Seorang mukmin harus selalu waspada karena hidup ini bagaikan berjalan di atas jurang neraka. Di bawahnya ada siksa abadi, sementara di atasnya ada rahmat Ilahi. Namun, tidak ada jaminan seseorang tidak akan terjatuh ke dalam siksa tersebut.
Dalam hidup, manusia berada di tepi jurang yang bisa menjerumuskannya ke dalam azab abadi. Jika setelah kematian semuanya selesai, mungkin tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, kenyataannya, sedikit kesalahan di dunia ini bisa membawa pada siksa yang kekal.
Saat menghadapi kesulitan besar, banyak orang berharap kematian sebagai jalan keluar. Mereka berpikir, “Seandainya aku sudah mati, aku tidak akan menderita seperti ini.” Bahkan orang beriman pun kadang berdoa agar Allah segera mencabut nyawanya karena sudah tidak tahan dengan penderitaan dunia.
Namun, kematian bukanlah jalan keluar dari siksa abadi. Al-Quran menggambarkan bagaimana penghuni neraka memohon kepada penjaga neraka, Malaikat Malik, untuk mengakhiri penderitaan mereka. Namun jawabannya, “Kalian akan tetap tinggal di neraka untuk selamanya.” Ini menunjukkan bahwa kesulitan yang kita alami, baik di dunia maupun di akhirat, sering kali akibat kelalaian kita sendiri. Karena kita tenggelam dalam kelalaian, kita tidak menyadari bahaya yang mengancam.
Dalam banyak tulisan dan ceramahnya, Imam Khomeini (rahimahullah) sering menggunakan kata “tawajjuh,” yang berarti memerhatikan. Beliau sering mengingatkan, “Oghoyon tawajjuh dosyteh bosyid…” (perhatikan dan cermatilah!). Ada makna mendalam di balik penggunaan kata ini, karena banyak masalah muncul dari kelalaian dan kurangnya perhatian.
Jika kita benar-benar memerhatikan bahwa kita bisa saja terjatuh ke dalam lautan api abadi kapan saja, tentu kita tidak akan hidup dengan santai. Sebaliknya, kita akan memiliki semangat dan kesadaran yang kuat dalam menjalani hidup. Tangisan, doa, dan munajat hanya datang dari mereka yang memiliki tawajjuh. Sedikit saja kita memiliki tawajjuh, maka jeritan-jeritan doa di malam hari akan terwujud.
Jika kita tidak merasakan derita, itu karena kita kurang menyadari bahaya besar yang mengintai. Seandainya kita benar-benar menyadari bahwa hidup ini seperti berjalan di atas ruang dengan lautan api di bawahnya, kita pasti akan mencari pegangan yang bisa menyelamatkan kita dari terjatuh. Setelah tawajjuh, mencari pegangan untuk menjaga diri dari bahaya adalah hal terpenting.
Jika keadaan ini benar-benar kita pikirkan, maka sesuatu yang paling urgen untuk dilakukan manusia, tidak lain adalah berpegang-teguh pada tali Allah (i’tisham bi hablillâh). Al-Quran, Rasul saw dan Ahlulbait as telah berulang-ulang menjelaskan masalah yang serius ini sambil menunjukkan jalan keluarnya, seperti halnya saran dan anjuran yang diberikan kepada umat manusia agar berpegang teguh pada tali Allah, atau seperti dalam ayat Al-Qur’an pada Surah Luqman: 22.
“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah kesudahan segala urusan.”
Kata ‘urwah berarti pegangan yang kuat, yang menjadi tempat bergantung agar manusia tidak terjatuh. Misalnya, pegangan pada ceret disebut ‘urwah karena digunakan untuk mengangkat ceret tersebut. Manusia butuh pegangan yang kokoh (wutsqa) untuk menjaga diri dari bahaya. Wajar jika seseorang yang hampir jatuh akan mencari pegangan yang kuat untuk menyelamatkan dirinya. Ini adalah kebutuhan alami manusia. Jika seseorang menyadari kebutuhan ini, dia akan mencari cara untuk memenuhinya.
