Oleh Ustadz Muhsin Labib
“Barang siapa yang mampu menangkap ruh keesaan Allah dalam ibadah haji, ia tak akan membiarkan jiwanya terjerumus ke dalam kehinaan dan penindasan.” — Imam Ali bin Abi Thalib
Haji bukan sekadar ritual, melainkan perwujudan ketakwaan yang mendalam, sebuah perjalanan suci yang menggenggam makna lahir dan batin. Jika Ramadan menjadikan kita tamu yang dijamu Tuhan di meja rahmat-Nya, maka Zulhijah adalah undangan agung untuk mengetuk pintu Baitullah, Rumah Tuhan. Di puncak-puncak ibadah haji, melalui penyembelihan hewan kurban, kita menyerahkan loyalitas lahiriah, meleburkan eksistensi batiniah, dan memurnikan pengabdian kepada Sang Pencipta.
Kita berziarah ke Baitullah, merindukan kehormatan sebagai tamu yang diterima dan diakui oleh Tuhan. Namun, kemuliaan ini hanya bisa diraih jika kita memenuhi syarat-syarat penghambaan sejati. Tanpa kesadaran ini, citra kita sebagai tamu terundang bisa memudar, berubah menjadi tamu tak diundang. Maka, Tuhan memerintahkan kita meneladani perjalanan Ibrahim dan keluarganya, menapaki setiap prosesi penghambaan yang sarat makna.
Dalam ziarah agung ini, ketidakberdayaan kita diuji melalui kebersamaan. Kita bersatu dengan jutaan tamu Tuhan lainnya—dari berbagai bangsa, mazhab, warna kulit, dan latar belakang. Haji menjelma sebagai gelanggang silaturahmi akbar, wadah transformasi pengetahuan, dan konsolidasi umat Islam sedunia. Tetes keringat dan aroma tubuh yang kita keluarkan hanyalah uap fana jika tidak disertai sikap egaliter, keterbukaan hati, dan penghormatan tulus terhadap pluralitas yang mewarnai umat manusia.
Haji adalah miniatur mahsyar, sebuah simulasi agung yang mengembalikan setiap insan pada fitrahnya. Tak ada atribut duniawi yang boleh melekat, kecuali kain ihram—seragam suci yang menghapus segala simbol perbedaan, status, dan cengkeraman kapitalisme. Raja atau rakyat, kaya atau miskin, semua merasakan derita yang sama. Wukuf di Padang Arafah adalah latihan kesabaran menanti “audit” ilahi, di mana altar raksasa itu menjadi saksi bisu umat manusia yang berbaris, menunggu penilaian dari Pengadil yang tak bisa disuap.
Dalam fikih Ahlulbait, pelaku haji dilarang memakai wewangian atau segala bentuk kepura-puraan yang menutupi hakikat diri. Bahkan bercermin pun dilarang, sebab narsisme dan kesombongan adalah dosa yang dikenai sanksi berat. Kepala dibiarkan terbuka, membiarkan sengatan matahari mengingatkan kita pada dahsyatnya hari mahsyar. Haji juga mengajarkan cinta pada lingkungan—tak boleh membunuh seekor nyamuk atau mencabut tanaman hanya karena iseng. Kehidupan duniawi, termasuk hasrat jasmani, harus dikesampingkan demi kemurnian jiwa. Yang terpenting, pelaku haji dituntut menunjukkan ketegasan melawan kejahatan, kezaliman, dan kebatilan melalui prosesi bara’ah saat melempar jumrah.
Fenomena inilah yang ditakuti penguasa zalim. Haji bukan sekadar ritual; ia adalah unjuk kekuatan umat yang bersifat politis. Mobilisasi terbesar umat Islam ini menegaskan pesan tauhid: penolakan terhadap segala bentuk kekuasaan arogan dan penindasan. Haji mabrur adalah jihad fisabilillah, sebuah perjuangan yang lahir dari kesatuan umat dan kepedulian mendalam terhadap problem keumatan. Gelar haji atau hajjah di depan nama seseorang bukanlah sekadar tanda kehormatan, melainkan simbol keberanian melawan setiap bentuk penindasan.
Sejarah mencatat teladan agung Al-Husain bin Ali, yang mengingatkan bahwa tawaf mengelilingi Ka’bah tak bermakna jika kita tak memahami hakikatnya. Dalam khutbah mistisnya, Al-Husain menyatakan bahwa sebagaimana Ka’bah menjadi pusat dunia, demikian pula seorang imam adalah poros kemanusiaan yang wajib ditaati pada masanya. Ia menuntaskan pengabdiannya kepada Tuhan dengan syahadah di padang Karbala, menegaskan bahwa haji sejati adalah perjuangan melawan kezaliman hingga titik terakhir darah.
Haji bukanlah akhir, melainkan awal dari kesadaran. Ia adalah panggilan untuk hidup dalam keesaan, menolak penindasan, dan menegakkan keadilan. Seorang haji sejati pulang bukan hanya dengan gelar, tetapi dengan jiwa yang terbangun, siap menghidupkan nilai-nilai tauhid di setiap langkah kehidupannya.