Kedua, jujur sebagai lawan pelanggaran, yaitu jujur dalam berjanji. Jika seseorang berjanji tapi dia mengetahui bahwa dia akan melanggarnya maka dustanya akan kembali kepada dusta dengan tipe dan makna yang pertama. Sedangkan arti yang dimaksud di sini ialah bahwa dia tidak berniat mengingkarinya ketika berjanji tapi berapa lama kemudian timbul niat untuk mengingkari janji. Jika janjinya masuk dalam kategori akad dan transaksi atau perjanjian penting yang pelanggarannya akan merugikan orang lain maka hukumnya jelas wajib dipenuhi dan haram dilanggar, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ …
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.”[1]
أَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً.
“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”[2]
Janji yang tidak masuk dalam kategori demikian, yakni sekedar diucapkan secara spontan dan tak ada bobotnya maka hukumnya makruh dan tidak sampai haram dilanggar, menurut sebagian besar fakih. Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa hukumnya syubhat haram, karena terdapat beberapa riwayat yang sangat menekankan masalah pemenuhan janji, antara lain sebagai berikut;
Dari Syuaib Al-Aqarqufi dengan sanad yang sempurna dari Imam Jakfar Al-Shadiq dari para leluhurnya bahwa Rasulullah SAW bersabda;
مَنْ كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليفِ إذا وعد.
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat maka hendaknya memenuhi apabila berjanji.”[3]
Dari Hisyam bin Salim dengan sanad yang sempurna bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;
عدّة المؤمن أخاه نذر لا كفَّارة له. فمَنْ أخلف فبخلف الله بدأ، ولمقته تعرَّض، وذلك قوله : ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لاَ تَفْعَلُونَ * كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لاَ تَفْعَلُونَ.
“Janji orang yang beriman kepada saudara seimannya merupakan sebentuk nazar yang harus dipenuhi, hanya saja pelanggarannya tak mengharuskan membayar kaffarah. Maka siapa yang melanggar janji maka dia menentang Allah dan mendapat murka Allah, sebab Dia berfirman; ‘Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (QS. Al-Shaf [61] 3).’”[4]
Diriwayatkan dari Sama’ah bin Mahran dengan sanad yang sempurna dari Imam Jakfar Al-Shadiq dari leluhurnya bahwa Rasulullah SAW bersabda;
مَنْ عامل الناس فلم يظلمهم، وحدَّثهم فلم يكذبهم، ووعدهم فلم يخلفهم، كان ممَّن حَرُمت غيبته، وكملت مروءته، وظهر عدله، ووجبت أخوّته.
“Barangsiapa bergaul dengan masyarakat lalu tidak menzalimi mereka, berbicara dengan mereka lalu tidak mendustai mereka, dan berjanji kepada mereka lalu tidak mengingkarinya maka dia termasuk orang yang haram digunjing, sempurna kehormatannya, menampak keadilannya, dan wajib dipandang sebagai saudara.”[5]
Dari Mansur bin Hazim dengan sanad yang sempurna bahwa Imam Jakfar Al-Shaqiq as berkata;
إنَّما سُمِّي إسماعيل (ع) صادق الوعد; لأ نّه وعد رجلاً في مكان، فانتظره سنة، فسمَّاه الله صادق الوعد. ثُمَّ إنَّ الرجل أتاه بعد ذلك، فقال له إسماعيل : ما زلت منتظراً لك.
“Ismail AS dijuluki ‘Shadiq al-Wa’ad (orang yang benar janjinya) adalah karena dia berjanji kepada seseorang di suatu tempat lalu dia menunggunya sampai satu tahun sehingga Allah menamainya Shadiq al-Wa’ad. Orang itu kemudian mendatanginya setelah itu dan Ismailpun berkata kepadanya, ‘Aku masih menantimu.’”[6]
Ketiga, jujur dalam arti solid dalam melihat realitas dan hakikat, yakni jujur dalam beriman, dan tidak sekedar mengaku beriman, atau bahkan tidak sekedar mendapatkan kepuasan intelektual, melainkan juga merasuk dalam kalbu, mengendap dalam perasaan, dan berpengaruh pada tingkah laku. Bisa jadi berkenaan dengan makna inilah firman Allah SWT;
طَاعَةٌ وَقَوْلٌ مَّعْرُوفٌ فَإِذَا عَزَمَ الْأَمْرُ فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ.
“Taat dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka). Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka. “[7]
(Bersambung)
[1] QS. Al-Maidah [5]: 1.
[2] QS, Al-Isra’ [17]: 34.
[3] Al-Wasa’il, jilid 12, hal. 165, Bab 109 Ahkam Al-Asyrah, hadis 2.
[4] Ibid, hadis 3.
[5] Al-Wasa’il, jilid 12, hal. 279, Bab 152, Ahkam Al-Asyrah, hadis 2.
[6] Ibid, hal. 164, bab 109, Ahkam Al-Asyrah, hadis 1.
[7] QS. Muhammad {47]: 21.