasca-Rasulullah. Ia adalah peneguhan wilayah, yaitu ikatan batin, ruhani, dan kepemimpinan ilahiah yang wajib ditaati umat, sebagaimana mereka wajib menaati Nabi Muhammad sendiri. Ayatullah Misbah menegaskan bahwa wilayah bukan produk ijtihad politik, melainkan kelanjutan dari risalah kenabian itu sendiri. Maka tak heran jika Allah berfirman:

“Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika tidak engkau lakukan, maka (seakan-akan) engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.” (QS. al-Ma’idah: 67)¹

Buku ini menyajikan pendekatan sistematis terhadap hadis Ghadir yang berbunyi:

“Man kuntu mawlahu fa ‘Aliyyun mawlahu — Siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.”²

Ayatullah Misbah tidak sekadar mengutip hadis ini, tetapi membedah konteks, bahasa, serta dampak historis dan ideologisnya. Beliau membantah pemaknaan reduktif terhadap kata mawla sebagai “teman” atau “kekasih”. Berdasarkan ratusan riwayat, termasuk dari literatur Sunni, kata mawla dalam hadis tersebut secara konsisten bermakna pemimpin otoritatif — bukan sekadar sahabat.³

Lebih lanjut, Ayatullah Misbah menunjukkan bagaimana peristiwa ini tidak berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari mata rantai yang panjang sejak awal bi’tsah. Dari dakwah Nabi di rumahnya (peristiwa Yaum al-Dar)⁴, hingga sabda-sabda beliau sepanjang hidupnya tentang keutamaan Ali, semuanya bermuara di Ghadir. Dengan kata lain, Ghadir adalah deklarasi publik, formal, dan terbuka atas realitas yang telah dibentuk secara bertahap selama 23 tahun risalah.

Menariknya, buku ini juga menyoroti aspek sosiologis dan psikologis masyarakat saat itu. Mengapa Nabi saw. memilih tempat tandus, antara Makkah dan Madinah, untuk menyampaikan pesan besar ini? Ayatullah Misbah menjelaskan bahwa Khum adalah tempat berkumpulnya jamaah haji dari berbagai wilayah. Di situlah titik perpisahan mereka, dan di sanalah Allah memerintahkan agar risalah dituntaskan. Sebab jika Nabi menyampaikan pesan ini di Madinah, orang-orang akan menuduh bahwa wilayah adalah urusan lokal, bukan universal.

Setelah menyampaikan khutbahnya, Rasulullah memerintahkan semua orang untuk membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai mawla. Bahkan para sahabat besar seperti Abu Bakar dan Umar ikut mengucapkan selamat: “Bakhin bakhin laka ya Ali! Asbahta mawla kulli mu’minin wa mu’minah.”

Ayatullah Misbah Yazdi memandang bahwa hari Ghadir merupakan ujian terakhir bagi umat Islam. Apakah mereka akan menaati Rasulullah dalam perkara penting ini atau memilih jalan lain? Maka tak mengherankan bila hari itu disebut sebagai “hari penyempurnaan agama”:

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS. al-Ma’idah: 3)⁶

Ghadir, dalam pandangan Ayatullah Misbah, bukan hanya bagian dari sejarah, melainkan fondasi akidah. Barangsiapa memutus hubungan dengan Ghadir, maka sesungguhnya ia telah memutus kelanjutan wilayah Ilahi. Dan siapa yang menjadikan Ghadir sebagai jalan hidup, maka dialah yang meniti jalan kenabian hingga akhir zaman.


Catatan Kaki:

  1. Al-Qur’an, QS. al-Ma’idah: 67.
  2. Hadis Ghadir diriwayatkan lebih dari 110 sahabat dan tercantum dalam lebih dari 360 sumber, baik Syiah maupun Sunni. Lihat: Al-Amini, Al-Ghadir, jld. 1.
  3. Misbah Yazdi, Muhammad Taqi. Ghadir: Haditsul Wilayah. Penerbit Mu’assasah al-Imam al-Khumaini, Qom, hal. 47–53.
  4. Peristiwa Yaum al-Dar terdapat dalam riwayat ketika Nabi pertama kali mengajak keluarga dekatnya kepada Islam dan menunjuk Ali sebagai pengganti. Lihat: Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jld. 2.
  5. Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 4, hlm. 281.
  6. Al-Qur’an, QS. al-Ma’idah: 3.
Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.