Bayangkan seorang pemilik perusahaan yang mempekerjakan dua jenis karyawan: mereka yang ahli dan mereka yang kurang terampil. Ketika tiba saatnya memberikan gaji, ia tentu membayar lebih tinggi kepada pekerja yang ahli dibandingkan pekerja yang tidak ahli. Apakah perbedaan gaji ini merupakan ketidakadilan? Ataukah ini bentuk keadilan yang sesungguhnya?
Tanpa ragu, kita melihat adanya perbedaan di sini. Namun, menyebutnya sebagai ketidakadilan adalah sebuah kesalahan. Keadilan bukanlah menyamaratakan segalanya tanpa mempertimbangkan kapasitas, tanggung jawab, atau kontribusi. Sebaliknya, keadilan berarti menempatkan segala sesuatu pada tempat yang tepat sesuai kadar dan kemampuannya. Memberi gaji yang sama antara karyawan ahli dan tidak ahli justru akan mengabaikan prinsip keadilan itu sendiri.
Contoh sederhana ini mengantar kita pada pemahaman yang lebih luas tentang dunia dan tatanan penciptaan. Ketika kita menatap kehidupan dengan lebih mendalam, kita melihat bahwa alam semesta dipenuhi variasi dan keragaman. Ada terang dan gelap, sukses dan gagal, keindahan dan keburukan, hidup dan mati. Semua ini bukanlah sebuah kebetulan, apalagi ketidakadilan, melainkan bagian dari keseimbangan umum yang menopang kehidupan.
Seandainya dunia ini seragam tanpa perbedaan, kehidupan akan kehilangan warna dan keindahannya. Ibarat sebuah lukisan, keindahan bukan terletak pada satu warna tunggal, tetapi pada perpaduan berbagai warna, garis, dan gradasi yang membentuk mahakarya seni. Begitu pula dengan alam semesta: harmoni muncul dari keragaman, bukan keseragaman.
Al-Qur’an menegaskan hal ini dalam firman Allah:
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran dan ketentuan tertentu. Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan, seperti kejapan mata.”
(QS Al-Qamar: 49-50)
Ayat ini menjelaskan bahwa seluruh ciptaan berada dalam sistem yang sangat rapi dan teratur. Tidak ada yang diciptakan secara sia-sia, tidak ada yang kebetulan. Perbedaan di antara makhluk merupakan bagian dari hukum penciptaan yang tidak bisa diabaikan.
Sayangnya, sebagian orang memandang perbedaan sebagai bentuk ketidakadilan. Mereka beranggapan bahwa dunia yang penuh variasi ini adalah bukti ketidakteraturan atau bahkan penindasan. Pandangan seperti ini biasanya lahir dari cara berpikir materialistik yang sempit—melihat penderitaan, kegagalan, atau kesulitan hidup semata-mata dari kacamata duniawi, tanpa menyadari adanya tujuan dan tatanan Ilahi di balik semuanya.
Padahal, bila manusia menyelami hakikat kehidupan, ia akan memahami bahwa segala sesuatu memiliki tempat, fungsi, dan takarannya masing-masing. Tidak ada satu pun ciptaan yang berdiri di luar kehendak dan rencana Allah. Segala gerak, perubahan, bahkan penderitaan sekalipun, berada dalam sistem yang rapi dan memiliki tujuan yang jelas.
Kehidupan, Ujian, dan Kesempurnaan Manusia
Pandangan dunia materialistik sering kali menganggap bahwa manusia hanyalah makhluk tanpa arah, terikat pada mekanisme alam semata. Hidup dilihat sebagai rangkaian peristiwa acak tanpa makna, sehingga penderitaan dianggap sebagai bukti ketidakadilan. Bila demikian adanya, kehidupan tidak lebih dari sebuah lelucon keji yang dimainkan alam terhadap manusia, dan semua jerih payah, perjuangan, serta pengorbanan akan tampak sia-sia.
Namun, pandangan religius melihat dunia dengan cara yang sangat berbeda. Kehidupan ini bukanlah permainan tanpa tujuan. Dunia diciptakan dengan kesadaran, kehendak, dan kebijaksanaan Ilahi. Ada keadilan yang meliputi setiap partikel alam semesta, dan segala sesuatu bergerak menuju kesempurnaan sesuai kadar dan kapasitasnya.
Manusia diciptakan berbeda-beda dalam bakat, kemampuan, dan kesempatan. Perbedaan ini bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan bagian dari rancangan Ilahi agar manusia saling membutuhkan dan bekerja sama membangun peradaban. Seperti halnya sebuah pesawat yang terdiri dari berbagai komponen berbeda—mesin, sayap, ekor, dan kokpit—semuanya memiliki fungsi unik yang tak tergantikan. Tanpa perbedaan itu, pesawat hanyalah tumpukan logam tak berguna.
Begitu pula kehidupan sosial manusia. Setiap individu memiliki peran dan tanggung jawab sesuai kemampuannya. Ada yang menjadi pemimpin, ada yang menjadi ilmuwan, ada yang menjadi petani, dan ada yang menjadi guru. Semua peran ini membentuk harmoni sosial yang memungkinkan manusia berkembang menuju kesempurnaan.
Al-Qur’an mengingatkan:
“Engkau tidak akan pernah menemukan perubahan sedikit pun dalam sunnah Allah.”
(QS Fathir: 43)
Ayat ini menegaskan bahwa hukum-hukum Ilahi dalam penciptaan bersifat tetap dan konsisten. Manusia tidak bisa menukar posisinya dengan makhluk lain, sebagaimana angka dua tidak bisa menggantikan posisi angka satu dalam bilangan. Setiap makhluk memiliki tempat yang sudah ditentukan sesuai dengan hikmah dan kehendak Allah.
Orang yang beriman memahami bahwa penderitaan, kegagalan, dan perbedaan dalam hidup bukanlah bentuk ketidakadilan, melainkan ujian dan sarana penyempurnaan diri. Dunia ini hanyalah tempat persinggahan, bukan tujuan akhir. Kehidupan yang sejati menanti di akhirat, di mana keadilan Ilahi akan terwujud sepenuhnya. Segala amal manusia—baik atau buruk—akan dihisab dengan seadil-adilnya, tanpa ada yang terlewat sedikit pun.
Karena itu, seorang mukmin memandang dunia dengan bijaksana. Ia tidak larut dalam penderitaan, tidak pula terbuai oleh kesenangan sementara. Ia melihat segala peristiwa sebagai ujian yang harus dihadapi dengan sabar dan syukur. Kemenangan sejati bukanlah keberhasilan materi semata, melainkan kedekatan dengan Allah dan keselamatan di akhirat.
Pandangan seperti inilah yang melahirkan ketenangan batin, keteguhan hati, dan semangat perjuangan. Seorang mukmin menyadari bahwa hidup di dunia ini hanya sementara. Segala sesuatu akan berlalu, tetapi amal dan ketulusan akan abadi di sisi Allah. Ia berjuang bukan untuk dunia semata, melainkan untuk tujuan yang lebih tinggi: hidup demi Allah dan mati demi Allah.
Pada akhirnya, keadilan Ilahi bukan berarti menyamaratakan segalanya, tetapi menempatkan setiap makhluk sesuai kadar dan kemampuannya. Perbedaan bukanlah ketidakadilan, melainkan tanda kebijaksanaan Allah dalam mengatur alam semesta. Dengan memahami hal ini, manusia akan melihat dunia dengan pandangan yang lebih jernih, penuh makna, dan jauh dari keputusasaan.
Disarikan dari buku karya Mujtaba Musawi Lari – Keadilan Allah Qada dan Qadar Manusia