Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Jalan Menuju Kebahagiaan Hakiki

Setiap manusia, di manapun dan kapan pun, berusaha mencapai satu tujuan hakiki: ketenangan jiwa, kepuasan batin, dan keindahan hidup yang menyeluruh. Semua itu dinamakan kebahagiaan.

Dorongan untuk mencari kebahagiaan adalah bagian dari fitrah manusia. Namun, manusia tidak akan mampu menemukan jalan sejati menuju kebahagiaan tanpa petunjuk Ilahi yang disampaikan oleh para nabi dan para hujjah Allah. Dalam pandangan Islam, akal manusia saja tidak cukup untuk mengarahkan langkahnya ke kebahagiaan sejati; ia memerlukan cahaya wahyu agar tidak tersesat di simpang jalan nafsu dan kesenangan sesaat.

“Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha:124)


Ilmu Tanpa Petunjuk Ilahi

Zaman kita kini disebut era kemajuan sains dan teknologi. Namun di balik kemajuan itu, manusia modern justru kehilangan arah tentang makna kebahagiaan. Para filsuf dan ilmuwan Barat bahkan memiliki lebih dari dua ratus definisi tentang kebahagiaan, namun tidak satu pun yang mampu menghadirkan kedamaian hakiki dalam kehidupan manusia.

Sejarah panjang umat manusia menunjukkan bahwa manusia telah mencoba berbagai jalan untuk mencapainya: ada yang mengejar kebahagiaan melalui kekayaan, ada yang mencarinya lewat kenikmatan seksual, kekuasaan, ketenaran, dan berbagai jalan lainnya. Namun, hampir semuanya berakhir di jalan buntu. Mereka lalu beralih ke jalan spiritual, tetapi sering kali tanpa bimbingan wahyu dan petunjuk para mursyid Ilahi, hingga terjebak dalam sikap berlebihan atau menyimpang dari jalan yang lurus.


Pengalaman manusia membuktikan bahwa materi tidak mampu mewujudkan kebahagiaan sejati. Harta, kedudukan, dan kenikmatan dunia hanya menipu sejenak, seperti fatamorgana di padang pasir.

“Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah datar; disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya, dia tidak mendapati apa-apa. Lalu didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya.”
(QS An-Nur [24]:39–40)

Islam memandang bahwa dunia dan segala perhiasannya bukan tujuan akhir. Dunia hanyalah sarana menuju kehidupan yang kekal. Karena itu, pendidikan Islam membebaskan manusia dari belenggu materi, dan melatihnya agar tidak menjadikan dunia sebagai pusat kebahagiaan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Cinta dunia memperbanyak kesedihan dan kesusahan, dan menjauhi dunia menenangkan hati dan tubuh.” (Bihar al-Anwar, jil. 70, hlm. 141)

Imam Ali aa juga berkata:

“Perumpamaan dunia seperti ular: kulitnya lembut disentuh, tetapi di dalamnya ada racun mematikan. Orang berakal menjauhinya, sedangkan anak kecil tergoda olehnya.” (Nahjul Balaghah, Hikmah 119)

Imam Ja‘far al-Shadiq as menegaskan:

“Perumpamaan dunia adalah seperti air laut: siapa yang meminumnya akan semakin haus hingga ia binasa karenanya.” (Al-Kafi, jil. 2, hlm. 317)


Akar Kegelisahan: Ketamakan terhadap Dunia

Ada tiga sebab utama mengapa dunia tidak memberi ketenangan bagi pencintanya.

1. Ketamakan yang Tak Pernah Puas

Orang yang mengejar kebahagiaan lewat harta akan semakin rakus dan gelisah. Semakin banyak ia punya, semakin takut ia kehilangan.

Imam Al-Shadiq as bersabda:

“Segala kebaikan tersimpan dalam satu rumah, dan kuncinya adalah menjauhi dunia.” (Al-Kafi, jil. 2, hlm. 128)

Imam Al-Baqir as menuturkan:

“Orang yang tamak terhadap dunia seperti cacing tanah; semakin dalam menggali, semakin jauh dari permukaan hingga ia mati tertimbun.”

Luqman menasihati anaknya:

“Janganlah engkau menjadi seperti kambing yang terpana oleh hijaunya dedaunan, makan hingga gemuk lalu mati karena kekenyangan. Jadikanlah dunia sebagai jembatan, bukan tempat tinggal.”


