Karbala bukan sekadar catatan sejarah; ia adalah denyut nadi Islam yang terus bergaung dalam setiap zaman. Imam Khomeini, pendiri Republik Islam Iran, pernah menegaskan bahwa bulan Muharram dan Safar telah menjaga Islam tetap hidup. Bagi beliau, Asyura bukan hanya rangkaian tragedi, melainkan revolusi spiritual yang senantiasa mengobarkan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan.
Muharram, sebagaimana dijelaskan Imam Khomeini, adalah saat keadilan bangkit melawan kezaliman, saat kebenaran menantang kebatilan—menunjukkan bahwa dalam sejarah, kebenaran selalu memenangi pertempuran meskipun awalnya lemah. Semangat ini menjadi sumber inspirasi perpaduan ritual dan revolusi, yang beliau dorong untuk disebarkan melalui mimbar-mimbar Rasulullah saw yang dihidupkan kembali selama bulan Muharram dan Safar.
Dalam konteks revolusi yang tengah bergemuruh, Imam Khomeini dengan tegas menolak legitimasi Rezim Pahlavi, sama seperti Imam Husain menolak baiat kepada Yazid. Saat di pengasingan, beliau mendorong para ulama dan mubaligh menggunakan momentum Muharram untuk membongkar wajah tirani Shah Mohammad Reza Pahlavi—menjadikan mimbar sebagai saluran kritik dan perlawanan. Ia melihat bahwa kisah Karbala adalah sarana yang sah dan kuat untuk membangun kesadaran politik umat.
Bagi Imam Khomeini, apa yang dilakukan Imam Husain bukanlah bentuk keputusasaan, tetapi strategi spiritual. Seorang pemimpin sejati, menurutnya, tak hanya berpikir tentang kemenangan jangka pendek. Imam Husain tahu bahwa perlawanan simbolik di Karbala akan memiliki gaung yang lebih panjang dari sekadar keberhasilan politik sesaat. Dan inilah yang mengilhami model perlawanan yang Imam Khomeini bangun di Iran.
Asyura menjadi titik tolak gerakan perlawanan di abad 20. Pidato Imam Khomeini pada tanggal 5 Juni 1963, yang bertepatan dengan hari Asyura, menjadi percikan awal dari kobaran api revolusi. Dalam pidato itu, ia mengecam keras tindakan Shah dan menyatakan bahwa siapa pun yang mendukungnya berada di sisi Yazid zaman ini. Pidato itu menyulut demonstrasi besar-besaran dan membuka babak baru perjuangan Islam di Iran.
Delapan belas tahun kemudian, pada tahun 1978, jutaan rakyat Iran turun ke jalan pada hari Tasua dan Asyura. Mereka meneriakkan nama al-Husain, namun sasarannya adalah Shah. Teriakan itu bukan semata nostalgia, melainkan manifestasi konkret dari semangat Husaini di zaman modern. Tindakan mereka mengguncang fondasi rezim yang telah berkuasa selama 2.500 tahun. Dan pada 10 Februari 1979, Imam Khomeini mengeluarkan seruan yang menentukan: rakyat diminta untuk melawan jam malam dan turun ke jalan. Peristiwa ini menjadi klimaks dari revolusi dan memaksa Shah turun dari kekuasaan.
Imam Khomeini bahkan menegaskan, “Kita semua harus sadar bahwa revolusi ini tidak akan pernah berhasil tanpa kebangkitan Sayyid Syuhada, Imam Husain. Revolusi Islam ini adalah cahaya dari Asyura, dan kelanjutan dari revolusi Ilahi beliau.” Pernyataan ini menjadi dasar ideologis bahwa gerakan revolusi bukan hanya dipicu oleh faktor sosial dan ekonomi, tetapi memiliki akar spiritual yang dalam.
Revolusi Imam Husain adalah revolusi tauhid. Ali Syariati menyebutnya sebagai kelanjutan risalah para nabi: dimulai dari Ibrahim, disempurnakan oleh Nabi Muhammad saw, dan diperjuangkan kembali oleh Imam Husain as hingga akan disempurnakan oleh Imam Mahdi. Dalam kerangka ini, Karbala menjadi bukan hanya tempat geografis, tetapi ruang spiritual perlawanan yang bisa hadir di mana pun ada kezaliman.
Imam Husain tahu, diam di hadapan kekuasaan batil adalah bentuk pengkhianatan terhadap risalah kakeknya. Ia menolak tunduk kepada Yazid bukan karena ingin mencari mati, melainkan karena ingin menyelamatkan Islam dari penyelewengan. Ia tahu, dengan mati, ia hidup. Dengan syahid, ia menyelamatkan agama. Konsep inilah yang membentuk fondasi pemikiran revolusioner Imam Khomeini.
Masyarakat seringkali terbawa pada pemahaman ritualistik terhadap Asyura. Namun Imam Khomeini menekankan bahwa mengenang Asyura harus dibarengi dengan semangat perubahan dan perlawanan. Beliau menjadikan majelis duka bukan semata tempat menangis, melainkan ruang pengkaderan ruhani umat. Setiap tetes air mata atas Imam Husain adalah deklarasi untuk melawan ketidakadilan.
Antoine Bara, seorang sejarawan Kristen Arab, menyebut bahwa Imam Husain adalah “pelita spiritual yang menerangi seluruh agama hingga akhir zaman,” karena nilai-nilai perjuangannya bersifat universal: keadilan, pengorbanan, dan kebebasan. Maka tak heran jika gerakan beliau menginspirasi banyak tokoh dunia, termasuk Mahatma Gandhi yang menyatakan bahwa Islam dapat hidup kembali melalui semangat Husain.
Al-Qur’an pun memperkuat narasi itu:
“Janganlah kalian mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati; mereka sesungguhnya hidup di sisi Tuhan mereka.” (QS. Ali Imran: 169)
Dengan ayat ini, kita memahami bahwa kesyahidan al-Husain bukanlah akhir. Ia justru menjadi awal dari kehidupan abadi di hati orang-orang merdeka. Setiap tetes darahnya adalah benih revolusi yang akan tumbuh dalam berbagai bentuk perlawanan di seluruh penjuru dunia.
Imam Khomeini berhasil membuktikan bahwa semangat Karbala bukanlah romantisme sejarah, melainkan strategi pembebasan. Ia menjadikan Asyura sebagai jantung ideologi revolusi Islam. Dan selama dunia masih menyaksikan tirani, selama agama masih disalahgunakan oleh penguasa untuk menindas rakyat, maka suara al-Husain akan tetap menggema.
Setiap hari adalah Asyura. Setiap tanah adalah Karbala.
Kullu yaumin Asyura, kullu ardhin Karbala.
Sumber:
- Imam Khomeini, “The holy months of Muharram and Safar have kept Islam alive”, diakses dari https://en.imam-khomeini.ir/en/n43087/
- Sahifeh-ye Imam, Volume 8, Halaman 12. Dikutip dari arsip Imam Khomeini, https://staticsml.imam-khomeini.ir.
- The Husayn Revolution: An Everlasting Inspiration, diakses dari tvshia.com