Tak ada kisah yang lebih jujur dari Karbala. Ia bukan sekadar peristiwa sejarah yang terlipat dalam lembaran masa lalu. Ia adalah denyut nadi perlawanan umat, cahaya yang terus menyala dalam setiap dada yang menolak tunduk pada kebatilan. Bagi para pecinta Ahlulbait, Karbala bukan cerita lama yang hanya dikenang saat Muharram. Ia adalah cermin zaman, ia adalah seruan untuk memilih: tunduk dalam hina atau hidup dalam kemuliaan.
Ketika Imam Husain memutuskan untuk meninggalkan Madinah, beliau sepenuhnya sadar bahwa jalan yang akan ditempuh bukanlah jalan kejayaan duniawi. Ia tidak sedang menuju tahta, melainkan menuju pengorbanan yang agung. Namun yang lebih beliau utamakan adalah tetap berada di jalan Allah dan menjaga kemurnian amanah kenabian.
Dalam sepucuk surat kepada saudaranya, Muhammad ibn Hanafiyah, beliau menulis dengan penuh ketegasan: “Aku tidak bangkit karena cinta kekuasaan. Aku bangkit untuk memperbaiki umat kakekku. Aku ingin menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar.”
Gerakan Imam Husain bukan sekadar perlawanan politik. Ia bukan lahir dari ambisi pribadi, bukan pula semata-mata protes sosial. Gerakannya adalah seruan suci yang bersumber dari cinta mendalam kepada Allah dan kepedulian terhadap nasib umat. Yazid ibn Muawiyah, yang saat itu memegang kekuasaan, telah mencemari ajaran Islam dengan kekuasaan tiran dan kepentingan duniawi. Saat banyak orang memilih diam, Imam Husain memilih menyuarakan kebenaran—bukan dengan retorika, melainkan dengan pengorbanan yang suci.
Di tengah padang Karbala yang panas dan tandus, dengan hanya 72 orang sahabat dan keluarganya, Imam Husain berdiri menghadapi ribuan pasukan yang siap membunuhnya. Ia tahu hasilnya. Tapi ia tidak datang untuk menang secara fisik. Ia datang untuk menang secara moral. Untuk membuktikan pada dunia bahwa kebenaran tidak akan pernah mati, bahkan jika tubuh-tubuh syuhada berserakan di padang pasir.
Imam Khamenei dalam salah satu pidatonya menyampaikan, “Hari Asyura bukanlah sejarah biasa. Ia adalah jantung semangat perlawanan terhadap kezaliman dalam setiap zaman. Jika kita ingin tahu cara melawan kebatilan hari ini, lihatlah al-Husain.”
Imam Husain datang ke Karbala membawa seluruh keluarganya. Ini bukan taktik, ini adalah pesan. Ketika Nabi Muhammad saw menghadapi kaum Nasrani Najran dalam peristiwa Mubahalah, beliau membawa putra-putranya, putrinya, dan dirinya sendiri. Begitu juga Imam Husain, ingin menunjukkan bahwa perjuangan ini bukanlah permainan politik. Ini adalah urusan iman, urusan umat.
Salah satu puncak keindahan Karbala adalah kehadiran Sayyidah Zainab sa. Jika al-Husain adalah cahaya di Karbala, maka Zainab adalah gema yang membawa cahaya itu ke seluruh dunia. Setelah seluruh lelaki syahid, setelah tenda-tenda dibakar, dan anak-anak dibiarkan haus, Zainab berdiri tegak, bukan sebagai perempuan yang hancur oleh duka, tapi sebagai suara yang mengguncang singgasana.
Di hadapan rakyat Kufah yang munafik, ia berkata: “Kalian menangisi kami, padahal kalianlah yang menumpahkan darah saudaraku.” Di istana Yazid, ia berkata dengan lantang: “Wahai Yazid, engkau telah membunuh keluarga Nabi, tapi jangan sangka engkau menang. Engkau tidak akan pernah bisa menghapus cahaya kebenaran.”
Imam Khamenei pernah berkata, “Jika bukan karena Sayidah Zainab, maka Karbala akan dikubur sebagai peristiwa tragis. Tapi Sayidah Zainab mengubah tragedi itu menjadi api perjuangan.”