2. Dunia yang Fana dan Menipu

Dunia bersifat sementara dan selalu berubah. Karena itu, orang yang hatinya terpaut kepadanya hidup dalam kecemasan kehilangan. Imam Al-Shadiq berkata:

“Barang siapa banyak mengumpulkan dunia, maka ia akan banyak menyesal saat berpisah dengannya.”

Imam Ali as menegaskan dengan sumpah yang mengguncang:

“Demi Allah, seandainya aku diberi tujuh planet dan apa yang ada di antara mereka untuk berbuat maksiat kepada Allah dengan mencuri sebutir gandum dari semut, niscaya aku tidak akan melakukannya.”
(Nahjul Balaghah, Khutbah 224)

Dunia di mata para wali Allah lebih hina dari daun kering di mulut belalang. Sebab, yang kekal hanyalah apa yang berada di sisi Allah.

Imam Ja‘far al-Shadiq juga menafsirkan kisah Nabi Khidhir dan dua anak yatim dalam Surah Al-Kahfi sebagai pelajaran tentang kefanaan dunia. Ia berkata bahwa harta simpanan (al-kanz) yang disebut dalam ayat itu berisi pesan:

“Aneh sekali, orang yang yakin akan kematian tapi masih bergembira ria; orang yang yakin akan takdir tapi masih bersedih; orang yang yakin akan kebangkitan tapi masih berbuat zalim; dan orang yang tahu dunia fana tapi tetap mengejarnya.” (Tafsir Al-Qummi, jil. 2, hlm. 34)


3. Dunia yang Didirikan di Atas Kezaliman

Sebagian orang mencari kebahagiaan dengan menindas orang lain, merampas hak, dan menumpuk kekayaan dengan cara yang zalim. Namun, semua itu justru melahirkan kegelisahan batin dan perpecahan sosial.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan dan kunci setiap kejahatan.” (Al-Kafi, jil. 2, hlm. 315)

Imam Ali as menasihati putranya, Al-Hasan as:

“Janganlah engkau tertipu oleh gemerlap dunia dan para penghuninya. Mereka bagaikan binatang buas yang saling menerkam; yang kuat memangsa yang lemah, yang besar menindas yang kecil.” (Nahjul Balaghah, Wasiat 31)


Generasi Zuhud: Pilar Keadilan Islam

Dengan cara mendidik umat menjauhi cinta dunia, Islam melahirkan generasi zuhud dan pejuang kebenaran—generasi yang tidak tunduk pada gemerlap dunia, tetapi menjadikan kebenaran dan keadilan sebagai tujuan hidupnya.

Mereka adalah barisan yang dibentuk oleh Rasulullah dan Ahlulbait as, yang memandang dunia sebagai jembatan menuju Allah, bukan tempat menetap. Karena itulah mereka sanggup berkorban demi menegakkan kebenaran, bahkan hingga mengorbankan nyawa sebagaimana Imam Husain as di Karbala.

Andai saja umat Islam tetap berjalan di bawah bimbingan Rasul dan Ahlulbaitnya, sejarah manusia tidak akan sesuram ini. Penyimpangan dari jalan itu melahirkan cinta dunia dan kerakusan, yang kemudian menjelma menjadi kezaliman dan penindasan oleh para penguasa dunia Islam sendiri. Sejarah kelam Bani Umayyah dan Abbasiyyah adalah saksi bagaimana cinta dunia menghapus cahaya iman dan menggantinya dengan kerakusan dan darah.


Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati hanya ada pada ketenangan batin yang bersandar kepada Allah, bukan pada gemerlap dunia yang fana. Dunia hanyalah ladang untuk menanam amal, bukan istana untuk menetap.

“Ketahuilah, dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS Ar-Ra‘d: 28)

Kebahagiaan sejati bukan milik mereka yang banyak harta, tetapi milik mereka yang hatinya dipenuhi cahaya Allah. Dan cahaya itu tidak akan pernah padam bagi siapa pun yang menempuh jalan Ahlulbait as—jalan kebersihan hati, keadilan, dan pengorbanan.


Disarikan dari buku Akibat Dosa – Sayyid Hasyim Ar-Rasuli AI-Mahallati

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT