Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara sempurna, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata.” (QS. Al-Baqarah: 208).
Berkaitan dengan kajian ayat tersebut, terdapat pertanyaan sebagai berikut: Apa yang dimaksud dengan kata as-silm (سلام) dalam ayat yang mulia itu? Ketika kita ingin menyampaikan pandangan analitis atas kata ini, maka kita harus menyebut beberapa kemungkinan yang terkandung di dalamnya.
As-salam (perdamaian) adalah lawan (antonim) dari al-harb (perang). As-salam juga berarti al-Islam sebagai akidah, yaitu keimanan kepada Allah SWT. Selain itu, as-salam memiliki makna ketiga, yaitu al-istislam (penyerahan) secara mutlak atau sempurna kepada Allah SWT dan ketundukan sempurna dalam segala urusan kehidupan.
Di antara berbagai kemungkinan tersebut, yang paling mendekati pembahasan kita adalah kemungkinan yang ketiga. Kemungkinan pertama tidak tepat karena masih bisa dikritik. Dari sisi bahasa, kata as-silm tidak berarti as-salam (سلام). Di samping itu, terkadang as-salam (perdamaian) diucapkan dalam bentuk kiasan atau majaz, karena as-salam juga berarti istislam (penyerahan), ridha, dan penerimaan.
Lagi pula, Islam memiliki realitas yang berbeda-beda terkait hukum syariat, sesuai dengan perbedaan kondisi yang dialami Islam dalam jihadnya untuk mendirikan eksistensinya. Dalam sebagian keadaan, perdamaian atau as-salam diisyaratkan oleh Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah:
“Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh mereka).” (QS. An-Nisa: 90).
Namun, dalam keadaan lain, Islam justru mengharamkan perdamaian, sebagaimana firman Allah:
“Janganlah kamu lemah dan meminta damai padahal kamulah yang di atas.” (QS. Muhammad: 35).
Perdamaian (as-salam) dalam hal ini, sebagaimana semua realitas lain, bergantung pada pandangan Islam terhadap konteksnya. Jika seperti ini gambaran yang ada, maka tidak harus ada perintah tegas untuk masuk dalam perdamaian tanpa syarat atau kondisi tertentu yang sesuai.
Kemungkinan kedua juga tidak lepas dari kritikan. Ketika kita memperhatikan ayat tersebut secara saksama, seandainya kata itu berarti keimanan kepada Allah SWT, maka seruan kepada orang-orang yang sudah beriman menjadi tidak relevan. Sebab, apa perlunya mengajak orang-orang mukmin untuk masuk Islam lagi? Dengan demikian, ayat ini bertujuan menunjukkan makna yang lebih luas, terkait masa depan Islam.
Hal ini menjadi jelas ketika kita mengamati kata “masuklah kalian”. Makna tersebut mengacu pada suatu eksistensi istimewa yang menuntut kita untuk memasukinya. Eksistensi ini bukan hanya sifat psikologis individu mukmin, melainkan menyeru pada pembentukan suatu eksistensi nyata yang memiliki karakter penyerahan dan ketundukan terhadap Sang Pencipta.
Eksistensi ini menyerahkan kepemimpinan praktis kepada-Nya dan membangun masyarakat berdasarkan fondasi tersebut. Dalam kerangka inilah Nabi Muhammad SAW diutus untuk mendirikan dan mengajak manusia hidup di bawah naungan Islam.
Islam sebagai Eksistensi yang Menyeluruh
Al-Qur’an tidak hanya menginginkan seorang Muslim beriman kepada Allah SWT secara pribadi, tetapi juga menjadi bagian dari berdirinya eksistensi Islam yang tunduk kepada-Nya. Setelah itu, umat Islam dituntut untuk bersatu di bawah eksistensi ini.
Kaidah utama dari setiap masyarakat adalah fondasi esensial yang menjamin komitmen, keberlangsungan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kemuliaan. Islam menegaskan hal ini secara praktis dengan menjadikan keimanan kepada Allah SWT sebagai fondasi utama eksistensinya. Penyerahan diri dalam aspek sosial merupakan cabang dari keimanan terhadap rububiyyah-Nya (pengaturan-Nya).
Karena itu, Islam hanya mengajak orang-orang mukmin secara khusus untuk masuk dalam as-silm (penyerahan), dengan menegaskan bahwa iman adalah syarat utama. Eksistensi Islam ini berdiri di atas keimanan kepada Allah SWT dan keyakinan yang sempurna terhadap ketuhanan-Nya.
Eksistensi ini satu-satunya yang dapat melaksanakan peran kemanusiaan mulia, menjamin kebahagiaan masyarakat, serta membawa kesejahteraan dan kemuliaan.
Islam dapat menyelamatkan masyarakat dari kegelisahan psikologis yang muncul akibat kondisi yang mendorong sebagian masyarakat modern masuk ke dalam perangkap berbahaya. Dalam perangkap ini, mereka tenggelam dalam kenikmatan yang merusak serta penyimpangan seksual dan psikologis, sehingga berbagai penyakit kejiwaan yang mencengangkan pun tersebar. Hal ini menjadi karakter masyarakat tersebut dan pada akhirnya menggiring keluarga menuju kehancuran.
Sains tidak mampu mengatasi masalah ini. Masyarakat sendiri bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan yang mereka buat, yang terlihat jelas dalam peradaban mereka yang menderita berbagai penyakit. Walaupun modernitas telah mencapai kemajuan membanggakan di bidang transportasi dan kenyamanan hidup, serta sains modern telah menciptakan kebahagiaan dalam beberapa aspek, hal ini tetap tidak menjamin ketenangan jiwa manusia. Sains juga tidak mampu menyelesaikan masalah kehidupan sosial atau memberikan landasan psikologis yang kokoh bagi manusia.
Oleh karena itu, manusia memerlukan nilai-nilai luhur sebagai rujukan dan tujuan hidup. Selain itu, manusia membutuhkan tujuan mulia yang dapat dicapai untuk memberikan makna dalam hidup mereka. Nilai-nilai seperti ini sangat diperlukan oleh masyarakat setelah mereka menyadari ketidakmampuan nilai-nilai yang dihasilkan oleh peradaban abad ke-20. Peradaban materialistis modern, misalnya, hanya menonjolkan kenikmatan fisik, peningkatan produksi, dan perolehan keuntungan. Namun, semua itu tidak mampu mewujudkan kebahagiaan sejati yang diidamkan manusia.
*Disarikan dari buku karya Ayatullah Baqir Sadr – Syahadat Kedua