Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Kapitalisme Modern dan Jerat Halus atas Perempuan

“Mengapa perempuan rela membayar lebih mahal, memakai lebih sedikit, dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk berbelanja pakaian?” Pertanyaan sederhana ini menggugah renungan yang dalam—bukan hanya soal fashion dan pasar, tetapi menyentuh soal identitas, martabat, dan strategi sosial yang memengaruhi kehidupan jutaan perempuan setiap harinya di dunia Barat.

Sebuah laporan CNN pada 16 April lalu menyoroti ketimpangan harga antara pakaian pria dan wanita di Amerika Serikat. Disebutkan bahwa perempuan di AS menghabiskan sekitar 2,5 miliar dolar lebih banyak per tahun dibandingkan pria untuk pakaian. Salah satu penyebab utamanya adalah kebijakan tarif impor AS yang diterapkan sama rata terhadap pakaian pria dan wanita, padahal mayoritas pakaian di pasar AS berasal dari luar negeri. Fenomena ini dikenal dengan istilah “pink tariff”, bagian dari istilah yang lebih luas yaitu “pink tax”—biaya tambahan tak terlihat yang dibebankan kepada perempuan untuk produk yang, secara fungsi dan biaya produksi, sering kali identik dengan produk untuk laki-laki.

Namun ini baru permukaannya saja. Di balik tag harga itu, tersembunyi sistem yang jauh lebih besar dan licik.

Kampanye Tak Terucap: Perempuan sebagai Sasaran Strategi Kapitalisme

Dalam masyarakat kapitalis modern, perempuan bukan sekadar konsumen. Mereka adalah target strategis dari sistem pemasaran yang dirancang dengan sangat rapi. Statistik menunjukkan bahwa perempuan Amerika rata-rata mengeluarkan $300 lebih banyak per tahun untuk pakaian dan penampilan dibandingkan laki-laki. Mengapa?

Karena industri fashion Barat setiap musim menghadirkan ratusan gaya baru khusus untuk perempuan. Pakaian-pakaian ini diproduksi massal di pabrik-pabrik berupah rendah, menggunakan bahan tipis dan tidak tahan lama. Tujuannya? Agar perempuan terus kembali ke toko—membeli lagi dan lagi.

Pakaian wanita dirancang tidak hanya untuk menarik perhatian, tetapi juga untuk tidak bertahan lama. Tidak jarang pakaian ini kekurangan fitur praktis seperti kantong yang memadai atau bahan hangat yang tahan cuaca. Maka tak heran jika banyak perempuan harus membeli tas tangan, pelapis tambahan, dan aksesori lainnya sebagai pelengkap. Harga yang tampak murah itu pada akhirnya menjadi mahal ketika pakaian cepat rusak dan harus diganti. Inilah siklus konsumsi yang tak berujung, diperkuat oleh tarif dan pajak yang lebih tinggi untuk produk wanita.

Membayar Lebih, Mendapat Lebih Sedikit

Fenomena menarik lainnya adalah penggunaan lebih sedikit kain dalam pakaian wanita dibandingkan pakaian pria, bahkan untuk ukuran tubuh yang serupa. Lengan yang lebih pendek, leher yang lebih terbuka, dan celana yang lebih ketat dan pendek menjadi bagian dari norma desain pakaian wanita di Barat. Hal ini tidak hanya soal estetika, tetapi soal budaya dan ideologi.

Jika kita mengamati kampus, kantor, dan tempat umum lainnya di Barat, mudah terlihat bahwa standar berpakaian untuk perempuan sangat berbeda. Pria bisa dengan nyaman memakai jas dan celana panjang, sementara banyak perempuan “didorong secara budaya” untuk memakai pakaian yang terbuka, ketat, dan menonjolkan bentuk tubuh. Fenomena seperti “Gen Z boss in a mini” bahkan dirayakan sebagai simbol kekuatan perempuan muda, padahal di balik itu tersembunyi tuntutan sosial yang merugikan.

Lalu muncul pertanyaan yang lebih dalam: Mengapa perempuan Barat menerima ini semua? Mengapa mereka terus membayar lebih mahal, bekerja lebih keras dalam berpakaian, dan mendapatkan lebih sedikit kenyamanan dan perlindungan?

