Tragedi Karbala bukanlah akhir dari perjuangan Ahlulbait. Justru sesudahnya, babak baru perjuangan dimulai di panggung yang tidak lagi berupa medan perang, melainkan ruang kekuasaan: istana Yazid bin Muawiyah di Damaskus. Di sinilah para tawanan Ahlulbait —Imam Ali Zainal Abidin as dan para wanita keluarga Nabi saw — dihadapkan kepada penguasa tiran. Apa yang terjadi bukan sekadar penistaan terhadap keluarga Nabi, melainkan benturan antara kezaliman dan kebenaran yang tak bisa ditundukkan. Di majlis inilah debat sengit, tegangan spiritual, dan keberanian intelektual tersaji di hadapan publik.
Ketika para tawanan tiba di istana Yazid, ia menyambut dengan arogansi dan keangkuhan. Dalam sebuah peragaan kekuasaan, Yazid membaca bait syair dari Hushain bin Hammam al-Murri:
“Aku bunuh mereka, para lelaki itu,
meskipun kutahu mereka orang-orang yang mulia,
karena mereka telah menganiayaku.”
Syair ini adalah pembenaran tirani — bahwa kejahatan dilandasi oleh persepsi ancaman. Yazid seolah ingin membungkus kebrutalan Karbala dalam narasi pembenaran politik dan personal. Namun Imam Sajjad tidak menanggapi dengan syair balasan, melainkan dengan firman Allah:
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya…” (QS. Al-Hadid: 22–23)
Respons Imam bukan hanya bantahan, tetapi reposisi peristiwa Karbala dalam dimensi ilahi. Bahwa tragedi tersebut bukan karena kesalahan atau pelanggaran para syuhada, melainkan karena sunnatullah dalam ujian umat manusia. Yazid, terpicu, menjawab dengan ayat lain:
“Dan apapun musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri…” (QS. Asy-Syura: 30)
Namun ayat ini justru menjadi bumerang. Sebab siapa yang menumpahkan darah cucu Rasulullah jika bukan tangan kekuasaan itu sendiri? Sejarah dan logika berpihak kepada Imam Sajjad. (Ibn Tawus, Luhuf, hlm. 146)
Zainab binti Ali: Wanita yang Mengguncang Istana
Di tengah ketegangan, seorang lelaki Syam berdiri dan berkata kepada Yazid, “Wahai Amirul Mukminin, hadiahkan kepadaku budak perempuan ini,” yang dimaksud adalah Fathimah binti Husain. Permintaan itu menunjukkan betapa rendahnya moralitas penguasa dan rakyat yang tertipu propaganda. Fathimah ketakutan, memeluk erat bibi tercintanya, Zainab. Maka meledaklah Zainab:
“Demi Allah engkau telah berdusta dan tercela. Ia bukan untukmu dan bukan pula untuknya!”
Yazid pun membalas dengan nada tinggi, “Engkau yang dusta! Ia menjadi milikku. Jika aku menghendaki, niscaya kulakukan.”
Zainab tanpa ragu menyergah:
“Tidak akan terjadi! Allah tidak menjadikan hal itu untukmu kecuali engkau keluar dari agama kami.”
Yazid naik pitam, “Yang keluar dari agama adalah ayahmu dan saudaramu!”
Zainab menjawab dengan tajam:
“Justru dengan agama Allah, agama ayahku dan saudaraku, engkau dan kakekmu mendapat petunjuk jika engkau memang seorang Muslim!”
Debat ini adalah konfrontasi langsung antara perempuan yang tak bersenjata tapi berhati singa, dan raja lalim yang bersandar pada kekuasaan dunia. Zainab menunjukkan bahwa kebenaran tidak membutuhkan singgasana — cukup keberanian dan iman. Yazid membungkam lelaki Syam itu dengan kemarahan: “Enyahlah kau dari hadapanku! Semoga Allah mencabut nyawamu saat ini juga!” (Bihar al-Anwar, jld. 45, hlm. 135)
Khotbah Imam Sajjad: Kudeta Spiritual di Ruang Kekuasaan
Tidak puas dengan adu ayat, Yazid kemudian memanggil seorang khatib untuk mencaci Imam Ali dan Imam Husain dari atas mimbar. Ini adalah propaganda terselubung, upaya penguasa untuk merusak nama baik Ahlulbait. Namun Imam Sajjad segera berdiri dan berseru:
“Celaka engkau wahai khatib! Engkau membeli ridha manusia dengan kemurkaan Allah. Persiapkanlah tempatmu di neraka!”
