Tak seperti masa berakhirnya Perang Dunia II atau dinginnya permusuhan antara Blok Barat dan Timur, kini peta kekuatan dunia telah berubah. Amerika Serikat tak lagi hanya menjadi negara adikuasa, melainkan menjadi jantung dari sistem global yang rusak: menjarah atas nama demokrasi, membakar negeri atas nama HAM, dan mempersenjatai penjajah atas nama keamanan.
Tetapi tak semua negeri memilih diam atau tunduk. Pada tahun 1979, satu negeri menyalakan api suci perlawanan. Di bawah pimpinan Imam Ruhullah Khomeini, Revolusi Islam Iran bukan sekadar revolusi politik—ia adalah jihad spiritual, intelektual, dan sosial terhadap penindasan global.
Dan sejak itu, Barat, terutama AS dan sekutunya, tidak pernah tidur nyenyak.
Ketika Iran baru saja menumbangkan Syah Pahlevi—boneka mereka—Barat tak segan menyulut Perang Salib ketiga. Bukan dengan tentara salib dan panji-panji, tapi dengan embargo, perang informasi, dan perang proksi. Saddam Husein, diktator brutal Irak saat itu, diangkat menjadi pahlawan semu, dipersenjatai dan didorong untuk menyerang Iran. Hasilnya? Delapan tahun perang, ratusan ribu syahid, dan negeri Iran luluh lantak—tapi tidak takluk.
Dan hari ini, skenario lama itu diputar ulang.
Zionis menyerang Gaza, membantai tanpa belas kasih. Ribuan warga sipil dibantai, rumah sakit dijadikan target, anak-anak dibom di sekolah-sekolah. Tapi dunia diam. Amerika Serikat mengirim senjata, bukan bantuan. Uni Eropa memberi pernyataan, bukan tindakan. Dan ketika kelompok-kelompok muqawamah seperti Hizbullah, Houthi, dan kelompok perlawanan di Irak bangkit, siapa yang dicap teroris? Mereka.
Iran kembali menjadi satu-satunya negara yang berdiri sebagai poros sentral poros perlawanan. Di balik semua perlawanan yang berani menantang Zionis, selalu ada doa, dukungan, dan logistik dari Teheran. Mereka menyebutnya ekspansi Syiah. Kita menyebutnya jihad fi sabilillah.
Jihad: Melampaui Definisi Barat
Barat—dengan pendekatannya yang sering kali picik dan dangkal—menyempitkan makna jihad menjadi “perang.” Padahal jihad adalah perjuangan menyeluruh: melawan nafsu, ketidakadilan, kebodohan, dan tentu saja penjajahan. Ketika Imam Ali as mengangkat pedang, ia tak melakukannya demi ambisi politik. Ketika Rasulullah saw menaklukkan Mekkah, ia tidak mencabut nyawa para penindasnya, melainkan memberi maaf.
Jihad Iran hari ini pun bukan agresi. Ini adalah jihad untuk membela mereka yang tidak bersuara. Ketika misil Kheibar Shekan dilepaskan menuju posisi Zionis, itu bukan teror. Itu adalah jawaban terhadap kejahatan yang tidak ditanggapi dunia. Itu adalah suara jutaan anak yang kehilangan ayahnya di Gaza. Itu adalah gema dari seruan Imam Husain as di Karbala: “Jika kalian tidak memiliki agama, maka setidaknya jadilah manusia merdeka.”
Pemimpin yang Tidak Bisa Dibeli
Setelah Imam Khomeini, tongkat kepemimpinan berada di tangan Ayatullah Sayid Ali Khamenei. Sosok yang bagi musuh terlalu sunyi untuk didekati, dan bagi kawan terlalu agung untuk digambarkan. Dalam diamnya, ia memimpin sebuah bangsa melawan arus globalisasi liberal. Dalam ucapannya, ia mengguncang tak hanya kalbu para pengikutnya, tapi juga nyali para jenderal Pentagon.
Di saat banyak pemimpin dunia Islam menggadaikan kehormatan demi dolar dan pengakuan Barat, Iran justru berdiri sebagai pengecualian. Jihad yang mereka jalankan bukan karena ambisi ekspansi atau sekadar pamer kekuatan. Ia adalah jihad untuk menjaga harga diri Islam. Sebab dalam dunia hari ini, diam berarti ikut berdosa.
Propaganda Barat tidak henti memecah belah umat: Sunni lawan Syiah, fundamentalis lawan moderat, Arab lawan Persia. Tapi kenyataan hari ini di Gaza, Lebanon, dan Yaman menunjukkan sesuatu yang lain: mujahid Sunni dan Syiah berdiri di parit yang sama, bersujud di tanah yang sama, dan menjatuhkan musuh yang sama—Zionis dan antek-anteknya.
Mereka bukan lagi sekadar tentara. Mereka adalah simbol dari Islam yang hidup. Islam yang tidak diam ketika rumah Allah dan kitab-Nya dibakar. Islam yang tidak menunduk dan bisu saat anak-anak dibantai.
Islam dan Perdamaian Dunia
Islam bukan agama perang. Tapi Islam juga bukan agama tunduk. Al-Quran mengajarkan kita untuk membela yang tertindas dan melawan yang zalim. Ketika darah mengalir di Palestina, Yaman, Suriah, dan Irak, maka sikap netral bukan lagi kebijaksanaan—ia adalah pengkhianatan.
Sebagaimana Rasulullah saw membawa risalah damai, beliau juga mengangkat pedang ketika risalah itu dihalangi dengan kekerasan. Dan kini, risalah itu kembali dihadang: bukan oleh kaum Quraisy, tetapi oleh media internasional, korporasi senjata, dan para politisi munafik.
Akhir Kata: Napas Jihad Tak Pernah Padam
Kita hidup di era informasi, tapi juga era kebohongan. Di tengah kabut propaganda dan fitnah, satu hal harus tetap kita jaga: ruh jihad. Ia bukan milik bangsa atau mazhab tertentu, tapi milik umat yang menolak menjadi budak.
Iran, dengan segala keterbatasannya, telah memilih menjadi benteng terakhir. Bukan karena mereka sempurna, tapi karena mereka bersedia menanggung harga yang tak sanggup dibayar oleh yang lainnya. Harga untuk tetap menjadi umat yang tidak rela diinjak-injak.
Dan selama masih ada darah yang mengalir di tubuh umat, jihad akan tetap hidup. Karena dunia ini belum damai, dan kita belum selesai.
Referensi
- Ayatullah Mujtaba Musawi Lari, Bidaya yang Terkoyak
- Imam Khomeini, Sahifeh-ye Imam
- Ayatullah Ali Khamenei, pidato 2024-2025 seputar Palestina dan Zionisme
- Press TV & Tasnim News (2025): laporan tentang operasi Kheibar Shekan dan dukungan Iran untuk poros perlawanan.