Di tengah perbincangan kaum cendekiawan Muslim, muncul sebuah fenomena yang mengundang tanda tanya. Banyak yang mempertanyakan keberadaan jati diri Islam. Dengan nada heran, mereka bertanya: benarkah ada identitas Muslim yang murni berakar pada Islam? Anehnya, keheranan serupa tak pernah terlihat saat membahas jati diri orang Arab, Iran, India, atau Barat. Namun, ketika topik beralih ke jati diri Islam, mereka tiba-tiba tersentak, seolah itu sesuatu yang tak terpikirkan.
Fenomena ini bukan sekadar kebingungan. Ini adalah gejala penyakit akal yang merasuki jiwa-jiwa muda, akibat terputusnya hubungan mendalam dengan Islam dan dominasi kuat pemikiran Barat. Akar Islam yang seharusnya kokoh kini tergerus, meninggalkan keraguan akan identitas yang seharusnya jadi pegangan teguh.
Islam bukan sekadar agama, melainkan akidah universal yang merangkum setiap sisi kehidupan manusia—tak ada aspek yang terlewatkan. Akidah ini begitu hidup dan menyeluruh, sehingga seharusnya membentuk ikatan kuat dalam hati pemeluknya, tercermin dalam setiap langkah dan perilaku. Karenanya, sungguh ironis jika ada yang menganggap jati diri Islam tak memiliki wujud yang mandiri. Jati diri Islam berdenyut melalui tiga pilar utama: spiritualitas, akal, dan akhlak. Ketiganya adalah fondasi tak terpisahkan dari seorang Muslim sejati.
Bayangkan seorang Muslim yang hidup dengan kesadaran penuh. Ia menjalin hubungan dengan Allah melalui spiritualitas yang lembut dan suci, menghidupkan jiwa dengan zikir dan ibadah. Dengan akal yang dinamis, kritis, dan terbuka, ia menjelajahi alam semesta, merangkai pemahaman tentang dunia. Dalam pergaulannya, ia menjunjung akhlak mulia—jujur, adil, dan penuh kasih. Spiritualitas, akal, dan akhlak bukanlah elemen terpisah. Mereka bagaikan tiga sisi segitiga, saling melengkapi, membentuk pribadi Muslim ideal: manusia yang menguasai realitas, bukan dikuasai olehnya.
Pribadi seperti ini tak hanya hidup, tetapi menciptakan kehidupan. Akalnya membuka jalan bagi solusi dan inovasi. Akhlaknya membangun harmoni dalam masyarakat. Spiritualitasnya menjaga hatinya tetap terhubung dengan Sang Pencipta, suci di tengah gejolak dunia. Inilah Muslim yang menjadi saksi atas zaman—berdiri tegak, mengamati realitas dengan jernih, mengkritik tanpa ragu, dan tetap setia pada prinsip-prinsipnya.
Namun, apa yang terjadi jika jati diri ini memudar? Kehilangan identitas Islam berarti kehilangan kendali atas nasib. Manusia tanpa jati diri tenggelam dalam arus zaman, menjadi budak realitas, materi, dan pengaruh sekitar. Ia tak lagi menciptakan, hanya mengikuti—terombang-ambing tanpa arah, kehilangan keunikan yang membuatnya istimewa. Lebih jauh, ketika masyarakat kehilangan jati dirinya, mereka gagal melahirkan peradaban otentik yang bersumber dari nilai-nilai Islam. Alih-alih memimpin, mereka terpaksa meniru model peradaban lain yang sering bertentangan dengan akidah.
Krisis ini nyata di tengah umat Islam saat ini. Banyak yang kehilangan pilar jati diri: spiritualitas meredup, akal terbelenggu, akhlak terkikis. Akibatnya, umat gagal menghadirkan peradaban Islam teladan. Terjebak dalam realitas, mereka mengadopsi nilai-nilai asing, kian menjauh dari esensi Islam yang seharusnya hidup dalam setiap tindakan.
Lebih memprihatinkan, hilangnya jati diri menciptakan tembok tak kasat mata antar umat Islam. Meski Islam merangkul semua ras dan wilayah, umat justru terpecah oleh batas-batas buatan—nasionalisme sempit, perbedaan budaya, atau konflik emosional. Padahal, dengan jati diri Islam yang kuat, umat bisa menciptakan gelombang pemikiran yang menyatukan, menghidupkan kembali eksistensi sebagai kekuatan global yang tak tertandingi.
Meski demikian, harapan belum sirna. Di penjuru dunia Islam, masih ada Muslim yang teguh memancarkan jati diri mereka, bagai pelita yang tak tercemar oleh pemikiran yang melemahkan. Para pejuang dakwah punya tugas besar: menghidupkan kembali jati diri Islam dalam jiwa setiap Muslim. Ini adalah panggilan suci untuk membangkitkan umat, mengembalikan kejayaan peradaban yang pernah menerangi dunia.
Jati diri Islam bukan beban, melainkan anugerah. Ia adalah kekuatan yang membebaskan dari belenggu, memberi keberanian untuk mencipta, dan menjadikan Muslim saksi atas kebenaran. Saatnya umat merangkul identitas ini, melangkah dengan teguh, dan membuktikan bahwa Islam adalah cahaya abadi yang tak pernah redup.
Sumber: Ayatullah Muhammad Baqir Sadr – Syahadat Kedua