Di antara puncak keutamaan akhlak yang diperjuangkan dalam jalan tazkiyah adalah yakin. Keyakinan yang mantap—yakni suatu pandangan kokoh terhadap kebenaran, terhadap Allah, terhadap hari akhir dan terhadap jalan para imam suci as—merupakan fondasi bagi segala amal. Seseorang yang berhias dengan yakin ibarat gunung yang tak tergoyahkan, kokoh di tengah badai zaman, tetap istiqamah di jalan tauhid, meski godaan dunia dan bisikan setan mengitari langkahnya.
Namun yakin ini memiliki lawan yang ganas dan senyap: kebodohan, angan-angan kosong, dan was-was yang melumpuhkan. Semua itu adalah penyakit batin yang menghancurkan fondasi iman, menyesatkan akal, dan menutup jalan tazkiyah.
Kebodohan: Sumber Keterpurukan Spiritual
Kebodohan—atau jahl dalam istilah keislaman—adalah penyakit ruhani yang paling dasar. Tidak mengherankan jika manusia merasa terhina ketika disebut bodoh. Sebab kebodohan adalah kekurangan yang mencolok, dan Islam tidak menoleransi umat yang hidup dalam kejahilan, apalagi dalam hal agama.
Imam Ja’far Shadiq as bersabda tentang pentingnya ilmu, dan menunjukkan ketegasan terhadap orang yang tidak memahami agamanya. Dalam sebuah peristiwa, ketika majelis beliau dipenuhi oleh bangsawan Quraisy dan tokoh Bani Hasyim, beliau mempersilakan Hisyam bin Hakam—seorang pemuda yang masih muda—duduk di sisi beliau. Saat orang-orang merasa keberatan, Imam berkata, “Ini adalah penolong kami dengan hati, lidah, dan tangannya.” Kemudian beliau membaca ayat:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS. al-Mujadalah: 11)
Ini adalah pengakuan bahwa ilmu adalah keutamaan yang lebih tinggi dari status sosial atau umur. Hisyam didahulukan karena ilmunya, bukan karena usianya.
Kebodohan dalam Islam dibagi menjadi tiga tingkatan. Yang pertama disebut jahl basith, yaitu kebodohan sederhana: tidak tahu bahwa ia tidak tahu. Seperti orang yang tidak bisa membaca dan menulis, atau tidak tahu hukum-hukum Islam dasar, meskipun sudah dewasa dan berpendidikan umum. Kebodohan semacam ini merupakan cela dan kekurangan.
Karena itu, setiap Muslim, lelaki maupun perempuan, wajib memahami agama secara mendasar. Wajib mengetahui tata cara shalat, wudhu, puasa, haid, najis, dan yang semacamnya. Wajib pula bisa membaca Al-Qur’an dengan benar. Bahkan, menurut Imam Shadiq as, orang yang tidak bisa membaca Al-Qur’an dengan baik adalah orang yang belum sempurna keislamannya.
Ilmu: Kewajiban Seumur Hidup
Rasulullah saw bersabda: “Mencari ilmu adalah kewajiban atas setiap Muslim.” Bahkan lebih dari itu, beliau juga bersabda: “Carilah ilmu dari buaian hingga liang kubur.”
Hadis ini tidak hanya sekadar motivasi, tetapi penegasan bahwa insting belajar ada sejak lahir. Bahkan saat azan dan iqamah dibisikkan ke telinga bayi, Islam ingin agar kalimat asyhadu an la ilaha illallah dan asyhadu anna Muhammadur Rasulullah meresap ke dalam tubuh dan jiwanya sejak awal kehidupan.
Jika ilmu ditinggalkan, maka Al-Qur’an menegaskan bahwa kehidupan akan sempit:
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.”
(QS. Thaha: 124)
Ayat ini bukan hanya bicara tentang kemiskinan materi. Ia juga bicara tentang kegelisahan, kegalauan, dan penderitaan batin yang mengiringi orang yang menjauhi ilmu agama dan Al-Qur’an.