Lalu Imam mengarahkan pandangan kepada Yazid dan berkata:
“Apakah engkau izinkan aku naik mimbar dan berbicara dengan kata-kata yang diridhai Allah?”
Yazid enggan, takut dampaknya. Tapi desakan publik membuatnya terpaksa mengizinkan. Maka Imam naik mimbar, dalam kondisi dirantai, tubuh lemah karena sakit, tapi lisannya menyala-nyala membakar kezaliman. (Al-Ihtijaj, al-Tabarsi, jld. 2, hlm. 307)
“Kami adalah orang-orang yang dianugerahi enam hal: ilmu, kesabaran, kefasihan, keberanian, toleransi, dan kecintaan di hati kaum mukmin…”
“Aku adalah putra Makkah dan Mina, putra Zamzam dan Shafa… putra Muhammad al-Mustafa…”
Kata-kata ini seperti palu yang menghantam fondasi kebohongan Yazid. Hadirin menangis. Banyak dari mereka yang baru pertama kali mendengar silsilah Ahlulbait langsung dari keturunannya. Yazid gelisah. (Tarikh Dimasyq, Ibn Asakir)
Adzan yang Menjadi Bumerang
Yazid memerintahkan adzan dikumandangkan untuk memutus khutbah Imam. Ketika muadzin mengucapkan:
“Allahu Akbar!”
Imam menyahut:
“Kunyatakan kebesaran-Nya yang tiada tertandingi…”
Lalu:
“Asyhadu an la ilaha illallah!”
Imam berkata:
“Kulitku, dagingku, darahku bersaksi akan hal itu…”
Dan saat:
“Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”
Imam menoleh ke Yazid dan berkata:
“Hai Yazid! Muhammad yang disebut ini, apakah kakekmu atau kakekku?…”
Publik terdiam. Yazid membisu. Serangan logika yang tak terbantahkan membuat propaganda runtuh. (Al-Ihtijaj, al-Tabarsi)
Revisi Sejarah oleh Penguasa
Yazid mencoba memutar balik opini. Ia berkata:
“Seandainya aku berteman dengan ayahmu, aku pasti akan melindunginya…”
Namun ini tak bisa menghapus dosa Karbala. Ia kemudian menyalahkan Ibnu Ziyad, menyebutnya sebagai penyebab tragedi. Kepada Imam Sajjad, ia berkata:
“Semoga Allah melaknat putra Marjanah…”
Ini adalah strategi klasik tiran: lempar tanggung jawab, cuci tangan. (Tarikh al-Ya’qubi, jld. 2, hlm. 245)
Konteks Sosial dan Kesadaran Syam
Imam Sajjad kepada Minhal bin Amr berkata:
“Keadaan kami seperti Bani Isra’il di bawah Fir’aun. Orang Arab bangga Muhammad dari mereka, tapi keluarganya dibunuh.”
Khutbah Imam dan debat-debat di majlis Yazid menjadi pemicu kesadaran rakyat Syam. Mereka mulai meragukan propaganda Bani Umayyah dan memahami siapa Ahlulbait yang sebenarnya. (Luhuf, Ibn Tawus)
Yazid akhirnya memerintahkan tawanan dipulangkan ke Madinah, dengan pengawalan malam hari agar tidak terjadi kerusuhan — sebuah pengakuan akan kegagalannya meredam gejolak opini publik. (Bihar al-Anwar, jld. 45, hlm. 148)
Majlis Yazid bukanlah forum debat biasa. Itu adalah pertempuran moral antara kebenaran dan kekuasaan. Imam Sajjad dan Sayyidah Zainab menunjukkan bahwa bahkan dalam keterikatan, manusia bisa bebas dan unggul — selama ia bersama kebenaran.
Kata-kata mereka, bukan pedang, yang meruntuhkan tembok propaganda. Inilah kemenangan sejati Ahlulbait di tengah kekalahan fisik. Dan sejak saat itu, revolusi Husaini tak bisa dibungkam — sebab ia telah lahir dari darah, tangisan, dan lisan yang suci.