Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Kasih Sayang Ahlulbait terhadap Anak-anak: Antara Kelembutan, Doa, dan Pendidikan

Kasih sayang Rasulullah saw kepada anak-anak tidak pernah berhenti memancarkan cahaya teladan bagi umat manusia. Sejak wahyu pertama turun hingga akhir hayatnya, beliau selalu mengajarkan bahwa masa depan peradaban tidak dibangun semata dengan pedang atau pena, melainkan dengan cinta, doa, dan pendidikan yang menumbuhkan akhlak mulia. Kisah-kisah yang datang dari Rasulullah saw dan Ahlulbait as memaparkan kepada kita bahwa kebahagiaan seorang anak, keadilan dalam keluarga, serta pendidikan spiritual dan moral adalah pilar yang harus dijaga oleh setiap Muslim.

Membahagiakan Anak-anak: Pintu Menuju Surga

Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya di surga terdapat sebuah pintu yang bernama al-Farah. Tidak seorang pun memasuki pintu itu kecuali orang-orang yang membuat anak-anak gembira.” Hadis ini menegaskan bahwa membahagiakan anak-anak bukan sekadar tindakan kasih sayang, tetapi ibadah yang berbuah surga. Rasulullah saw juga mengaitkannya dengan amal sosial yang lebih luas, terutama kepada anak-anak yatim, sebagaimana sabdanya, “Sesungguhnya di surga terdapat sebuah pintu yang bernama al-Farah. Tidak seorang pun memasukinya kecuali orang-orang yang membuat gembira anak-anak yatim dari orang-orang Mukmin.” (Al-Kafi, jilid 6, hlm. 50)

Bahkan dalam urusan kecil seperti makanan, Nabi saw menganjurkan para orang tua agar memperhatikan anak-anak mereka. Beliau bersabda, “Belilah daging untuk anak-anak kalian dan ingatkan mereka tentang hari Jumat.” Pesan ini sederhana namun sarat makna: perhatian kepada anak bukan hanya soal pendidikan besar, tetapi juga pada hal-hal kecil yang menumbuhkan rasa kasih dan kebersamaan dalam keluarga. (Bihar al-Anwar, jilid 16, hlm. 263)

Kepedulian Imam Ali as terhadap Anak Yatim

Kisah-kisah tentang Amirul Mukminin Ali as memperlihatkan bahwa ajaran Rasulullah saw benar-benar hidup dalam perilaku para Imam Ahlulbait. Diriwayatkan bahwa suatu hari Imam Ali as menerima hadiah berupa madu dan buah tin dari daerah Hamadan dan Hulwan. Beliau memerintahkan agar anak-anak yatim didatangkan untuk menjilati madu dari wadah besar sebelum madu itu dibagikan kepada masyarakat. Ketika seseorang bertanya mengapa anak-anak itu mendapat perlakuan istimewa, dijawab bahwa Imam Ali as adalah “ayah bagi anak-anak yatim,” dan sebagai seorang ayah, beliau ingin mereka merasakan kebahagiaan terlebih dahulu. (Al-Kafi, jilid 4, hlm. 8)

Kisah lain menceritakan bahwa Imam Ali as pernah melihat seorang wanita membawa beban berat berupa air di punggungnya. Setelah mengetahui bahwa wanita itu seorang janda dengan anak-anak yatim, Imam Ali as sendiri yang memanggul karung gandum dan bahan makanan ke rumahnya. Beliau menolak tawaran sahabat yang ingin membantu, seraya berkata, “Siapa yang menanggung kesalahanku di hari Kiamat?” Di rumah itu, Imam Ali as memasak makanan, menyuapi anak-anak, bahkan bermain dengan mereka hingga terdengar suara tawa. Semua itu beliau lakukan agar anak-anak yang sebelumnya menangis karena lapar, kini bisa tertawa bahagia. (Kasyful Yaqin, hlm. 115)

Pendidikan, Doa, dan Keadilan terhadap Anak

Kasih sayang kepada anak-anak tidak berhenti pada pemenuhan kebutuhan fisik. Rasulullah saw dan para Imam Ahlulbait as juga mengajarkan pentingnya pendidikan akhlak dan doa yang tulus. Nabi saw bersabda, “Tidak ada pemberian orang tua kepada anaknya yang lebih utama daripada akhlak yang baik.” Ini menunjukkan bahwa warisan sejati bagi anak-anak bukanlah harta, melainkan kepribadian luhur yang menjadi bekal hidup mereka. (Nahj al-Fashahah, hlm. 120)

Imam Ali as pun menekankan prinsip keadilan dalam memperlakukan anak-anak. Beliau berkata, “Perlakukan anak-anakmu dengan adil dalam segala hal, sebagaimana engkau mencintai agar mereka semua berlaku baik terhadapmu.” Ketidakadilan dalam kasih sayang dan perhatian dapat meninggalkan luka batin yang panjang, sedangkan keadilan akan menumbuhkan rasa saling menghargai dalam keluarga. (Ghurar al-Hikam, hlm. 312)

Kisah Pendidikan yang Penuh Hikmah

Salah satu kisah terkenal datang dari masa kecil Imam Hasan as dan Imam Husain as. Mereka melihat seorang lelaki tua berwudhu dengan cara yang kurang tepat. Alih-alih menegur secara langsung, keduanya mengajak lelaki itu untuk melihat siapa di antara mereka yang berwudhu dengan benar. Lelaki tua itu pun menyadari kesalahannya sendiri tanpa merasa malu. Cara penuh hikmah ini mengajarkan bahwa pendidikan, baik kepada anak-anak maupun orang dewasa, harus dilakukan dengan kelembutan, bukan dengan cara yang merendahkan. (Bihar al-Anwar, jilid 43, hlm. 285)

Imam Zainal Abidin as dalam Risalah al-Huquq menuliskan hak-hak anak yang wajib dipenuhi orang tua. Beliau menegaskan bahwa anak berhak mendapatkan pendidikan, kasih sayang, dan bimbingan menuju ketaatan kepada Allah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memandang serius pembinaan moral dan spiritual anak sebagai pondasi masyarakat yang kuat. (Risalah al-Huquq, pasal tentang Hak Anak)

Doa untuk Generasi Masa Depan

Doa para Imam untuk anak-anak menjadi bagian penting dalam warisan spiritual Islam. Dalam Sahifah Sajjadiyah, Imam Zainal Abidin as berdoa agar anak-anaknya menjadi pribadi yang saleh, berilmu, dan berakhlak mulia. Beliau memohon agar hati mereka dipenuhi cahaya iman serta dilindungi dari godaan dunia yang menyesatkan. Doa ini mengingatkan bahwa membangun generasi masa depan tidak cukup dengan usaha lahiriah; perlu ada sandaran spiritual kepada Allah SWT. (Sahifah Sajjadiyah, Doa ke-25)

Relevansi bagi Umat Islam Masa Kini

Dari semua kisah ini, jelas bahwa Rasulullah saw dan Ahlulbait as tidak hanya mengajarkan teori tentang anak-anak, tetapi memberikan teladan nyata. Mereka menunjukkan bahwa membahagiakan anak-anak, memenuhi hak-hak mereka, mendidik dengan kasih sayang, dan mendoakan kebaikan bagi mereka adalah bagian dari ibadah yang besar pahalanya. Di era modern, ketika banyak anak kehilangan kasih sayang karena kesibukan orang tua atau kondisi sosial yang sulit, teladan Rasulullah saw dan Ahlulbait as menjadi pelita yang tak pernah padam.


Disarikan dari buku Anak di Mata Nabi – Ayatullah Muhammad Reisyahri

Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.