Betapa menyedihkan kenyataan bahwa banyak pemuda dan pemudi Muslim yang telah lulus SMA atau bahkan sarjana, namun tidak bisa membaca Al-Qur’an. Mereka mengejar gelar duniawi, namun buta terhadap firman Allah. Ini adalah cacat besar, dan kekurangan ini akan terasa pedih saat maut mendekat.
Ragu-Ragu: Luka Jiwa yang Tak Tampak
Selain kebodohan, musuh yakin berikutnya adalah keraguan. Ragu terhadap kebenaran Islam, ragu terhadap jalan para imam, terhadap revolusi, terhadap tauhid, terhadap akhirat—semua ini seperti duri yang menusuk jiwa. Rasa sakitnya tidak tampak secara fisik, namun melumpuhkan ruh, memutus semangat dan membuat manusia hidup dalam kebimbangan.
Al-Qur’an menggambarkan keadaan mereka:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekufurannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka.”
(QS. an-Nisa’: 137)
Keraguan itu membuat mereka berubah-ubah. Hari ini mendukung kebenaran, besok menentangnya. Hari ini mereka memuji ulama, besok mencacinya. Karena iman mereka tidak berakar dalam ilmu dan keyakinan, maka sedikit ujian atau godaan membuat mereka bergeser dari jalannya.
Imam Ja’far Shadiq as berkata:
“Seorang Mukmin seperti gunung yang kokoh, tidak digoyahkan oleh badai.”
Dalam riwayat lain:
“Seorang Mukmin seperti tangkai gandum yang lentur, dia mungkin condong ke kanan dan ke kiri, namun akarnya tetap kokoh di tanah.”
Kematian: Ujian Terakhir Bagi Keyakinan
Saat maut datang, semua akan diuji. Imam Ali bin Abi Thalib as berkata kepada Harits Hamadani:
“Wahai Harits, setiap manusia akan melihatku saat sakaratul maut.”
Pada saat itu, setan dan dunia akan berlomba menarik jiwa manusia. Jika imannya hanya berada di lidah, jika keyakinannya lemah dan mudah goyah, maka dia akan wafat dalam keadaan marah kepada Allah, kepada Amirul Mukminin, dan kepada takdir. Na’udzubillah.
Maka mintalah kepada Allah dengan doa yang selalu diajarkan para ulama:
“Ya Allah, jadikanlah akhir urusan kami dalam kebaikan, dan jangan jadikan akhir hidup kami dalam keburukan.”
Jangan sampai keraguan dan kebodohan membuntuti kita hingga liang kubur, lalu menampakkan wajahnya saat nyawa hendak lepas dari jasad. Jangan sampai 70 tahun kita hidup dengan meneriakkan “Ya Ali!” namun di detik-detik terakhir hati kita berisi kebencian atau keraguan kepada Waliullah.
Jadilah Gunung, Bukan Daun Tertiup Angin
Wahai para pemuda dan pemudi, mantapkanlah keyakinan kalian. Jadilah seperti gunung yang tak tergoyahkan. Jika Anda mencintai Ahlulbait, maka cintailah dengan ilmu dan argumen. Jika Anda mendukung revolusi Islam, maka jangan goyah karena perilaku buruk segelintir manusia. Jika Anda beriman, maka jangan biarkan ragu dan angan kosong menggerogoti ruh Anda.
Belajarlah. Galilah ilmu. Kuasailah risalah amaliah, baca Al-Qur’an, pahami ushuluddin, kenali riwayat. Karena hanya dengan ilmu, keyakinan kita menjadi kokoh. Dan hanya dengan keyakinan yang kokoh, kita akan mati dengan tenang dalam keadaan tersenyum kepada Amirul Mukminin.
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS. al-Mujadalah: 11)
Disarikan dari buku karya Ayatullah Husain Mazhahiri – Membentuk Pribadi Menguatkan Ruhani