Ibadah haji bukanlah sekadar perjalanan ritual tahunan ke Mekkah. Ia adalah panggilan Ilahi yang menggerakkan ruh manusia untuk melepaskan diri dari cengkeraman dunia, lalu kembali ke tengah kehidupan dengan semangat baru yang menyala. Haji adalah sekolah transformasi; ia membentuk manusia merdeka yang sadar akan posisinya di hadapan Tuhan dan tugasnya di tengah umat manusia.
Di tengah dunia yang memisahkan antara agama dan perjuangan sosial, antara spiritualitas dan keadilan, haji datang sebagai pernyataan agung bahwa keduanya tak terpisahkan. Ia menyatukan zikir dan gerak, munajat dan aksi, cinta dan keberanian. Haji bukan bentuk pelarian dari realitas, tapi justru penguatan ruh untuk mengubahnya.
Perjalanan haji dimulai dari miqat, di mana seorang insan menanggalkan pakaian duniawinya dan mengenakan ihram. Ini bukan sekadar pergantian busana, tapi simbol melepaskan segala identitas artifisial—harta, pangkat, kebangsaan, kasta—dan kembali kepada kemurnian ciptaan Tuhan. Dalam pakaian seragam itu, manusia berdiri sejajar, tanpa pembeda. Tak ada raja, tak ada budak. Hanya manusia dan Tuhannya.
Namun perjalanan ini tidak berhenti pada simbol. Ia adalah perjalanan menyeluruh: dari kesadaran individu menuju kesatuan sosial. Tawaf mengajarkan bahwa hidup harus berporos pada pusat yang satu—Ka’bah, rumah tauhid. Sebagaimana jasad bergerak mengelilingi pusat itu, begitu pula hidup manusia harus berputar mengelilingi nilai-nilai Ilahi. Bila pusat kehidupan bergeser ke ego, kekuasaan, atau harta, maka porosnya telah rusak. Ka’bah bukan sekadar bangunan; ia adalah simbol tatanan hidup tauhid—di mana Allah menjadi pusat segala hal.
Di antara ritual haji, ada langkah yang paling menggugah: wukuf di Arafah. Jutaan manusia berhimpun dalam diam dan doa. Tak ada kiblat selain langit, tak ada pakaian selain kain putih kematian. Di sana, manusia diajak merenung: dari mana datang, ke mana akan pergi. Kesadaran kolektif ini adalah kekuatan besar. Ia menunjukkan potensi luar biasa umat Islam jika mereka bersatu dalam satu arah dan satu tujuan.
Namun kesatuan ini bukan hanya untuk diam. Setelah Arafah, langkah diteruskan ke Muzdalifah dan Mina—tempat melontar jumrah. Tindakan ini tak hanya simbol membuang godaan setan, tapi juga perlawanan terhadap kekuatan tirani yang membelenggu umat. Setan bukan hanya makhluk ghaib; ia bersemayam dalam sistem penindasan, dalam kapitalisme yang rakus, dalam pemerintahan zalim, dalam bisikan dunia yang menggoda manusia menjauhi keadilan.
Melontar jumrah adalah deklarasi perang terhadap semua bentuk kebatilan. Ia adalah langkah revolusioner dalam bentuk ritual. Umat Islam diajari untuk tidak sekadar bersabar di hadapan kezaliman, tetapi melawannya—dengan batu kesadaran, tekad, dan keberanian. Ibadah ini menanamkan bahwa setiap muslim adalah pejuang dalam barisan Ibrahim, sang penghancur berhala, yang tak tunduk kepada kekuasaan apa pun kecuali Allah.
Setelah jumrah, datanglah penyembelihan kurban. Ini bukan sekadar menyembelih hewan, melainkan kesiapan menyembelih ego, keserakahan, dan cinta dunia yang menghalangi jalan menuju Allah. Ibrahim telah menunjukkan puncak kepasrahan ketika siap menyembelih putranya demi perintah Tuhan. Maka seorang haji pun diajari untuk siap mengorbankan apa pun—ambisi pribadi, harta, bahkan nyawa—demi nilai yang lebih tinggi.
Rangkaian haji ditutup dengan mencukur rambut dan kembali ke tanah air. Tapi ia tidak kembali sebagai orang yang sama. Ia telah lahir kembali—dengan mata baru yang jernih melihat dunia, dengan hati baru yang penuh cinta dan tanggung jawab. Tugasnya kini adalah membawa ruh haji ke tengah masyarakat. Ia bukan lagi manusia duniawi yang terjebak dalam rutinitas, melainkan insan Ilahi yang sadar akan misinya: menegakkan keadilan, membela yang tertindas, dan menghidupkan nilai-nilai Islam sejati.
Haji, dengan seluruh simbol dan geraknya, adalah latihan untuk membangun masyarakat tauhid. Bukan masyarakat kapitalistik yang menuhankan uang, bukan masyarakat nasionalistik yang membanggakan batas buatan, tetapi masyarakat yang menjadikan keadilan dan kasih sayang sebagai poros. Di Arafah umat berkumpul tanpa batas bangsa. Di Mina mereka melontar setan yang sama. Di Ka’bah mereka mengelilingi pusat yang sama. Maka tak layak jika sepulang haji, mereka kembali terpecah oleh sekat-sekat palsu.
Spirit haji ini selaras dengan jalan Ahlul Bait—mereka yang menjadikan tauhid sebagai puncak dan keadilan sebagai jalan. Lihatlah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, imam pertama yang mengayunkan pedang demi menjaga prinsip Islam yang murni. Lihatlah Al-Husain di Karbala—bukankah langkahnya menuju tanah syahadah adalah haji dalam bentuk lain? Ia mengenakan ihram darah, melontar jumrah Yazid, menyembelih kurban diri dan keluarga demi menyelamatkan agama kakeknya. Maka Karbala dan haji adalah dua wajah dari semangat yang sama.
Haji bukan perayaan, bukan festival. Ia adalah deklarasi. Deklarasi bahwa manusia tak ingin lagi diperbudak sistem batil. Deklarasi bahwa dunia harus kembali pada nilai-nilai tauhid. Deklarasi bahwa umat ini satu, dan tugas mereka bukan hanya menyembah, tetapi juga menegakkan kebenaran.
Inilah mengapa haji adalah revolusi. Revolusi yang dimulai dari dalam diri, lalu menjalar ke masyarakat. Revolusi yang tak mengenal kekerasan, tetapi penuh tekad. Revolusi yang lahir dari cinta kepada Tuhan dan benci kepada kezaliman. Dan seperti semua revolusi sejati, ia memerlukan kesadaran, pengorbanan, dan kesatuan.
Maka, siapakah yang benar-benar telah berhaji? Bukan yang sekadar melaksanakan manasik, tetapi yang pulang dengan jiwa baru—jiwa Ibrahim, jiwa Muhammad, jiwa Husain. Jiwa yang siap menjadikan dunia ini tempat tinggal yang layak bagi keadilan dan cahaya Ilahi.
————————————————–
Disarikan dari buku “Haji” karya Ali Syariati