
Dalam pandangan Imam Ali Khamenei, pertarungan antara Imam Ali al-Hadi dan para khalifah Abbasiyah pada masanya bukanlah sekadar konflik politik biasa. Ia adalah medan ujian besar antara kebenaran dan kekuasaan tiranik. Dalam pertarungan itu, sebagaimana ditegaskan Imam Khamenei, pihak yang menang—baik secara batin maupun lahir—adalah Imam Hadi as. Sebuah kemenangan yang tidak selalu tampak dalam bentuk tahta dan senjata, tetapi nyata dalam keberlangsungan risalah, kekokohan umat, dan kelanggengan ajaran Islam yang murni.
Masa imamah Imam Hadi as bertepatan dengan pergantian enam khalifah Abbasiyah yang silih berganti naik dan jatuh secara hina. Kekuasaan mereka berakhir dengan cara-cara yang memalukan: ada yang terbunuh oleh anaknya sendiri, ada yang dibunuh oleh keponakannya, dan sebagian lainnya runtuh oleh intrik internal. Khalifah terakhir, al-Mu‘tas, bahkan memerintahkan pembunuhan atas Imam Hadi as, namun ia sendiri tidak lama kemudian binasa. Sejarah mencatat ironi ini dengan jelas: para penguasa zalim lenyap tanpa kehormatan, sementara garis perjuangan Ahlulbait as justru semakin mengakar.
Berbeda dengan para khalifah yang memerintah dengan ketakutan dan pedang, komunitas Syiah pada masa Imam Hadi a.s. dan putranya, Imam Hasan al-Askari, justru tumbuh dan menguat. Penindasan tidak memadamkan mereka; sebaliknya, ia menempa jaringan yang rapi, kesadaran kolektif yang matang, dan keteguhan ideologis yang menembus batas wilayah.
Imam Hadi as hidup selama 42 tahun. Dari rentang itu, sekitar 20 tahun beliau habiskan di Samarra, sebuah kota yang pada masa itu berfungsi layaknya barak militer raksasa. Kota ini dibangun oleh khalifah Abbasiyah untuk menampung pasukan budak Turki yang direkrut dari kawasan Asia Tengah—Turkistan, Samarkand, hingga wilayah timur Asia. Mereka adalah para mualaf baru yang belum memahami Islam secara mendalam, apalagi mengenal kedudukan Imam-imam Ahlulbait as. Akibatnya, mereka kerap berbuat kasar dan memicu konflik dengan masyarakat Arab, khususnya penduduk Baghdad.
Di tengah atmosfer militeristik dan pengawasan ketat itulah Imam Hadi as menjalani hidupnya. Secara lahiriah, beliau tampak seperti sosok yang dipinggirkan: diawasi, dibatasi geraknya, dan diancam oleh pedang kekuasaan. Namun di balik itu, Imam Hadi as memimpin sebuah gerakan senyap yang sangat efektif. Melalui surat-menyurat, wakil-wakil kepercayaan, dan pembinaan tokoh-tokoh Syiah, beliau menyampaikan pesan imamah ke seluruh penjuru dunia Islam.
Di Samarra, banyak figur Syiah berkumpul dan berinteraksi dengan Imam Hadi as. Dari titik inilah terbentuk jaringan yang kemudian berkembang di Qom, Khurasan, Ray, Madinah, Yaman, wilayah-wilayah terpencil, dan berbagai kota lain. Jaringan ini bukan sekadar komunitas keagamaan; ia adalah sistem sosial-intelektual yang menjaga ajaran Ahlulbait as. tetap hidup di bawah tekanan negara. Dari hari ke hari, Syiah Islam berkembang—perlahan, tetapi pasti.