Allah Swt mengingatkan manusia bahwa untuk selamat dari bahaya, mereka harus berpegang pada tali yang kokoh, yaitu tali Ilahi yang kuat. Tali-tali yang lemah seperti sarang laba-laba tidak bisa diandalkan untuk menyelamatkan diri. Jika ingin mencapai kebahagiaan dan keselamatan, manusia tidak bisa bergantung pada sarana dunia yang rapuh. Hanya ada satu tali yang benar-benar kuat, yaitu hablullah (tali Allah), yang tidak akan pernah putus. Tali ini adalah hubungan kuat antara manusia dan Tuhan. Jika seseorang memperkuat hubungan ini, dia telah berpegang pada sesuatu yang tidak akan pernah lepas.
Al-Quran menegaskan bahwa tali Ilahi (hablullah) tidak akan pernah putus, sementara tali-tali selainnya cepat atau lambat akan terputus. Tali-tali duniawi sering kita anggap tahan lama, padahal dalam pandangan Ilahi, semuanya hanya sementara. Seperti yang dikatakan dalam ayat, “Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh, sementara Kami memandangnya dekat.” (QS. Al-Ma’arij: 6-7)
Untuk meraih keinginan dan harapan, banyak orang bergantung pada sarana duniawi, tetapi mereka lupa bahwa hanya ada satu jalan yang benar-benar bisa menyelamatkan, yaitu jalan Allah. Hablullah dalam ayat “wa’tashimû bi hablillahi jamî’an” ditafsirkan sebagai berbagai substansi, seperti Al-Quran, Islam, Rasulullah saw, dan Ahlulbait as. Wilayah para Imam suci as juga merupakan bagian dari hablullah. Namun, esensinya adalah hubungan yang kuat dengan Allah Swt.
Jika seseorang ingin selamat, dia harus menjalin hubungan dengan Allah. Menerima dan mengamalkan apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw, Ahlulbait as, dan Al-Quran dianggap sebagai membangun hubungan dengan Allah. Apa pun yang terkait dengan-Nya berarti menjalin hubungan dengan-Nya.
Tali (habl) dalam konteks ini berfungsi sebagai penghubung antara manusia dengan tujuan akhir mereka, yaitu Allah. Kata sabab sering digunakan sebagai sinonim dari habl, yang juga berarti penghubung atau perantara. Firman Allah, “Wabtaghů ilaihil wasilah” (dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya), mencakup makna sabab dan habl. Bertawasul kepada Rasul dan para Imam as adalah salah satu cara untuk membangun hubungan dengan Allah. Untuk mencapai keselamatan, manusia harus sungguh-sungguh mencari jalan dan perantara yang telah ditentukan oleh Allah.
Imam Ali as mengatakan, “Dan ikatan apa yang lebih kuat dan bisa diandalkan selain ikatan antara engkau dengan Tuhanmu?” Ini menunjukkan bahwa tidak ada perantara yang lebih kokoh daripada hubungan antara manusia dan Allah. Untuk mendapatkan petunjuk, kita harus berpegang pada tali yang menghubungkan kita dengan Tuhan. Keberadaan kita sendiri terkait erat dengan Allah; tanpa kehendak-Nya, kita dan seluruh alam semesta tidak akan ada.
Oleh karena itu, Imam Ali as menekankan pentingnya takwa, mengingat Allah, dan memperkuat hubungan dengan-Nya untuk selamat dari bahaya. Allah tidak memaksa perlindungan-Nya kepada siapa pun, tetapi Dia melindungi orang-orang yang berpegang teguh pada-Nya. Dunia ini bukanlah alam yang deterministik; manusia harus memilih jalannya sendiri. Jika kita berpegang pada tali Ilahi, Allah akan menjaga dan melindungi kita. Namun, jika kita berpaling, Dia tidak akan memaksa kita untuk mengikuti jalan hidayah.
Imam Ali as juga menegaskan bahwa jika manusia mengaitkan dirinya dengan tali Ilahi, ia telah memilih sarana keselamatan yang paling kuat. Namun, jika seseorang meninggalkan hubungan ini dan tidak selamat, maka ia hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri. Manusia harus memohon kepada Allah Swt agar diberi taufik untuk dapat berpegang teguh dengan tali-Nya.
**Disarikan dari buku karya Ayatullah Taqi Misbah Yazdi – 22 Nasihat Abadi Penghalus Budi