Kalimat “agama politik barangkali dapat dikaji melalui istilah-istilah logis berikut ini:
1-Ia merupakan kata kompositif (murakkab), yang terdiri dari dua bagian; agama dan politik. Tiap bagian memiliki arti yang beda dengan arti bagian lainnya dan dengan arti keseluruhan. Walau demikian, untuk mengetahui arti keseluruhan memerlukan pengetahuan arti tiap-tiap bagiannya. Kemudian kalimat atau kata kompotitif terbagi pada: kalimat yang sempurna dan kalimat yang tak sempurna. Lalu, kita bertanya, Kalimat agama politik termasuk yang manakah di antara dua macam kalimat itu?
Jika termasuk kalimat yang sempurna, seperti Muhammad Nabi, maka ia merupakan proposisi bahwa agama adalah politik, sebagaimana dikatakan dalam hadis bahwa: agama adalah politik, dan sebaliknya. Yakni, keduanya tak terpisahkan satu sama lain.
Jika termasuk kalimat yang tak sempurna, seperti kalimat Nabi Muhammad, bahwa kalimat ini tidak membentuk sebuah proposisi. Walau begitu, ketika seseorang mengucapkan kalimat ini berarti ia telah menerima atau mengakui kenabian Muhammad (saw). Demikian halnya dengan kalimat, politik agama. Ini yang pertama.
Yang kedua, maksud dari agama politik di sini, bukanlah politik sebagai sebuah nama agama atau sebaliknya, melainkan politik adalah bagian dari agama.
2-Jika kita merujuk pada relasi logis, antara agama dan politik sebagaimana hadis tersebut- merupakan relasi umum-khusus mutlak. Dalam bentuk proposisi kita katakan bahwa, sebagian agama adalah politik (agama lebih umum dari politik), dan semua politik adalah agama (politik lebih khusus dari agama). Dari sini terlintas di benak, bahwa orang yang tak beragama atau tak percaya agama- tetapi berpolitik, sesungguhnya disadari atau tidak- ia menerima bagian dari agama, yaitu politik.
Di sana terdapat satu soal, bagaimana dengan orang yang beragama tetapi menolak politik? Pada umumnya, ia memandang politik dengan pandangan negatif setelah melihat apa-apa yang telah diperbuat oleh para politikus dan penguasa lalim. Sehingga orang-orang yang berpolitik dianggapnya sebagai pendusta, lalim dan penipu.
3-Di dalam pembahasan signifikansi, agama terhadap politik merupakan signifikansi muthabaqiyah; ialah kata yang menunjukkan keseluruhan maknanya. Seperti rumah mencakup seluruh bagian-bagiannya; dinding, pintu, atap dan lain-lain. Demikian halnya agama yang mencakup bagian-bagiannya, salah satunya ialah politik.
Pengertian Agama Politik
Telah disampaikan di atas bahwa untuk mengetahui makna kalimat ini (agama politik) memerlukan pengetahuan arti bagian-bagiannya. Bahwa, agama adalah percaya Tuhan dan hukum dari-Nya bagi umat manusia. Sedangkan politik (dari penjelasan Ayatullah Khamenei) adalah manajemen kehidupan individual dan sosial manusia demi mencapai tujuan yang tinggi, material maupun spiritual.
Agama yang terdiri dari dua bagian: dasar-dasar (perkara-perkara keyakinan) dan cabang-cabangnya (perkara-perkara pengamalan) termasuk di dalamnya adalah politik, hubungan antara agama dan politik adalah hubungan sebagai dasar dan cabang. Jika dikatakan bahwa politik adalah suatu kebijakan dari seseorang atau satu kelompok atau seorang pemimpin, maka agama politik ialah bahwa agama mempunyai kebijakan-kebijakan terkait mengatur kehidupan individu dan masyarakat.
Di dalam sejarah kita dapati bahwa Rasulullah saw melakukan hijrah, mengadakan Suluh Hudaibiyah, memerangi musuh-musuhnya, membangun pemerintahan dan lain sebagainya, semua ini adalah kebijakan-kebijakan atau politik beliau saw di dalam dakwahnya, menyerukan Islam kepada mereka.
Islam tanpa Politik?
Ayatullah Sayed Ali Khameneni di dalam kumpulan ceramahnya al-Islam al-Muhammadi, mengatakan: Disana terdapat dua pemikiran yang kontradiktif bagi Islam; yang pertama membatasi Islam dengan amal ibadah saja, atau dengan sekumpulan amalan personal dan terangkat darinya sisi terpenting bagi kehidupan ini. Terlepas (kehidupan seseorang) dari politik, ekonomi dan hubungan-hubungan sosial serta amal perbuatan yang penting; dan mengurung dirinya dalam ruang lingkup keluarga dan hubungan kekeluargaan. Hal ini -bahkan pada dasarnya- bukanlah Islam yang diantarkan oleh dunia kini baginya.
Di jalan pengamalan Islam, ia harus mengetahui sisi-sisi kehidupan, bahwa baginya tak hanya berurusan dengan hati saja seperti menundukkan keinginannya. Tugasnya tak sebatas pada pelaksanaan urusan-urusan individual dan perannya di dalam perkara-perkara kecil semata. Perhatian (atau pemikiran)nya yang semacam ini keliru.
Sebagian orang berfikir bahwa ia berusaha untuk menjadi seorang muslim, tetapi tanpa pengamalan hukum Islam. Hal ini berarti memisahkan agama dari politik. Seakan mengatakan, Jadilah muslim!, tapi sekedar nama -karena- pada saat yang sama mengatakan, Jangan mengamalkan hukum Islam yang antara lain darinya ialah sistem finansial, sistem ekonomi, bagian-bagian pemerintahan dan hubungan-hubungan individual dan sosial!
Semua itu berperan sejalan dengan undang-undang non Islam. Bahkan bertentangan dengan Islam di wilayah-wilayah yang diperintah oleh hukum, dan sejalan dengan kemauan orang bodoh di wilayah-wilayah yang tak diperintah oleh hukum seperti negara-negara keislaman kini.
Bagaimana orang-orang Islam bisa berfikir, mereka memahami dari Islam sebatas shalat, puasa, kesucian dan kenajisan saja! Dan urusan-urusan penting Islam seperti menajemen undang-undang kehidupan, perkara-perkara ekonomi, hubungan-hubungan kultural, sosial, edukatif dan pendidikan, semuanya (bagi mereka) tidaklah islami! Bahkan semua itu (dipandang) berasal dari undang-undang non Islami, atau dari kemauan-kemauan personal dan tidak Islami!?”