Harga dari Pengakuan Sosial: Penghinaan yang Dibungkus Kebebasan

Pada 2016, The Washington Post mengangkat sebuah artikel berjudul “The real reason that so many women have to spend so much time getting ready”. Di sana diceritakan bahwa perempuan pekerja di media tersebut rata-rata memakai lima produk kecantikan setiap pagi, dan membawa tiga pasang sepatu. Sementara rekan-rekan pria mereka cukup dengan satu produk saja.

Realitas ini bukan sekadar pilihan individu. Riset menunjukkan bahwa penampilan fisik perempuan di AS berpengaruh langsung terhadap gaji, peluang kerja, dan kenaikan jabatan. Semakin menarik penampilan seorang perempuan, semakin tinggi peluangnya dalam karier. Jika tidak, ia akan tersingkir. Ini adalah bentuk misogini terselubung yang dijual dengan label “kebebasan berekspresi” dan “hak atas tubuh”.

Dengan kata lain, ada semacam “kewajiban untuk tidak menutup aurat”—semacam ketelanjangan wajib yang tidak tertulis. Jika perempuan menolak ikut serta, ia akan kehilangan posisi sosialnya. Inilah sistem yang memperbudak, namun disamarkan sebagai kebebasan.

Jalan Keluar yang Telah Lama Ada

Lalu bagaimana caranya keluar dari sistem ini? Jawabannya sebenarnya telah hadir sejak ribuan tahun lalu, namun terus dicemarkan dan diperangi oleh kekuatan besar: Hijab.

Dalam sebuah artikel berjudul “Decolonize your mind: Let hijab be your flag in battle against oppression”, disebutkan bahwa dukungan mahasiswa AS terhadap Palestina dan perlawanan terhadap simbol-simbol penindasan Barat telah membuka pintu bagi penerimaan terhadap simbol-simbol Islam, termasuk hijab.

Menurut Pemimpin Revolusi Islam, Imam Khamenei, hijab bukanlah simbol penyingkiran perempuan dari ruang publik, tetapi sarana untuk menjaga kehormatan dan harga diri mereka. Hijab adalah penegasan bahwa nilai seorang perempuan tidak diukur dari kulit yang ia buka atau bentuk tubuh yang ia perlihatkan, melainkan dari kecerdasan, ilmu, dan integritas pribadinya.

Sebagaimana beliau tegaskan dalam pidatonya pada 25 November 1992:

“Islam ingin menempatkan perempuan pada posisi yang tinggi dan penuh kehormatan, di mana ia tidak peduli apakah ada laki-laki yang memandangnya atau tidak… Di Barat, perempuan didefinisikan sebagai makhluk yang harus menghibur laki-laki. Jika seorang perempuan ingin tampil menonjol, ia tidak punya pilihan selain menonjolkan daya tarik seksualnya.”

Inilah mengapa hijab—terutama yang diwajibkan oleh hukum Islam di Iran dan negara Muslim lainnya—menjadi musuh utama media Barat. Karena ia mengganggu rencana eksploitasi yang telah lama mereka bangun. Dengan hijab, perempuan tidak lagi menjadi target pemasaran tubuh, melainkan menjadi subjek pembebasan diri dari sistem korporat yang menindas.

Hijab, Simbol Perlawanan

Ketika kita melihat label harga pada gaun atau lipstik, kita sedang menyaksikan puncak dari gunung es yang tersembunyi. Ada sistem yang mendesain agar perempuan membeli, memakai, dan merasa tidak cukup—selamanya.

Hijab bukan hanya kain di atas kepala. Ia adalah simbol perlawanan terhadap eksploitasi, tameng dari kapitalisme yang memperalat tubuh perempuan, dan bendera kebebasan sejati. Maka tak heran jika Barat merasa terancam olehnya. Sebab hijab, lebih dari apa pun, menunjukkan bahwa perempuan tidak harus menjual tubuhnya untuk dihargai.

Hijab adalah pernyataan lantang:
“Aku cukup karena pikiranku, bukan karena kulitku.”

Dan dunia akan terus berusaha membungkam perempuan yang berani mengucapkan kalimat itu.


Sumber: Khamenei.ir

Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.