Tragedi Karbala bukan sekadar peristiwa berdarah, tetapi awal dari guncangan spiritual, sosial, dan politik terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Dari reruntuhan duka, suara perlawanan Ahlulbait as mulai menggema. Salah satu suara yang paling kuat dan menggugah adalah khutbah Imam Ali Zainal Abidin as sekembalinya dari Syam ke Madinah.
Setelah tragedi Asyura, propaganda Yazid mulai disebarkan oleh tangan-tangan kekuasaan. Di Kufah, Ibnu Ziyad memanfaatkan mimbar sebagai alat pembenaran atas kejahatan yang dilakukan terhadap Imam Husain as dan keluarganya. Namun ketika ia mencaci Imam dan memuji Yazid di depan umum, seorang tokoh bernama Abdullah bin ‘Afif al-Azdi berdiri dan menyanggah keras: “Hai musuh Allah! Engkau dan ayahmu pendusta. Engkau telah membunuh anak-anak Nabi dan kini berdiri di atas mimbar seakan-akan bersih dari dosa?” (Tarikh al-Tabari, j. 4, h. 353).
Perlawanan itu berakhir tragis. Abdullah ditangkap pada malam harinya, lalu dieksekusi dan kepalanya disalibkan. Namun insiden ini adalah percikan awal dari bara perlawanan yang terus menjalar ke seluruh wilayah kekuasaan Islam kala itu (Ansab al-Asyraf, Baladzuri, j. 3, h. 123).
Hijaz Bergolak, Madinah Menyala
Di Mekkah, Abdullah bin Zubair memanfaatkan kemarahan umat pasca Karbala. Ia mengecam pengkhianatan penduduk Kufah terhadap Imam Husain, seraya memuji sang Imam sebagai pemimpin yang zuhud dan bertakwa. Dari Mekkah ia menyusun kekuatan dan menyerang legitimasi Yazid (Tarikh al-Kamil, Ibn al-Atsir, j. 3, h. 405).
Sementara itu di Madinah, suara yang lebih suci dan berwibawa menggelegar dari lisan Imam Ali Zainal Abidin as. Sebelum memasuki kota, beliau mengumpulkan warga dan menyampaikan khutbah yang memilukan hati:
“Kami memuji Allah atas musibah-musibah agung… Telah dibunuh Abu Abdillah al-Husain. Telah ditawan wanita-wanita dan anak-anaknya. Mereka telah mengelilingkan kepalanya di negeri-negeri di atas ujung-ujung tombak…” (Luhuf, Ibn Thawus, h. 132; al-Ihtijaj, al-Thabarsi, j. 2, h. 31).
Khutbah ini bukan sekadar ratapan duka. Ia adalah dakwaan spiritual dan sosial terhadap kekuasaan zalim yang menginjak-injak warisan Rasulullah saw. Imam mengajak penduduk Madinah untuk berpikir: jika langit, bumi, dan seluruh makhluk menangisi Husain, mungkinkah umat manusia tetap diam? (al-Irshad, al-Mufid, j. 2, h. 116).
“Sungguh telah menangis tujuh langit, lautan, dan para malaikat muqarrabin karena kematiannya…” (Bihar al-Anwar, j. 45, h. 113).
Imam Zainal Abidin as menyampaikan kritik yang tajam namun penuh kehormatan terhadap kekejaman yang menimpa Ahlulbait as. Dalam khutbahnya, beliau menyinggung bahwa seandainya Rasulullah saw hadir menyaksikan langsung tragedi Karbala, para pelaku kekejaman itu tetap tidak akan mengubah tindakan mereka. Sebab, apa yang mereka lakukan sudah melampaui batas kemanusiaan.
“Kalau seandainya Nabi saw hadir saat mereka memerangi kami, mereka tidak akan melakukan lebih dari apa yang telah mereka perbuat…” (al-Ihtijaj, al-Thabarsi, j. 2, h. 31).
