Dalam sejarah panjang perjuangan Ahlul Bait, Imam Muhammad al-Baqir as menempati posisi penting sebagai pengawal risalah, penjaga makna, dan penghidup kembali ruh Islam yang sejati. Memperingati hari kesyahidan beliau bukan sekadar menoleh pada lembar sejarah masa lalu, melainkan menghidupkan kembali semangat perlawanan terhadap distorsi Islam, sebagaimana ditegaskan oleh Ayatullah Khamenei:
“Menghormati Imam Baqir as berarti menghormati kebangkitan kembali gerakan luhur Islam dalam menghadapi upaya-upaya penyesatan terhadap Islam.”
Imam Baqir hidup di masa ketika Islam telah dicengkeram oleh kekuasaan yang hanya menyisakan bentuk lahiriahnya. Kalimat tauhid diperdagangkan di mimbar, sedangkan keadilan dan kebenaran—inti dari ajaran Islam—telah dilenyapkan. Pada saat itulah, Imam Baqir as berdiri di tengah umat, mengoreksi makna, menjernihkan pemahaman, dan menghidupkan Islam yang hakiki.
Dalam pertemuan di Mina, beliau mengumpulkan manusia dan berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah adalah Imam.”
Dengan pernyataan itu, beliau menegaskan bahwa keimaman bukanlah gelar duniawi, tetapi kelanjutan dari kenabian dalam membimbing umat, dengan syarat-syarat ilahiah yang tidak bisa direkayasa oleh tangan kekuasaan.
Ayatullah Khamenei menjelaskan bahwa para nabi dan para Imam adalah manusia pilihan yang:
“…berbuat baik, menjaga shalat—yang menjadi rahasia hubungan manusia dengan Tuhan—dan hanya menyembah Allah. Mereka adalah hamba-hamba Allah, sebagaimana seluruh manusia lainnya, dan kedudukan duniawi mereka tidak sedikit pun mengurangi penghambaan mereka.”
Ketakutan Penguasa terhadap Kelayakan Sejati
Para penguasa saat itu menyebut diri mereka Imam, namun dalam diri mereka tidak terdapat satu pun syarat keimaman. Justru, kata Ayatullah Khamenei,
“Orang yang menjadi penguasa dan mengaku sebagai Imam, menyadari bahwa seluruh kriteria keimaman terdapat dalam diri Imam Baqir as, bukan pada dirinya. Oleh karena itu, ia menganggap Imam Baqir sebagai ancaman bagi kekuasaannya.”
Penguasa yang zalim bukan hanya takut pada pengaruh politik, tetapi takut pada legitimasi spiritual dan moral yang melekat pada pribadi Imam Baqir as. Maka mereka pun menghalangi, memata-matai, dan akhirnya membunuh beliau. Namun yang tidak mereka pahami: ajaran Imam tidak bisa dibunuh.
Imam Baqir as bukan sekadar seorang alim, beliau adalah pendiri sekolah pemikiran, pembangun jaringan keilmuan dan akidah yang tersebar dari Madinah hingga Kufah dan Khurasan. Dari majelis beliau, lahir para perawi, faqih, mufassir, dan pejuang yang menjadi tulang punggung tegaknya mazhab Ahlul Bait hingga hari ini.
Ayatullah Khamenei menyatakan:
“Dalam perjuangan ini, ajaran, fikih, akhlak, dan nilai-nilai yang dipromosikan oleh para Imam memainkan peran besar. Jumlah murid bertambah, komunikasi antarsyiah meluas setiap hari. Syiah diselamatkan oleh tokoh-tokoh agung seperti beliau. Bayangkan: sebuah mazhab yang selama 250 tahun ingin dihancurkan oleh para penguasa—seharusnya tidak menyisakan apa pun. Namun kini kita menyaksikan Syiah menempati posisi tinggi dan menyebar di dunia.”
Imam yang Menanamkan Jiwa Perlawanan dan Kerja Keras
Imam Baqir as bukan seorang teoritisi yang menara gading. Beliau terjun langsung dalam perjuangan. Ayatullah Khamenei menggambarkan beliau sebagai:
“Teladan sempurna dalam kesungguhan dan kerja keras menghadapi berbagai kesulitan demi menyebarkan agama, menyuarakan kebenaran, dan membangkitkan pemikiran lurus pada zamannya.”
Bahkan, misi yang diperjuangkan oleh bangsa Iran hari ini—yakni menghidupkan kembali kalimat kebenaran dalam dunia materialistik dan rusak—adalah lanjutan dari misi Imam Baqir as, yang dahulu beliau perjuangkan sendirian, dengan hanya segelintir sahabat, melawan sistem global yang menyimpang.
Jalan yang dilalui para Imam adalah jalan panjang, berbatu, dan penuh pengorbanan. Imam Baqir as tidak sendiri. Setelahnya, Imam Shadiq, Imam Hadi, dan Imam Askari as mengikuti jejak yang sama. Mereka juga menghadapi kekuasaan, dipenjara, bahkan dibunuh. Tapi yang tidak pernah mereka tinggalkan adalah tujuan yang tetap dan jalan yang lurus.
Ayatullah Khamenei menyebut dengan indah:
“Jalan mereka terus mengarah pada satu tujuan. Terkadang ada orang yang kembali, ada yang mengambil jalan lain; namun tujuan itu tidak pernah berubah.”
Warisan Abadi: Mazhab yang Hidup, Perlawanan yang Terus Menyala
Hari ini, ketika kita memperingati kesyahidan Imam Baqir as, kita tidak sedang berkabung untuk sosok masa lalu, tetapi sedang menyambung energi ruhani dari seorang Imam pejuang yang mengajarkan bahwa ilmu dan akidah adalah senjata paling tajam dalam menghadapi kezaliman dan kebodohan.
Kita adalah penerus warisan beliau. Maka pertanyaannya:
- Sudahkah kita berjuang untuk kebenaran sebagaimana beliau?
- Apakah kita menjaga kemurnian Islam atau malah membiarkannya tercemar oleh hawa nafsu dan kompromi?
- Apakah kita mendidik generasi, membangun kesadaran, dan melawan penyelewengan dalam masyarakat sebagaimana beliau melakukannya?
Kita tidak diminta menjadi seperti Imam Baqir as, tapi kita diminta untuk menjadi lentera-lentera kecil yang membawa cahayanya dalam kegelapan zaman ini.
Salam atasmu, wahai Imam pembelah ilmu dan penegak hak.
Salam atas kesyahidanmu, yang justru menghidupkan umat pencinta kebenaran.
Sumber: Khamenei.ir