Imam Ali bin Husain Zainal Abidin as, putra Imam Husain as, adalah satu-satunya lelaki dewasa dari keluarga Ahlul Bait yang selamat dari tragedi Karbala. Saat itu beliau tengah menderita sakit berat, sehingga tidak ikut berperang. Namun justru karena itulah, hikmah Ilahi memelihara beliau untuk melanjutkan estafet imamah dan menjaga warisan perjuangan sang ayah.
Bersama bibinya, Sayidah Zainab as, Imam Sajjad memainkan peran penting dalam fase pasca-Karbala — yakni menyampaikan pesan kebenaran, menggugah kesadaran umat, dan membongkar kebiadaban rezim Bani Umayyah di hadapan publik Kufah dan Syam.
Teguran Tajam Imam Sajjad di Hadapan Penduduk Kufah
Setelah tragedi 10 Muharam 61 H, para tawanan Ahlul Bait dibawa ke Kufah. Di sana, saat melihat penduduk menangis penuh sesal, Imam Sajjad berkata dengan tajam:
“Kalian menangisi kami? Maka siapa yang membunuh orang-orang tercinta kami?”
(Lihat: Al-Luhuf fi Qatla at-Tufuf, Ibn Thawus)
Beliau lalu menyampaikan khutbah yang mengguncang hati:
“Wahai manusia! Demi Allah, bukankah kalian yang menulis surat kepada ayahku, dan mengundangnya? Bukankah kalian berjanji menolongnya? Lalu kalian malah memeranginya dan menyerahkan kami kepada musuh. Celakalah kalian!”
(Bihar al-Anwar, jilid 45, hal. 112)
Tangisan rakyat Kufah pun pecah, namun penyesalan itu datang terlambat.
Ketegasan di Hadapan Ibnu Ziyad
Ketika para tawanan dihadapkan pada Ubaydullah bin Ziyad, gubernur zalim itu berkata sinis, “Bukankah Allah telah membunuh Ali bin Husain di Karbala?” Imam Sajjad menjawab:
“Aku memiliki saudara bernama Ali bin Husain yang dibunuh orang-orang.”
Ibnu Ziyad membantah, “Allah yang membunuhnya!” Maka Imam Sajjad menukiknya dengan firman Allah:
“Allah mewafatkan jiwa ketika ajalnya tiba.” (QS Az-Zumar: 42)
Geram, Ibnu Ziyad memerintahkan eksekusi. Namun Imam Sajjad dengan tenang menjawab:
“Apakah engkau mengancamku dengan kematian? Syahadah adalah kebiasaan kami, dan kemuliaan kami.”
(Al-Irshad, Syaikh al-Mufid, jilid 2, hal. 116)
Membongkar Dusta di Istana Yazid
Di Syam, saat mereka tiba di istana Yazid, Imam Sajjad menghadapi hinaan dari seorang lelaki tua. Imam pun menanyakan apakah ia pernah membaca Al-Qur’an, lalu membacakan:
“Katakanlah: aku tidak meminta upah apa pun darimu kecuali kecintaan kepada keluarga dekatku.” (QS Asy-Syura: 23)
Mendengar itu, lelaki tua itu tersadar dan menangis, seraya memohon ampun.
(Lihat: Bihar al-Anwar, jilid 45, hal. 133)
Di depan khalayak Syam, Imam Sajjad menyampaikan pidato yang menghantam jantung kekuasaan Yazid:
“Wahai manusia! Aku adalah putra Mekah dan Mina. Aku adalah putra Muhammad Musthafa saw… Aku adalah putra Fatimah az-Zahra as… Aku adalah putra orang yang dibunuh di Karbala…”
Yazid pun panik, dan menyuruh muadzin mengumandangkan adzan untuk memutus pidato. Namun saat terdengar:
“Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”,
Imam Sajjad menyentak:
“Wahai Yazid, Muhammad ini kakekku atau kakekmu? Jika kau bilang kakekmu, kau berdusta. Jika kau akui kakekku, maka mengapa kau bunuh keluarganya?”
(Al-Ihtijaj, Syaikh Thabarsi, jilid 2, hal. 307)
Menjaga Bara Asyura Sepanjang Hayat
Setelah kembali ke Madinah, Imam Sajjad as tidak henti-hentinya menangisi syahidnya ayahandanya. Diriwayatkan oleh Imam Shadiq as:
“Beliau menangis selama 40 tahun. Setiap kali diberi makanan atau minuman, beliau menangis dan berkata: ‘Putra Rasulullah dibunuh dalam keadaan lapar dan haus…’“
(Bihar al-Anwar, jilid 46, hal. 110)
Dikatakan pula, beliau hanya bisa menikmati makanan dengan air mata yang bercampur ke dalamnya.
Sebelum memasuki Madinah, Imam Sajjad as bahkan mengutus penyair untuk menyampaikan berita syahadah Imam Husain as kepada penduduk kota. Madinah pun bergemuruh dengan tangisan dan ratapan.
Penjaga Warisan Revolusi
Selama 34 tahun setelah Karbala, Imam Sajjad as terus menyebarkan pesan Asyura melalui doa-doanya yang mendalam, yang kemudian dibukukan dalam Ash-Sahifah As-Sajjadiyyah. Di balik rintih dan pujian dalam doa, tersimpan perlawanan sunyi terhadap kedzaliman dan pengingkaran sejarah oleh penguasa Bani Umayyah.
Imam Sajjad as adalah simbol perlawanan yang tak bersenjata tapi paling menusuk. Dengan akhlak, doa, dan ketegasan spiritualnya, beliau merawat bara revolusi Husaini agar tetap menyala, dari istana Yazid hingga seluruh zaman.
Dari Kufah hingga Syam, dari ratapan tawanan hingga kalimat-kalimat yang menggugah nurani, Imam Sajjad as berdiri sebagai penjaga memori Karbala. Di pundaknya tertumpu kelangsungan pesan Imam Husain as: bahwa kebenaran harus diperjuangkan, meski seluruh dunia menentangnya, meski darah harus mengalir.
Imam Sajjad as bukan hanya saksi sejarah—beliau adalah pewaris kebenaran, pemandu umat di tengah arus dusta, dan lentera yang menjaga jalan Asyura tetap terbuka bagi siapa pun yang mencari keadilan.
Referensi
- Bihar al-Anwar, Allamah Majlisi, jilid 45–46.
- Al-Irsyad, Syaikh al-Mufid.
- Al-Ihtijaj, Syaikh Thabarsi.
- Ash-Sahifah As-Sajjadiyyah, Imam Zainal Abidin as.
- Al-Luhuf fi Qatla at-Tufuf, Ibn Thawus.