Beliau juga menegaskan, Rasulullah saw tak pernah membenarkan kekerasan—bahkan terhadap seekor hewan sekalipun. Maka bagaimana mungkin perlakuan biadab terhadap keluarganya dapat dibenarkan? Seruan ini menghujam kesadaran penduduk Madinah dan membuka mata mereka terhadap kejahatan sistematis yang dijalankan oleh Bani Umayyah.
Madinah yang Tak Lagi Diam
Ketegangan di kota Madinah terus meningkat. Yazid mengganti gubernur lama, Walid bin ‘Utbah, dengan Utsman bin Muhammad bin Abi Sufyan. Utsman lalu mengirim delegasi Muhajirin dan Anshar ke Damaskus agar mereka menyaksikan langsung kebesaran Khalifah.
Namun yang mereka saksikan justru sebaliknya: Yazid sedang mabuk, dikelilingi musik dan anjing, jauh dari adab seorang pemimpin umat (Tarikh al-Kamil, j. 3, h. 406; Tarikh al-Ya’qubi, j. 2, h. 241).
Saat kembali ke Madinah, mereka menyampaikan kepada rakyat:
“Kami datang dari seorang yang tidak memiliki agama. Ia meminum khamar, bermain dengan anjing, dan dikelilingi para pemusik dan pelacur. Demi Allah, kami tidak mengakui kekhalifahannya!” (al-Bidayah wa al-Nihayah, Ibn Katsir, j. 8, h. 242).
Salah satu tokoh mereka, Abdullah bin Hanzhalah, berkata: “Kalau aku hanya berperang melawan mereka demi menyelamatkan anak-anakku sendiri, itu sudah cukup bagiku!” (Tarikh al-Kamil, j. 3, h. 407).
Akhirnya, penduduk Madinah menarik baiat mereka dari Yazid dan membaiat Abdullah bin Hanzhalah. Revolusi Madinah pun dimulai, yang kemudian dikenal dengan tragedi Harrah.
Imam Zainal Abidin: Jalan Sunyi Penuh Makna
Meski Imam Zainal Abidin tidak memimpin perlawanan bersenjata, peran beliau justru lebih mendalam: menanamkan benih kesadaran dan kejujuran sejarah. Beliau menunjukkan bahwa penderitaan Ahlulbait bukanlah aib, tapi kemuliaan.
Melalui khutbah dan doa, Imam menampakkan kebenaran secara telanjang: bahwa keluarga Nabi saw diperlakukan lebih hina dari tawanan biasa, digiring dari Kufah ke Syam, tanpa alasan selain mereka membawa kebenaran.
“Kami diusir dan dihancurkan tempat tinggal kami, seakan-akan kami adalah anak-anak Turki dan Kabil. Padahal tidak ada kejahatan yang kami lakukan…” (Luhuf, h. 134).
Beliau juga mengingatkan bahwa Nabi saw tidak pernah meminta upah atas dakwahnya kecuali kecintaan kepada keluarganya:
“Aku tidak meminta kepadamu upah kecuali kasih sayang terhadap al-qurba” (QS. Asy-Syura: 23). Dan Ahlulbait adalah orang-orang yang dimaksudkan dalam ayat ini (Tafsir al-Tha’labi, j. 8, h. 310).
Khutbah Imam Ali Zainal Abidin as di Madinah menjadi nyala perlawanan spiritual terhadap kezaliman tirani. Meski beliau tidak mengangkat pedang, kekuatan moral dan intelektualnya telah menjatuhkan topeng Bani Umayyah. Kata-kata beliau melintasi zaman, membangkitkan kesadaran umat, dan menegaskan bahwa Ahlulbait adalah pusat kebenaran yang tak akan pernah dipadamkan sejarah.
Imam Zainal Abidin as adalah penegak keadilan dalam bentuk paling halus dan paling kuat. Suaranya di Madinah adalah gema dari Karbala, yang akan terus menggema hingga akhir zaman.
*Dielaborasi dari buku Biografi Imam Ali Zainal Abidin – Tim Al-Huda