Setiap tahun, jutaan pecinta Ahlulbait berkumpul untuk mengenang Asyura. Mereka menangis, memukul dada, membaca puisi-puisi duka. Mengapa? Karena mereka tahu, Karbala bukan hanya kisah. Ia adalah janji. Ia adalah kompas. Air mata itu bukan kelemahan, tapi ikatan batin. Ia menyucikan hati, menumbuhkan cinta, dan menyalakan keberanian.
Imam Khomeini menyebut majelis-majelis duka ini sebagai “benteng spiritual umat.” Dan Imam Khamenei menambahkan, “Dari majelis-majelis ini lahir keberanian. Dari air mata inilah muncul generasi yang siap melawan ketidakadilan, baik di Palestina, di Irak, di Lebanon, maupun di mana pun.”
Hari ini, dunia kembali dipenuhi dengan bentuk-bentuk kebatilan baru: penjajahan, kapitalisme rakus, kebohongan media, dan kezaliman modern yang dikemas dengan bahasa lembut. Di hadapan semua itu, kita butuh Karbala. Kita butuh cahaya al-Husain. Kita butuh suara Sayidah Zainab.
Karbala mengajarkan bahwa perempuan bukan pelengkap perjuangan. Mereka adalah jantung perjuangan. Sayidah Zainab, Sayidah Ruqayyah, Ummu Kultsum—semua menunjukkan bahwa kelembutan bukan lawan dari kekuatan. Bahwa air mata bisa menjadi senjata yang lebih tajam dari pedang.
Yang menjadikan gerakan Imam Husain begitu agung dan tak tertandingi adalah kemurnian niatnya. Tak ada jejak ambisi, tak ada bayang-bayang kekuasaan, dan tak ada kepentingan duniawi. Yang ada hanyalah panggilan untuk menjaga ruh Islam tetap menyala, agar warisan Nabi tidak redup ditelan arus zaman. Al-Qur’an memperingatkan: “Janganlah kamu seperti orang-orang yang keluar dari rumahnya dengan sombong dan pamer” (QS. Al-Anfal: 47). Dalam keteguhan dan kesendiriannya, Imam Husain justru menghadirkan ketawadhuan dan kemuliaan niat yang tak tergoyahkan.
Karbala bukan hanya milik masa lalu. Ia adalah milik masa kini dan masa depan. Setiap kita yang hidup di zaman ini, memiliki tanggung jawab untuk menjaga api itu tetap menyala. Kita bukan sekadar penonton sejarah, kita adalah penerusnya.
Saat kita duduk dalam majelis duka, mendengarkan kembali kisah pengorbanan Imam Husain, dan merasakan dada kita sesak oleh haru, sesungguhnya kita sedang menapaki kembali jalan kesetiaan. Bukan sekadar mengenang masa lalu, tapi menghidupkan janji—bahwa kita takkan berpaling saat kebenaran terancam, bahwa kita akan tetap berdiri meski harus sendiri, bahwa kita memilih menjadi pengikut al-Husain, bukan bagian dari mereka yang bungkam di hadapan kezaliman.
Imam Husain berkata, “Kematian dalam kemuliaan lebih baik daripada hidup dalam kehinaan.” Ucapan itu bukan slogan, tapi arah hidup. Dalam dunia hari ini yang dipenuhi kompromi dan kesenyapan, kita masih diberi ruang untuk memilih: tunduk pada kenyamanan yang menyesatkan atau bangkit dalam keberanian.
Karbala tidak menuntut semua orang menjemput syahadah, tapi ia mengajak kita untuk hidup dengan kesadaran. Untuk bersikap jujur, adil, dan tegar di tengah ujian zaman. Ia mengajarkan bahwa mencintai al-Husain berarti menolak tunduk pada batil—dalam bentuk apa pun.
Selama masih ada yang berani berkata “tidak” kepada kezhaliman, Karbala akan terus menyala. Dan selama cahaya Karbala menerangi hati-hati yang tulus, umat ini akan selalu punya harapan untuk bangkit.
Sumber: Khamenei.ir