Ketika kita berbicara tentang keadilan, sering kali bayangan pertama yang muncul dalam pikiran banyak orang adalah keseragaman. Seolah-olah keadilan berarti semua orang menerima hal yang sama, tanpa perbedaan, tanpa variasi. Namun, benarkah demikian? Apakah mungkin sebuah masyarakat, apalagi alam semesta yang luas ini, dapat bertahan tanpa perbedaan peran, kapasitas, dan takdir?
Mari kita mulai dari gambaran yang sederhana. Seorang pemilik perusahaan mempekerjakan dua kelompok pekerja: satu ahli di bidangnya dan satu lagi belum berpengalaman. Ketika tiba waktunya membayar upah, tentu pemilik perusahaan memberi gaji lebih besar kepada pekerja ahli sesuai keahlian dan kontribusinya. Pertanyaannya: apakah perbedaan ini tidak adil? Apakah tindakan itu termasuk diskriminasi?
Jawabannya jelas: tidak. Keadilan tidak identik dengan penyeragaman. Keadilan justru berarti memberikan hak kepada setiap orang sesuai kadar usaha, kemampuan, dan peran yang mereka jalankan. Menyamakan gaji pekerja ahli dengan pekerja tidak ahli justru akan melukai prinsip keadilan itu sendiri, karena mengabaikan perbedaan nyata dalam kapasitas dan pengorbanan.
Begitulah pula kehidupan ini. Alam semesta, dengan segala kerumitan dan keindahannya, penuh dengan perbedaan: antara siang dan malam, antara gunung yang menjulang dan lautan yang luas, antara manusia yang penuh akal budi dan hewan-hewan yang tunduk pada naluri. Semua perbedaan ini tidak lahir dari kesemrawutan, tetapi dari suatu tatanan kosmik yang sangat rapi dan penuh hikmah.
Al-Qur’an menegaskan, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran tertentu. Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan, seperti kejapan mata.” (QS al-Qamar: 49–50). Ayat ini mengingatkan kita bahwa setiap fenomena, setiap perbedaan kapasitas, setiap perubahan nasib dalam kehidupan manusia, semua tunduk pada ketetapan ilahi yang penuh perhitungan. Tidak ada yang muncul begitu saja tanpa sebab atau makna.
Namun di sinilah manusia sering tergelincir. Dengan pandangan terbatasnya, ia kadang melihat kesedihan, kegagalan, atau penderitaan sebagai tanda ketidakadilan. Seperti seorang anak kecil yang melihat tukang kebun memangkas ranting pohon di musim semi. Anak itu, dengan pengetahuan yang sempit, mengira tukang kebun kejam karena memotong cabang-cabang yang sedang tumbuh. Padahal, si tukang kebun memahami bahwa pemangkasan itu penting agar pohon tumbuh lebih kuat, lebih rimbun, dan lebih berbuah di kemudian hari. Demikianlah manusia kerap salah menafsirkan penderitaan dalam hidupnya karena tidak melihat tujuan jangka panjang dari Sang Pencipta.
Jika dunia ini seragam tanpa perbedaan, ia akan menjadi dunia yang beku dan mati. Tidak akan ada kreativitas, tidak akan ada karya seni, bahkan tidak akan ada nilai dalam perjuangan dan kebajikan. Bayangkan sebuah kanvas yang seluruhnya dipenuhi warna putih tanpa garis, tanpa gradasi, tanpa bayangan. Dapatkah kita menyebutnya sebuah lukisan? Keindahan seni justru lahir dari perpaduan warna, dari kontras antara gelap dan terang, dari detail-detail yang beragam namun saling melengkapi. Begitu pula kehidupan: ia baru bermakna karena ada suka dan duka, ada terang dan gelap, ada perjuangan dan kemenangan.
Perbedaan kapasitas, bakat, dan peran dalam kehidupan sosial adalah salah satu keajaiban penciptaan. Setiap manusia lahir dengan potensi, kekuatan, sekaligus keterbatasan. Tidak ada seorang pun yang bisa memenuhi seluruh kebutuhannya sendiri. Kita saling bergantung, saling melengkapi. Seorang petani mungkin tidak mahir membangun rumah, seorang insinyur mungkin tidak piawai menanam padi, dan seorang ilmuwan mungkin tidak menguasai seni berdagang. Namun justru dalam keragaman inilah masyarakat dapat berjalan, karena setiap orang menyumbangkan sesuatu yang tidak dimiliki orang lain.