Semua ini dilakukan Imam Hadi as di bawah ancaman enam khalifah yang terkenal kejam dan haus darah. Beliau bergerak berlawanan dengan kehendak mereka, tanpa mengangkat senjata, namun dengan strategi iman, kesabaran, dan keteguhan prinsip. Sebuah riwayat terkenal tentang wafatnya Imam Hadi as menyebutkan bahwa lautan pelayat Syiah memenuhi Samarra. Ironisnya, para khalifah tidak mengenal mereka. Jika jaringan itu teridentifikasi, niscaya mereka akan dibantai. Namun kekuatan Syiah terletak pada kerapian dan kedalaman jaringan—sebuah ketahanan yang tidak dapat ditembus oleh aparatus kekuasaan.
Imam Khamenei menegaskan bahwa satu hari dari kehidupan para Imam as memiliki pengaruh yang setara dengan kerja bertahun-tahun sekelompok manusia biasa. Satu langkah mereka mampu membentuk kesadaran masyarakat dalam jangka panjang. Para Imam as adalah penjaga agama. Tanpa mereka, Islam yang berada di bawah kendali penguasa seperti al-Mutawakkil, al-Mu‘tas, al-Mu‘tasim, dan al-Ma’mun—serta ulama istana yang korup seperti Yahya bin Aktsam—niscaya akan hancur. Meski para ulama tersebut memiliki pengetahuan, mereka menyimpang secara moral dan ideologis.
Bukan hanya Islam yang diselamatkan oleh perjuangan para Imam as, tetapi juga Al-Qur’an, ajaran Islam, dan fondasi-fondasi agama. Kesucian teks, keutuhan hadis Nabi saw, serta kelestarian kewajiban-kewajiban syariat hingga hari ini bukanlah hasil proses alamiah semata. Semua itu merupakan buah dari perjuangan sadar, pengorbanan, dan—sebagaimana ditegaskan Imam Khamenei—pertolongan Ilahi. Di jalan ini, pemukulan, pemenjaraan, bahkan pembunuhan adalah risiko yang dianggap kecil oleh para Imam as demi keselamatan agama.
Seandainya Islam tidak memiliki para penjaga yang siap berkorban, ia tidak akan bangkit kembali setelah 1.200 atau 1.300 tahun, sebagaimana terlihat dalam gelombang Kebangkitan Islam. Sejarah pasca wafat Rasulullah saw menunjukkan bahwa tanpa sosok-sosok suci yang menanamkan ajaran Islam ke dalam hati umat sepanjang zaman, Islam akan tergerus perlahan. Ia mungkin bertahan secara nama, tetapi kosong secara makna—seperti yang terjadi pada agama-agama lain yang kehilangan substansi ajarannya.
Fakta bahwa Al-Qur’an tetap otentik, hadis-hadis Nabi saw terpelihara, dan ajaran Islam masih mampu menampilkan dirinya setelah ribuan tahun adalah bukti nyata adanya perjuangan luar biasa. Ini bukan kebetulan sejarah. Ini adalah hasil kerja para wali Allah yang setia, dengan pertolongan kekuatan Ilahi.
Selama 250 tahun masa imamah—dari wafat Rasulullah saw hingga syahadah Imam Hasan al-Askari—para Imam Ahlulbait as menanggung penderitaan yang luar biasa. Mereka dizalimi, dipenjara, diracun, dan dibunuh. Kesedihan atas mereka adalah wajar; tangisan atas kezaliman itu menghidupkan hati dan mengikat jiwa umat dengan para Imamnya. Namun pesan utama sejarah ini bukan sekadar duka. Pesannya adalah kemenangan.
Meskipun tertindas, para Imam as menang—di zamannya dan sepanjang sejarah. Kemenangan itu terletak pada keberlangsungan kebenaran, ketahanan umat, dan hidupnya Islam hingga hari ini. Inilah pelajaran besar dari kehidupan Imam Hadi as: bahwa kemenangan sejati tidak selalu berdiri di singgasana kekuasaan, tetapi tumbuh dari kesabaran, keteguhan, dan kesetiaan total kepada Allah.
*Diterjemahkan dari website Khamenei.ir