Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Keadilan Ilahi: Harmoni Dunia dan Kehidupan Abadi

Dalam pandangan dunia Islam, realitas tidak hanya berhenti pada apa yang kasat mata. Alam semesta terbagi menjadi dua dimensi besar: dunia dan akhirat. Pembagian ini bukan sekadar konsepsi abstrak, melainkan rukun mendasar dalam memahami hakikat keberadaan. Dunia adalah ruang tempat manusia hidup, berjuang, dan diuji, sementara akhirat merupakan kelanjutan dari kehidupan ini, sekaligus tujuan akhir perjalanan manusia.

Alam gaib dan alam nyata yang sebelumnya telah dibicarakan memberi gambaran tentang asal-usul dan keteraturan ciptaan. Akan tetapi, akhirat memiliki posisi istimewa. Ia bukan hanya gaib dalam pengertian tidak terlihat oleh panca indra, melainkan juga alam yang menjadi muara dari semua perjalanan. Dari sanalah manusia berasal, di sanalah manusia kembali. Hal ini ditegaskan dalam ucapan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as: “Allah menyayangi orang yang mengetahui dari mana, melalui mana, dan ke mana.” Beliau tidak berkata “dari apa, melalui apa, dan ke apa,” sebab jika demikian, maksudnya hanya akan terbatas pada aspek materi, sebagaimana manusia diciptakan dari tanah dan akan kembali ke tanah.

Ungkapan Imam Ali lebih tinggi maknanya. Ia merujuk pada realitas eksistensial: dunia apa yang menjadi asal kita? Dunia apa yang sedang kita huni? Dan dunia apa yang akan kita masuki? Pertanyaan ini menyingkap keterhubungan antara dunia dan akhirat sebagai dua tahapan yang saling melengkapi.

Dalam bahasa Al-Qur’an, dunia dan akhirat disebut sebagai nasy’ah, yakni dua bentuk kemunculan yang mandiri. Dunia bukan sekadar ruang lahiriah yang fana, melainkan fase awal yang melahirkan perjalanan ruhani. Akhirat pun bukan sekadar tempat pembalasan, tetapi kelanjutan dari pilihan, amal, dan niat yang dibentuk di dunia. Karena itu, kategori amal duniawi dan ukhrawi bergantung pada niat: bila perbuatan dilakukan hanya untuk kepentingan diri, ia tergolong duniawi. Namun bila diniatkan karena Allah dan demi mencari ridha-Nya, ia menjadi amal ukhrawi, sekalipun bentuknya sederhana.

Dalam perspektif inilah seorang mukmin dituntut untuk senantiasa sadar bahwa dunia bukan tempat tujuan, melainkan jembatan menuju akhirat. Kesadaran ini menjaga manusia agar tidak terjebak dalam tipu daya dunia, namun juga tidak mengabaikan peran dunia sebagai ladang menanam amal. Dunia dan akhirat, seperti halnya alam gaib dan nyata, adalah konsep mutlak dalam Islam—bukan relatif atau dapat dinegosiasikan.

Kearifan Mahaluas dan Keadilan Allah

Dari pembahasan dunia dan akhirat, kita sampai pada salah satu pokok penting dalam teologi Islam, yaitu kearifan dan keadilan Allah. Pertanyaan yang sering muncul dalam hati manusia adalah: mengapa dunia tampak penuh dengan ketidaksempurnaan, penderitaan, dan perbedaan nasib? Bagaimana mungkin Allah yang Mahabijaksana dan Mahaadil menciptakan sistem yang demikian?

Pandangan Islam menegaskan bahwa alam ini merupakan sistem paling bijak yang mungkin ada. Tidak ada sistem lain yang lebih sempurna. Segala yang ada, baik keteraturan kosmik maupun hukum-hukum kehidupan, berjalan dalam rangkaian yang penuh makna. Akan tetapi, di balik keyakinan ini, muncul persoalan-persoalan yang tidak sederhana.

Kita melihat adanya penyakit, cacat bawaan, kematian dini, bencana alam, ketidakadilan sosial, hingga perbedaan bentuk dan kondisi fisik manusia. Ada yang terlahir sehat, ada yang sakit. Ada yang cantik, ada yang buruk rupa. Ada yang menjadi manusia, ada yang menjadi hewan, bahkan sebagian menjadi makhluk yang kita pandang hina. Lantas, di manakah letak keadilan?

Apakah adil menciptakan makhluk, memberinya kesenangan hidup, lalu melenyapkannya? Apakah adil memberikan sebagian manusia kelapangan, sementara sebagian lain harus hidup dalam kesempitan? Mengapa sebagian terlahir sebagai malaikat penuh cahaya, sementara sebagian lain sebagai setan yang penuh kegelapan? Pertanyaan-pertanyaan ini menggugat keadilan ilahi, dan setiap orang yang berfikir mendalam tentu pernah bersentuhan dengannya.