Ibarat sebuah pesawat terbang yang terdiri dari ribuan komponen berbeda: sayap, mesin, kabel, baut, dan sebagainya. Masing-masing memiliki bentuk, ukuran, dan fungsi yang berbeda, namun semuanya terhubung dalam satu sistem yang saling mendukung. Tanpa keragaman itu, pesawat hanyalah tumpukan logam yang tak berguna. Begitu pula manusia dalam tatanan kehidupan sosial dan spiritual: setiap peran memiliki arti dalam orkestra besar ciptaan Tuhan.
Sayangnya, pandangan dunia materialistik sering memandang keragaman ini dengan sinis. Bagi mereka, perbedaan nasib, penderitaan, atau keterbatasan adalah bukti ketidakadilan Tuhan—atau bahkan alasan untuk menolak keberadaan Tuhan sama sekali. Mereka membayangkan dunia ideal sebagai dunia tanpa rasa sakit, tanpa kegagalan, tanpa perbedaan. Namun anggapan ini lahir dari pandangan yang sempit terhadap kehidupan.
Materialisme memandang manusia semata-mata sebagai makhluk biologis tanpa tujuan spiritual. Hidup, bagi mereka, hanyalah rangkaian proses mekanis tanpa arah. Dalam kerangka ini, penderitaan manusia tidak memiliki makna apa pun selain kecelakaan kosmik belaka. Pandangan semacam ini pada akhirnya menjerumuskan manusia ke dalam keputusasaan. Jika hidup tidak memiliki tujuan, maka nilai-nilai moral kehilangan pijakannya. Pengorbanan, kesabaran, bahkan kebaikan sekalipun menjadi tidak berarti. Manusia lalu menjadikan hawa nafsu dan kepentingan pribadi sebagai tolok ukur segalanya, karena tidak ada lagi tujuan yang lebih tinggi untuk diraih.
Sebaliknya, pandangan dunia tauhid mengajarkan bahwa hidup bukanlah kebetulan tanpa makna. Dunia ini bukan panggung tanpa sutradara. Setiap peristiwa, setiap kesulitan, bahkan kematian sekalipun, memiliki tempat dalam rencana ilahi yang lebih besar. Kehidupan dunia hanyalah satu episode dalam perjalanan panjang manusia menuju kesempurnaan. Di balik penderitaan ada ujian, di balik kesulitan ada penyucian, dan di balik kematian ada kehidupan yang lebih abadi.
Bagi seorang mukmin, dunia ini adalah ladang tempat menanam amal, bukan tujuan akhir. Kebahagiaan sejati bukan diukur dari bebasnya hidup dari kesulitan, melainkan dari sejauh mana manusia menjadikan hidup ini sebagai sarana mendekat kepada Allah. Itulah sebabnya Al-Qur’an sering mengingatkan bahwa kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang kekal.
Keadilan ilahi akan terwujud sepenuhnya di akhirat, ketika setiap amal, sekecil apa pun, akan ditimbang dengan seadil-adilnya. Di sana, semua keluhan tentang ketidakadilan hidup akan menemukan jawabannya. Apa yang tampak sebagai kesedihan di dunia ini mungkin justru menjadi jalan menuju kebahagiaan abadi di akhirat. Sebaliknya, kenikmatan yang tampak manis di dunia bisa saja berubah menjadi penyesalan di hari perhitungan.
Dengan pemahaman ini, seorang mukmin melihat dunia dengan cara yang berbeda. Ia tidak lagi terjebak pada pandangan sempit bahwa hidup harus seragam dan bebas dari penderitaan agar disebut adil. Ia melihat harmoni di balik keragaman, hikmah di balik penderitaan, dan keadilan di balik setiap takdir. Ia menyadari bahwa hidup ini bukan tujuan akhir, melainkan perjalanan menuju Allah, Tuhan yang Maha Adil dan Maha Bijaksana.
Disarikan dari buku karya Mujtaba Musawi Lari – Keadilan Allah Qada dan Qadar Manusia