Dalam perjalanan panjang sejarah Islam, peristiwa Ghadir Khum berdiri sebagai tonggak penting dalam menyampaikan pesan ilahi tentang kepemimpinan umat. Bukan sekadar momen historis, Ghadir adalah deklarasi nilai, prinsip, dan panduan pemerintahan dalam Islam—sebuah cetak biru bagi masyarakat yang merindukan keadilan, kesucian, dan persatuan.
Pemimpin Besar Revolusi Islam, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, dalam berbagai kesempatan selalu menekankan bahwa Ghadir harus dibaca bukan semata sebagai kenangan masa lalu, melainkan sebagai sistem yang hidup dan relevan. Menurut beliau, inti dari peristiwa Ghadir adalah penunjukan pemimpin oleh wahyu, bukan oleh suara mayoritas atau kekuatan pedang. Inilah titik temu antara agama dan politik yang tak terpisahkan dalam ajaran Islam.
“Penunjukan Imam Ali as oleh Rasulullah saw adalah pelajaran besar tentang pentingnya urusan pemerintahan dan persatuan antara agama dan politik,” ujar beliau. Islam, sebagaimana ditunjukkan oleh Rasulullah saw, tidak memisahkan antara ruh dan sistem. Kepemimpinan dalam Islam harus berdasarkan kesalehan, keberanian, ilmu, dan cinta kepada Allah—semua kualitas itu menjelma dalam diri Imam Ali bin Abi Thalib as.
Imam Ali as: Cermin Pemimpin Ideal
Dalam pandangan Ayatullah Khamenei, Imam Ali as bukan hanya tokoh sejarah, tetapi juga cermin pemimpin ideal yang dibutuhkan dunia modern. Beliau dikenal karena pengorbanannya, kejujurannya, keteguhannya melawan kebatilan, dan kerendahan hatinya di hadapan kaum miskin. Cinta kepada Allah adalah sumber kekuatan beliau, dan keberpihakan kepada kebenaran adalah napas dari seluruh perjuangannya.
Ayatullah Khamenei meyakini bahwa masyarakat manusia saat ini sedang mengalami kemiskinan besar—bukan kekurangan sumber daya, tetapi kekurangan sosok pemimpin yang agung dan lurus. Sosok seperti inilah yang diperkenalkan Islam dalam peristiwa Ghadir. Sebuah model kepemimpinan yang tak bergantung pada kekuasaan duniawi, tapi berakar pada spiritualitas dan tanggung jawab moral.
Ghadir Bukan Pemecah, Tapi Penyatu
Salah satu pesan penting dari Ayatullah Khamenei adalah bahwa keyakinan Syiah terhadap Imamah Imam Ali as bukanlah pangkal perpecahan, melainkan sumber cahaya yang bisa menerangi seluruh umat. Meskipun terdapat perbedaan pandangan antara Sunni dan Syiah terkait makna Ghadir, beliau menegaskan bahwa kedua mazhab mengakui keagungan pribadi Imam Ali as.
“Semua umat Islam menghormati Ali sebagai simbol ilmu, keberanian, dan ketakwaan,” tegas beliau.
Karena itu, beliau menyerukan agar perbedaan tidak dijadikan alasan untuk permusuhan. Sebaliknya, perbedaan dapat didekati dengan semangat saling mengenal dan saling menghormati. Keyakinan Syiah atas imamah bukan alasan untuk menjauh dari umat Islam lainnya, tetapi harus menjadi dasar bagi penguatan dialog dan kerja sama umat.
“Keyakinan terhadap Imamah Imam Ali as adalah pilar mazhab Syiah. Namun, keyakinan itu tidak boleh menjadi alat untuk menyulut konflik antarmazhab. Kita harus menjaga ajaran ini dengan hikmah dan keadaban,” kata beliau.
Menghindari Fitnah dan Menjaga Wibawa Mazhab
Dalam dunia yang dipenuhi propaganda dan hasutan, Ayatullah Khamenei memperingatkan bahwa musuh-musuh Islam telah lama menjadikan isu-isu mazhab sebagai senjata untuk memecah belah umat. Mereka mendanai penerbitan buku-buku yang menebar kebencian, baik terhadap Syiah maupun Sunni, dengan tujuan membakar permusuhan di antara sesama Muslim.
“Tidak ada Syiah yang akan menjadi Sunni karena buku-buku kebencian, dan tidak ada Sunni yang akan menjadi Syiah karena cercaan,” ujar beliau.
Ayatullah Khamenei menekankan bahwa jika seseorang hendak membela Syiah, maka lakukanlah dengan ilmu dan akhlak. Menyampaikan kebenaran dengan cara merendahkan mazhab lain bukanlah bentuk pembelaan terhadap wilayah (kepemimpinan ilahi), melainkan pembelaan terhadap agenda musuh Islam.
“Siapa pun yang mengira sedang membela Syiah dengan mencela saudara Sunninya, sejatinya ia sedang melayani kepentingan Amerika dan Zionis,” tegas beliau.
Ghadir Sebagai Proyek Peradaban
Lebih dari sekadar hari raya, Ghadir adalah deklarasi peradaban. Ia membawa pesan bahwa pemerintahan yang sah adalah pemerintahan yang bertumpu pada kebenaran, bukan pada mayoritas atau kepentingan elite. Dalam dunia yang haus akan keadilan dan nilai, pesan Ghadir menawarkan alternatif yang agung dan menyeluruh.
Pesan ini, dalam pandangan Ayatullah Khamenei, bukan hanya untuk umat Islam, tapi untuk seluruh umat manusia yang merindukan sistem pemerintahan yang menjunjung kebenaran, keadilan, dan kemuliaan ruh manusia. Ghadir adalah milik masa depan.
Di tengah riuh dunia yang kerap kehilangan arah, pesan Ghadir hadir sebagai mercusuar. Ia bukan sekadar peristiwa yang dikenang, melainkan misi yang harus dihidupkan. Dengan meneladani kepemimpinan Imam Ali as, dan menjaga semangat persatuan umat, umat Islam dapat menjadi pelopor peradaban baru yang agung dan bermartabat.
Sumber: Leader.ir