Namun, pandangan tauhid menuntut jawaban yang lebih tinggi. Tauhid berarti melihat alam semesta sebagai perbuatan Allah yang Mahabijaksana dan Mahaadil. Setiap perbedaan dan keragaman yang tampak di dunia sesungguhnya memiliki hikmah tersembunyi. Apa yang tampak buruk dalam pandangan kita bisa jadi memiliki peran penting dalam kesempurnaan sistem yang lebih besar.

Imam Ali a.s. dalam banyak ucapannya menyinggung betapa manusia seringkali sempit dalam melihat hakikat. Keterbatasan kita membuat sesuatu tampak sia-sia, padahal di balik itu ada pelajaran, fungsi, atau rahmat yang lebih luas. Al-Qur’an sendiri mengingatkan, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS 2:216).

Menyingkap Makna Keadilan

Untuk menjawab problem keadilan, para ulama Syiah telah memberikan uraian panjang. Salah satu karya yang mendalam adalah ‘Adl-i Ilahi (Keadilan Allah), yang menguraikan prinsip-prinsip filsafat keadilan dalam Islam. Secara singkat, ada beberapa kaidah yang membantu kita memahami persoalan ini. Pertama, bahwa keberagaman adalah syarat kesempurnaan. Bila semua ciptaan seragam, dunia tidak akan memiliki harmoni. Kecantikan baru tampak bila ada keburukan sebagai kontras. Kesehatan baru bernilai bila ada sakit. Hidup baru bermakna bila ada kematian.

Kedua, penderitaan bukanlah keburukan mutlak. Ia seringkali menjadi jalan bagi manusia untuk tumbuh, mendekat kepada Allah, dan merasakan makna hidup yang lebih dalam. Banyak orang justru menemukan iman, kesabaran, dan kemuliaan dalam derita.

Ketiga, setiap makhluk diberi potensi sesuai perannya. Allah tidak menuntut tikus menjadi singa, atau manusia menjadi malaikat. Keadilan bukanlah menyamaratakan segalanya, melainkan menempatkan segala sesuatu pada tempat yang layak. Dalam istilah Imam Ali a.s., “Keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya.”

Keempat, kehidupan dunia bukanlah akhir dari segalanya. Apa yang tampak sebagai ketidakadilan di dunia akan menemukan kompensasi dan kelengkapannya di akhirat. Penderitaan orang beriman tidak sia-sia, melainkan investasi untuk kehidupan abadi.

Dengan memahami prinsip-prinsip ini, kita bisa melihat bahwa keadilan Allah tidak dapat diukur dengan kacamata dunia semata. Dunia hanyalah bagian kecil dari sistem besar ciptaan, sementara rahasia penuh dari keadilan baru terbuka ketika manusia memasuki alam akhirat.

Dunia sebagai Ladang, Akhirat sebagai Hasil

Islam mengajarkan keseimbangan: dunia adalah ladang, akhirat adalah hasil panen. Barangsiapa menanam dengan benar, ia akan menuai kebaikan abadi. Barangsiapa lalai, ia hanya akan menyesali. Karena itu, Rasulullah saw. sering mengingatkan agar umatnya tidak tertipu oleh dunia. Dalam sebuah hadis beliau bersabda, “Dunia adalah ladang bagi akhirat.” Artinya, segala amal yang dilakukan di sini akan menentukan nasib di sana.

Pandangan ini menghindarkan manusia dari dua sikap ekstrem: mengabaikan dunia karena dianggap hina, atau terjebak sepenuhnya dalam dunia karena terlena dengan kenikmatannya. Dunia memang fana, tetapi ia adalah jalan menuju yang baka. Menjaga keseimbangan antara mengelola kehidupan dunia dan mempersiapkan diri untuk akhirat adalah tanda kecerdasan spiritual seorang mukmin.

Pada akhirnya, pandangan dunia Islam mengajarkan keterpaduan: bahwa dunia dan akhirat, kearifan dan keadilan, semuanya terikat dalam satu sistem ilahi yang sempurna. Tugas manusia bukanlah menggugat, melainkan memahami, menerima, dan berjuang di dalam kerangka sistem itu. Kesadaran akan asal, perjalanan, dan tujuan inilah yang membuat hidup penuh makna.

Imam Ali a.s. mengingatkan, “Manusia sedang tidur, ketika mati mereka terbangun.” Dunia ini, dengan segala suka dukanya, hanyalah mimpi singkat. Akhirat adalah kenyataan yang abadi. Siapa yang menyadari hal ini sejak dini, ia akan menjalani hidup dengan lebih tenang, penuh harapan, dan terarah. Dunia hanyalah persinggahan, sedang akhirat adalah rumah sejati kita.


Disadur dari buku Pandangan Dunia Tauhid – Syahid Muthahhari

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT